Selain Desa Balun, Desa Kapencar, Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, juga dicanangkan sebagai Desa Pancasila (jatengprov.go.id).Â
Warga di Desa Kapencar tersebut berlatar belakang agama Islam, Budha, Kristen, Hindu, dan aliran kepercayaan. Beragam budaya dan seni, tapi hidup berdampingan, sehingga disebut miniatur Indonesia.
Saya menjumpai juga di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, yang saya kira menyerupai keadaan Desa Balun dan Desa Kapencar. Sebab, di salah satu sudut desa terpampang tulisan di tembok, yang berbunyi "Selamat Datang di Kampung Pancasila Desa Loram Wetan".
Tentu tulisan tersebut mencerminkan keadaan masyarakat Desa Loram Wetan, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.Â
Setidaknya seperti masyarakat Desa Balun, Desa Kapencar, dan desa-desa lain yang sejenis, yang menjunjung sikap toleransi.
Realitas seperti itu kiranya tetap terus tumbuh dalam kehidupan masyarakat kita hingga kini dan nanti. Bukankah begitu yang kita harapkan?
Sebab, sikap demikian (toleransi) tak hanya memiliki manfaat bagi masyarakat setempat, tapi juga masyarakat lain. Bahkan, bagi masyarakat Indonesia, dari Sabang hingga Merauke, yang memang beragam.
Lebih daripada itu, Desa-desa Pancasila yang ada di seluruh wilayah Indonesia dapat mendukung  pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), yang memiliki komitmen besar mewujudkan profil pelajar Pancasila.
Sekadar mencatatkan, profil pelajar Pancasila sebagai poin penting dalam Kurikulum Merdeka. Sebab, struktur Kurikulum Merdeka memuat dua poin pembelajaran.Â
Pertama, pembelajaran intrakurikuler yang memuat mata pelajaran. Kedua, pembelajaran kokurikuler yang memuat proyek untuk penguatan profil pelajar Pancasila.
Profil pelajar Pancasila memiliki enam dimensi, yaitu beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, mandiri, berkebhinekaan global, bergotong royong, bernalar kritis, dan kreatif.