Tidak semua siswa yang ambil bagian dalam pembelajaran memiliki kepercayaan diri. Siswa yang kurang percaya diri sulit tumbuh dan berkembang. Sikap ini tentu akan merugikan mereka sebab dapat menjadi pribadi yang tertinggal.
Siswa yang termasuk dalam kelompok ini belum tentu tidak mampu dalam menguasai pelajaran. Banyak siswa yang mampu menguasai pelajaran, tetapi mereka kurang berani membagikan pengetahuannya di hadapan teman-temannya.
Padahal, pengetahuan yang dibagikan kepada teman sangat penting. Karena, bukan mustahil pengetahuan itu justru menolong teman dalam proses mengetahui/menguasai pelajaran tersebut.
Dalam banyak hal, ada siswa yang sulit menerima pelajaran yang disampaikan oleh guru. Tetapi, mereka justru tertolong ketika temannya membagikan kemampuannya saat pembelajaran berlangsung.
Pun tidak boleh dimungkiri bahwa memang ada siswa yang belum mampu menguasai pelajaran sehingga menutup diri. Artinya, belum mampuannya dalam menguasai materi pelajaran menjadi faktor bagi siswa tidak memiliki kepercayaan diri.
Hal ini sangat logis. Sebab, siswa yang memiliki kemampuan dalam penguasaan pelajaran saja ada yang tidak percaya diri. Apalagi siswa yang belum menguasai pelajaran, tentu saja sangat besar potensinya tidak percaya diri.
Memang terhadap beberapa siswa ada yang memiliki kekhususan. Seakan-akan mereka percaya diri, tetapi sesungguhnya tidak.Â
Buktinya, ketika mereka diberi kesempatan untuk membagikan pengetahuannya kepada teman, mereka tidak meresponnya dengan senang. Justru sebaliknya, terkesan dalam diri mereka ada perasaan takut.
Maka, bukan tidak mungkin siswa yang termasuk dalam kelompok ini hanya ingin mencari perhatian (caper). Baik caper terhadap guru maupun teman-temannya. Realitas seperti itu selalu ada dalam rombongan belajar, di sekolah mana pun.
Sikap guru
Memandang keberadaan siswa dalam pembelajaran seperti itu, guru perlu menyikapi secara positif. Sehingga, sikap percaya diri dalam masing-masing siswa dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.Â
Siswa kurang percaya diri di sekolah tempat saya mengajar, misalnya, banyak dijumpai di rombongan Kelas IX tahun ini. Mereka memang sempat mengikuti pembelajaran dalam jaringan (daring).
Dan agaknya pembelajaran daring meninggalkan persoalan psikis dalam diri siswa, di antaranya hilangnya kepercayaan diri tersebut.
Tetapi, hal itu bukan berarti bahwa siswa Kelas VIII dan VII terbebas dari siswa yang kurang percaya diri. Tetap ada. Dan boleh jadi fakta ini berkaitan dengan penerimaan siswa baru jalur zonasi.
Tetapi, ini justru baik. Sebab, semua sekolah akhirnya memiliki kesederajatan. Tidak ada sekolah yang favorit dan marginal. Semua sekolah sama karena input siswa sama, ada yang memiliki potensi tinggi, sedang, dan rendah.
Dengan begitu, semua guru di semua sekolah memiliki beban tanggung jawab yang relatif sama. Setidaknya, dalam hal tertentu, misalnya, sama-sama membangun kepercayaan diri siswa dalam pembelajaran. Karena, diakui atau tidak, rerata anak-anak yang potensinya sedang-rendah cenderung kurang percaya diri.
Indikator percaya diri dalam pembelajaran dapat dilihat dari, misalnya, keberanian siswa mempresentasikan hasil karyanya, baik maju maupun di tempat duduk; membagikan pekerjaannya dengan menuliskan di papan tulis; menyampaikan pertanyaan kepada guru; menyampaikan tanggapan atas pertanyaan yang ada.
Kalau pada setiap kesempatan selalu siswa tertentu yang muncul, presentasi siswa ini, yang maju siswa itu, yang bertanya siswa ini, dan yang memberi tanggapan siswa itu, sudah dapat disimpulkan bahwa siswa ini dan itu yang percaya diri. Siswa yang lain kurang percaya diri.
Strategi guru
Karenanya, dalam proses pembelajaran, pertama, sebagian guru ada yang langsung menunjuk siswa untuk menyampaikan presentasi, maju, bertanya, atau memberi tanggapan. Tentu cara ini sah-sah saja. Karena guru ini berkeyakinan bahwa dengan ditunjuk, siswa tersebut, mau tidak mau, harus maju.
Ketika ia maju, itu salah satu cara untuk membentuk dirinya menjadi percaya diri. Kadang memang perlu "dipaksa" terlebih dahulu agar siswa memiliki keberanian. Lambat laun mereka menjadi berani dan ujung-ujungnya sikap percaya diri terbentuk.
Hanya, yang perlu ditimbang adalah bisa-bisa cara "langsung tunjuk" membuat siswa tertentu malah takut, pucat, dan gemetar. Hal ini disebutkan karena dalam kenyataannya memang ada siswa yang reaksinya sampai seperti itu. Karenanya, guru memang perlu berhati-hati.
Awalnya guru bermaksud baik dan membangun, tetapi yang kemudian justru membunuh karakter siswa. Pendekatan secara lebih khusus terhadap siswa yang demikian tentu menjadi alternatif yang boleh ditempuh oleh guru. Sehingga maksud baik dapat terwujud.
Kedua, sebagian guru ada juga yang bersifat menawarkan kepada siswa untuk presentasi, maju, bertanya, atau menyampaikan tanggapan. Ini semacam memberi kemerdekaan terhadap siswa dalam berperan dalam proses pembelajaran.Â
Cara ini pun sah-sah saja. Sebab, guru memiliki keyakinan bahwa cara demikian dapat membentuk karakter atau kepercayaan diri secara lebih mandiri. Tanpa disuruh, siswa berinisiatif sendiri untuk mengembangkan potensinya ketika ruang tumbuh kembang disediakan.
Cara ini memang baik untuk siswa yang sudah memiliki kepercayaan diri tinggi. Siswa yang termasuk dalam kelompok ini tentu memiliki frekuensi yang padat berperan dalam proses pembelajaran.
Sementara itu, siswa yang kurang memiliki kepercayaan diri tidak memiliki peran sama sekali. Karena amat berat bagi mereka ikut mengisi kesempatan yang tersedia karena takut, malu, atau adanya perasaan-perasaan lain yang mungkin menghambatnya. Karenanya, cara ini akan semakin menyembunyikan potensinya.
Ketiga, ada juga guru yang melibatkan siswa untuk mendorong siswa lain melakukan presentasi, maju, bertanya, atau menyampaikan tanggapan. Caranya, satu siswa ditunjuk oleh guru untuk melakukan salah satu kegiatan tersebut.
Selesainya, ia diberi tugas menunjuk salah satu temannya untuk melakukan aktivitas seperti yang sudah dilakukannya. Pun demikian teman yang ditunjuk itu setelah menyelesaikan aktivitasnya, juga diberi tugas menunjuk salah satu teman yang lain untuk melakukan hal serupa. Kegiatan ini dilakukan secara beranting.
Cara ini ditempuh karena dipahami bahwa tunjukan teman beban psikisnya tidak seberat ketika tunjukan guru. Sebab, saat teman menunjuk sangat mungkin suasananya lebih santai, bahkan bisa-bisa ada tawa bersama di sana. Sehingga, mereka yang ditunjuk rasa takut dan malunya berkurang.
Kebiasaan ini, menurut beberapa teman guru, dapat mendongkrak keberanian siswa. Jadi, melalui cara ini teman menguatkan teman, teman memotivasi teman, yang kemudian mendorong munculnya sikap percaya diri.
Selanjutnya, pasti ada cara-cara lain yang dapat didiskusikan di sini, agar ditemukan banyak strategi membangun kepercayaan diri siswa. Kepercayaan diri amat penting sebab secerdas dan seterampil apa pun kalau tidak memiliki kepercayaan diri, tentu kecerdasannya dan keterampilannya kurang memberi manfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H