Namun, di atas semua itu tidak berarti orangtua harus menarik gawai anak. Menjauhkan anak dari gawai. Tidak. Sebab, akan menjadi persoalan baru jika anak yang sudah familier dengan gawai tetiba dilarang memanfaatkannya.
Justru yang menjadi tantangan orangtua dalam konteks ini adalah anak yang sudah piawai memanfaatkan gawai harus dimotivasi dan dibersamai ke aktivitas-aktivitas yang produktif. Dengan demikian, gawai mendukung tumbuh kembang anak.
Tetapi, sekarang sepertinya orangtua terbentur pada ketertinggalannya dalam memanfaatkan gawai. Sebab, kebanyakan orangtua sekarang tidak sepintar anaknya dalam mengoperasikan gawai. Rerata orangtua sudah tertinggal jauh di belakang anak.
Itu sebabnya, langkah yang barangkali dapat dilakukan oleh orangtua adalah membangun hubungan erat dengan anak terlebih dahulu. Ciptakan momen berkualitas dengan anak untuk mengobrol.
Boleh mengobrol tentang sekolahnya, temannya, gurunya, kesukaannya, atau apa pun, yang penting hal-hal yang ringan-ringan saja dan dekat dengan dunianya.
Bahkan, tidak menutup kemungkinan dalam momen mengobrol tersebut orangtua berguru kepada anak untuk pemanfaatan gawai. Boleh orangtua minta diajari tentang, misalnya, TikTok, Instagram, dan YouTube.
Keberhasilan mengobrol dengannya akan menjadi pintu masuk bagi orangtua untuk bersama-sama memberdayakan potensi anak. Dan, tentu akan menjadi lebih bermakna jika orangtua berkolaborasi dengan anak berkarya dengan berbasiskan gawai.
Ini sebuah gagasan yang tidak ada gunanya (sama sekali) kalau kita, orangtua, tidak mau memulainya. Sebab, di depan kita hanya ada dua pilihan. Mau memulainya berarti membersamai anak meraih masa depannya, menolak memulainya berarti membiarkan anak hanyut entah ke mana.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI