Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pentingnya Desa Pancasila bagi Penguatan Profil Pelajar Pancasila

19 Februari 2022   16:31 Diperbarui: 19 Februari 2022   18:50 632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Tembok di pojok desa yang bertulisan "Selamat Datang di Kampung Pancasila". (sumber: dokumentasi pribadi)

Sebagian masyarakat Indonesia belum mengetahui adanya Desa Pancasila di negeri sendiri. Termasuk saya. Saya mengetahui di Indonesia ada Desa Pancasila, belum lama.

Itu pun tatkala saya berkunjung ke rumah saudara di wilayah Pati, Jawa Tengah, bagian utara. Desanya termasuk Desa Pancasila. Tepatnya, Desa Karangsari, Kecamatan Cluwak, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.

Katanya, Desa Pancasila seperti desa, tempat ia berdomisili, ditandai dengan adanya tempat ibadah dari berbagai agama karena warganya berlatar belakang agama yang berbeda.

Ada warga yang beragama Budha, Islam, dan Kristen. Sehingga, di desanya dapat ditemukan wihara, masjid, dan gereja. Tapi, tak sebatas itu.  

Sebab, Desa Pancasila terutama ditandai dengan adanya keguyuban antar warga meski berbeda latar belakang. 

Seperti, demikian saudara saya bersaksi,  saat ada pendirian gereja, warga dari penganut agama yang berbeda turut membantu.

Pun demikian sebaliknya, saat ada pendirian masjid, warga dari penganut agama lain ikut membantu. Saat ada penganut agama Budha membangun wihara, warga penganut Islam dan Kristen turut membantu.

Dalam acara-acara keagamaan yang bersifat perayaan, penganut agama yang berbeda juga diundang untuk merasakan kegembiraan. 

Sementara itu, dalam acara ibadah/sembahyang tak demikian. Hanya penganutnya yang melakukan ibadah; penganut yang lain membantu dalam pengamanan keberlangsungan acara.

Dari kesaksian saudara saya itu, saya membayangkan betapa nyaman hidup bersama meski berlatar belakang berbeda. 

Tak hanya berbeda agama, berbeda suku, golongan, dan  ras pun kalau hidup berdampingan dan bertoleransi  tentu sangat menyenangkan bukan?

Benar, adanya Desa Pancasila belum dikenal banyak orang. Setidaknya, teman-teman guru di sekolah tempat saya mengajar sebagai buktinya. 

Ketika saya menanyakan tentang Desa Pancasila kepada mereka, mereka menjawab tak mengetahui. Karena itu, syukurlah jika Anda mengetahuinya?

Seperti halnya saya, teman-teman saya hanya mengetahui beberapa jenis desa (seingat saya, ini sejak rezim Orde Baru kami mengetahuinya), yaitu Desa Swasembada, Desa Swakarya, dan Desa Swadaya.

Setelah saya menelusuri di google, ternyata penjenisan desa tersebut dapat dibaca di Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 84 Tahun 2015 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa.

Sementara itu, berdasarkan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2019 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020 termuat jenis-jenis desa, yaitu Desa Sangat Tertinggal, Desa Tertinggal, Desa Berkembang, Desa Maju, dan Desa Mandiri.

Di dalam kedua peraturan tersebut, saya tak  menjumpai penamaan "Desa Pancasila". Saya memang belum mengulik di dalam peraturan yang lain, yang mungkin di sana bisa dijumpai. Atau, mungkin Anda pernah menjumpai penamaan "Desa Pancasila" di dalam sebuah peraturan atau perundangan?

Sebenarnya sih, Desa Pancasila sudah tersosialisasikan secara nasional. Sebab, saya menemukan berita tentang Desa Balun, Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, yang dijuluki sebagai Desa Pancasila dalam Kompas.com, 1 Juni 2017. Berarti sejak saat itu, penamaan Desa Pancasila sudah dipublikasi, atau bahkan waktu-waktu sebelumnya.

Kompas.com menuliskan bahwa masyarakat di Desa Balun tersebut terdiri atas tiga penganut agama, yakni Islam, Kristen, dan Hindu. 

Kehidupan sehari-hari mereka saling menghargai dan menghormati. Termasuk ketika pada hari-hari besar agama.

Adanya masjid, gereja, dan pura berdiri dalam satu kompleks dan berdekatan wujud toleransi itu. Pun demikian,  tak ada perselisihan berkaitan dengan agama.

Selain Desa Balun, Desa Kapencar, Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, juga dicanangkan sebagai Desa Pancasila (jatengprov.go.id). 

Warga di Desa Kapencar tersebut berlatar belakang agama Islam, Budha, Kristen, Hindu, dan aliran kepercayaan. Beragam budaya dan seni, tapi hidup berdampingan, sehingga disebut miniatur Indonesia.

Saya menjumpai juga di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, yang saya kira menyerupai keadaan Desa Balun dan Desa Kapencar. Sebab, di salah satu sudut desa terpampang tulisan di tembok, yang berbunyi "Selamat Datang di Kampung Pancasila Desa Loram Wetan".

Tentu tulisan tersebut mencerminkan keadaan masyarakat Desa Loram Wetan, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. 

Setidaknya seperti masyarakat Desa Balun, Desa Kapencar, dan desa-desa lain yang sejenis, yang menjunjung sikap toleransi.

Realitas seperti itu kiranya tetap terus tumbuh dalam kehidupan masyarakat kita hingga kini dan nanti. Bukankah begitu yang kita harapkan?

Sebab, sikap demikian (toleransi) tak hanya memiliki manfaat bagi masyarakat setempat, tapi juga masyarakat lain. Bahkan, bagi masyarakat Indonesia, dari Sabang hingga Merauke, yang memang beragam.

Lebih daripada itu, Desa-desa Pancasila yang ada di seluruh wilayah Indonesia dapat mendukung  pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), yang memiliki komitmen besar mewujudkan profil pelajar Pancasila.

Sekadar mencatatkan, profil pelajar Pancasila sebagai poin penting dalam Kurikulum Merdeka. Sebab, struktur Kurikulum Merdeka memuat dua poin pembelajaran. 

Pertama, pembelajaran intrakurikuler yang memuat mata pelajaran. Kedua, pembelajaran kokurikuler yang memuat proyek untuk penguatan profil pelajar Pancasila.

Profil pelajar Pancasila memiliki enam dimensi, yaitu beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, mandiri, berkebhinekaan global, bergotong royong, bernalar kritis, dan kreatif.

Dalam bayangan saya, sebagian (atau syukur semua) dimensi profil pelajar Pancasila tersebut sudah diimplementasikan di Desa Pancasila. Artinya, semua warga, termasuk anak-anak, yang berada di Desa Pancasila sudah melakukannya dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga maupun dalam pergaulan masyarakat.

Kalau begitu yang terjadi, sekolah-sekolah yang memiliki siswa berasal dari desa-desa Pancasila akan lebih mudah mengimplementasikan penguatan profil pelajar Pancasila. Karena, lingkungan tempat tinggal siswa (baca: anak) sudah terlebih dahulu mempraktikkannya.

Toh pendidikan (anak-anak) memang menjadi tanggung jawab bersama? Ya, sekolah, masyarakat, dan orangtua. Sekolah tak mungkin mampu melaksanakan pendidikan sendiri tanpa dukungan pihak lain. Demikian juga masyarakat dan orangtua, tak dapat berjalan sendiri-sendiri  dalam mendidik anak-anak.

Dalam konteks penguatan profil pelajar Pancasila, Desa-desa Pancasila dengan demikian memberi kontribusi yang besar terhadap sekolah. Bahkan, akan terus mendukung keberlangsungan penguatan profil pelajar Pancasila. Karena, Desa Pancasila memiliki program kerja yang boleh dibilang mirip  dengan sebagian program sekolah yang menerapkan Kurikulum Merdeka.

Saya tak menemukan data tentang Desa Pancasila di Indonesia. Berada di mana saja Desa Pancasila? Apakah tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia? Apakah masih konsisten melakukan komitmen sebagai Desa Pancasila? Apakah generasi kemudian di desa tersebut tetap melakukan kebiasaan-kebiasaan baik pendahulunya?

Saya berpikir, sangat baik andai saja Desa Pancasila berada secara merata di seluruh wilayah Indonesia dan masih eksis menjalankan perannya sebagai Desa Pancasila. Dalam satu kecamatan, misalnya,  ada satu atau dua Desa Pancasila saja, relatif sudah baik. Karena, bukan mustahil Desa-desa Pancasila itu bisa menginspirasi  desa-desa sekitarnya.

Tapi, apakah yang saya pikirkan itu nyata? Saya tak mengerti dengan pasti. Mungkin keberadaannya tak merata. Atau, jumlahnya pun tak sebanyak yang saya pikirkan. Juga tak semua eksis.

Ya, seberapa pun jumlahnya dan di mana pun keberadaannya, jika masih eksis, Desa-desa Pancasila itu sangat istimewa. Dan, patut diikuti oleh Desa-desa Pancasila yang lain, yang kini mungkin mulai menipis bahkan hilang eksistensinya.

Bahkan, tak ada salahnya kalau pemerintah, baik pusat maupun daerah, memfasilitasi terbentuknya Desa-desa Pancasila yang baru. Sehingga, keberadaannya bisa merata di seluruh wilayah Indonesia. Dan, ikhtiar itu kiranya sekaligus dapat mendorong Desa-desa Pancasila yang sudah terbentuk kembali eksis.

Dengan begitu, komitmen Kemendikbudristek mengenai penguatan profil pelajar Pancasila melalui pemberlakuan Kurikulum Merdeka memperoleh dukungan optimal dari Desa-desa Pancasila. Dan, pada akhirnya sekolah dapat mengantar siswa menjadi pribadi yang selain cerdas, juga berkarakter Pancasila.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun