Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Menjaga Bahasa Indonesia Melalui Chatting di Media Sosial

31 Desember 2021   13:26 Diperbarui: 5 Januari 2022   05:23 869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Media sosial (medsos) menjadi media untuk berkomunikasi yang handal pada era ini, salah satunya, melalui aplikasi WhatsApp (WA). 

Bahkan, boleh jadi WA menduduki peringkat pertama di antara medsos yang lain sebagai media bagi masyarakat untuk berkomunikasi (terutama) menggunakan bahasa. 

Buktinya, kita --nyaris-- setiap hari memanfaatkan WA dalam berkomunikasi. Orang-orang di sekitar kita pun melakukan  hal yang sama. Yaitu, membangun komunikasi dengan sesamanya menggunakan WA.

Kebiasaan menggunakan WA tidak hanya terbatas pada kalangan tertentu. Hampir semua kalangan, mulai dari anak hingga dewasa, baik laki-laki maupun wanita. Semua ber-WA ria untuk berkomunikasi. 

Dilihat dari sisi tempat pun, bersifat menyeluruh, dari perkotaan sampai pedesaan. Jadi, penggunaan WA sebagai media berkomunikasi sungguh-sungguh masif.

Pengguna WA dapat mengekspresikan bahasanya secara bebas. Oleh karena itu, disadari atau tidak, medsos jenis ini mampu menggairahkan orang dalam berbahasa. 

Si bungsu yang sekarang masih SMP, misalnya, dalam pengamatan saya selama ini sangat lincah berkomunikasi dengan temannya melalui WA. 

Bahasa mereka sangat mengalir. Mereka chatting (mengobrol) sangat lancar. Saya kira anak-anak yang lain seusia mereka memiliki kepintaran berbahasa yang relatif sama. Apalagi anak-anak yang lebih besar daripada mereka, misalnya anak-anak SMA dan yang sederajat. 

Kepintaran berbahasa mereka melalui WA tentu lebih hebat. Maka, tak jarang di antara mereka sudah ada yang memiliki karya berbasis bahasa. Entah artikel atau sudah berwujud buku. 

Lazimnya karya mereka diunggah di medsos, baik facebook, WA, maupun wattpad. Terhadap ikhtiar mereka, kita patut mengapresiasi sebab mereka sudah mengembangkan keterampilan berbahasa.

Saya meyakini dalam proses menulis, mereka "belajar" sehingga (akhirnya) memiliki kepercayaan diri mengunggah karyanya ke medsos yang merupakan konsumsi publik. 

Mereka tentu memiliki kepedulian memperbaiki kaidah penulisan, baik ejaan maupun tanda baca, dalam proses menulis. 

Sikap positif berbahasa ini boleh jadi karena ada masukan dari orang lain atau atas kesadaran pribadi untuk menggunakan bahasa yang semakin hari semakin baik.

Hal seperti itu tentu menggembirakan orang atau badan yang memedulikan bahasa, termasuk guru mata pelajaran (mapel) bahasa Indonesia. Sebab, pembimbingan guru yang diberikan di sekolah tidak sia-sia. Mereka dapat mempraktikkan materi kebahasaan yang diajarkan di sekolah dalam berbahasa sehari-hari. Tentu dengan begitu akan menumbuhkan potensi berbahasa mereka.

Akan tetapi, ada sebagian pengguna WA yang kurang memedulikan kaidah berbahasa. Mereka sekadar menulis. Bahkan, ada yang memiliki prinsip yang penting pesan yang dikomunikasikan dimengerti oleh penerima. Selanjutnya, penerima dapat memberi tanggapan balik. Sudah dianggap cukup. Sebab, kedua belah pihak sudah memahami bahwa sebuah komunikasi sudah terbangun meski di dalamnya ditemukan kesalahan berbahasa.

Barangkali kalau diadakan riset --sekalipun secara kecil-kecilan-- akan didapatkan gambaran bahwa jumlah pengguna WA yang kurang memedulikan kaidah berbahasa lebih banyak ketimbang yang memedulikan kaidah berbahasa. 

Kesalahan berbahasa dalam chatting sering disengaja. Artinya, mereka sudah mengetahui bahwa yang dilakukannya salah. Tetapi, agar praktis, mereka menyingkat kata sekalipun penyingkatannya tidak lazim. Bukankah kita sering menjumpai hal demikian?

Di sisi lain, ada juga yang tidak mengetahui bahwa yang dilakukannya salah. Misalnya, berkaitan dengan "menyingkat kata yang tidak lazim". 

Hal itu dilakukan barangkali karena mereka berpikir bahwa menulis pesan singkat atau short message service (SMS) memang harus disingkat-singkat supaya pendek. Namanya saja SMS. Hehehe!

Sampai di bagian ini, mungkin (pikiran) kita mengaitkannya dengan bahasa prokem. Bahasa yang hanya dimengerti oleh kelompok tertentu, lazimnya kalangan remaja. 

Bagi kelompok lain, bahasa prokem terdengar aneh karena ada yang dibuat akronim. Di balik struktur katanya, bahkan vokal diubah menjadi konsonan atau sebaliknya, yang sangat berbeda dengan bahasa pada umumnya.

Tetapi, dalam catatan ini saya tidak menyoal bahasa prokem, karena bahasa prokem merupakan buah kreativitas berbahasa. 

Saya hanya menyoal bahasa chatting yang abai terhadap kaidah berbahasa yang benar karena bahasa chatting yang demikian merupakan wujud "keegoisan" berbahasa seseorang. Artinya, orang semaunya menyingkat, tak mau mengikuti yang lazim.

Meskipun begitu, dalam kalangan tertentu tidak menimbulkan persoalan dalam komunikasi. Karena, mereka sudah terbiasa menggunakannya. 

Bagi mereka, penyingkatan kata yang tidak lazim, pengabaian tanda baca, dan kesalahan berbahasa lainnya dalam chatting mungkin tidak menyulitkan dalam pemahaman pesan. 

Kebiasaan mereka boleh jadi tak menghalangi komunikasi. Akan tetapi, menjadi persoalan kalau komunikasi seperti itu digunakan dalam kalangan yang berbeda. 

Orang yang diajak chatting mungkin sulit memahami pesan yang disampaikan. Hal ini tentu menghambat proses komunikasi. Dan bukan mustahil akhirnya justru  memutus komunikasi. Kalau sudah demikian, berbahasa menjadi sia-sia. Sebab, bahasa sebagai alat komunikasi kurang  -- untuk menghindari pemakaian kata "tidak"-- berfungsi.

Kebiasaan berbahasa buruk dalam chatting tidak hanya menghambat hubungan sosial antar sesama, tetapi juga menimbulkan kerancuan berbahasa, terutama bagi anak-anak sekolah. 

Bahasa siswa menjadi kacau karena kebiasaan berbahasa buruk dalam chatting rupanya memengaruhi penguasaan pelajaran bahasa (Indonesia).

Hal tersebut sesuai dengan hasil survei yang baru saya lakukan melalui google form terhadap siswa di sekolah tempat saya mengajar. 

Dari 519 siswa ada 49,6 persen menyatakan setuju dan 33, 5 persen mengatakan sangat setuju terhadap pernyataan "Penggunaan bahasa dalam chatting berpengaruh terhadap kemampuan berbahasa tulis dalam pembelajaran", sisanya menyatakan kurang setuju dan tidak setuju. 

Fakta itu terjadi karena chatting seolah tidak (pernah) berhenti --terus berlangsung sepanjang waktu-- sementara mempelajari bahasa Indonesia sangat terbatas. 

Untuk siswa SMP dan yang sederajat, misalnya, seminggu hanya enam jam pelajaran dengan 40 menit per jamnya. 

Jadi, saya berani memastikan bahwa kebanyakan kelemahan anak-anak sekolah berbahasa Indonesia (terutama) tulis akibat dari kebiasaan berbahasa buruk mereka saat chatting.

Sangat sederhana melogikanya. "Kebiasaan" --yang bukan tidak mungkin lambat laun bisa menjadi budaya-- pasti mengalahkan "belajar" yang waktunya terbatas. 

Kalau setiap chatting, anak menggunakan bahasa yang buruk, bahasa yang baik yang sudah dipelajari di sekolah pun sudah pasti tidak dapat berkembang, sebaliknya malah berangsur menghilang.

Saya menemukan kenyataan seperti itu di sekolah tempat saya mengajar. Tidak mudah membimbing siswa belajar mapel bahasa Indonesia. Belajar tentang tanda baca dan ejaan, misalnya, harus diulang beberapa kali. Dan itu pun tidak menjamin siswa bisa.

Celakanya, kebiasaan bahasa dalam chatting tampaknya lebih mendominasi pikiran mereka daripada bahasa yang diajarkan di sekolah. Karena, frekuensi penggunaan bahasa chatting lebih sering ketimbang bahasa di sekolah. Lambat laun hal ini, disadari atau tidak, mengakibatkan adanya sikap kurang peduli terhadap kewibawaan bahasa Indonesia.

Orang tidak lagi memedulikan tata bahasa. Setiap mereka berkomunikasi (secara tulis) hanya mementingkan pesan komunikasi tersampaikan. Mungkin tanpa sadar kita pun melakukannya. Demikian juga orang-orang di sekitar kita.

Padahal, kita mengetahui bahasa Indonesia senantiasa mengalami pembaruan. Dari sisi ejaan, misalnya, mengalami beberapa kali pembaruan. 

Setidaknya pernah ada Ejaan Van Ophuysen, Ejaan Soewandi, Ejaan yang Disempurnakan (EYD), dan sekarang ada Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI).

Semua itu dilakukan tentu untuk menjaga kewibawaan sekaligus mengembangkan bahasa Indonesia. Walaupun sejauh ini kita belum berpikir secara serius menjadikan bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional.

Namun, mestinya, kita --sang pemilik bahasa Indonesia-- merasa bangga sebab bahasa Indonesia sudah dipelajari banyak bangsa. Bahkan, beberapa perguruan tinggi di luar negeri, di Jepang, misalnya, memiliki program studi bahasa Indonesia. 

Di Australia, pelajaran bahasa Indonesia bahkan dipelajari sejak di tingkat sekolah dasar (SD).

Hal itu mengisyaratkan bahwa bahasa Indonesia secara akademis dipelajari juga oleh orang-orang dari negara lain. Kalau mereka gigih belajar bahasa Indonesia, semestinya kita harus lebih gigih karena kita sang pemilik.

Tentu kita merasa kurang nyaman kalau pada suatu ketika orang asing yang justru menjadi pakar bahasa Indonesia. 

Dalam konteks bahasa Jawa, sekarang sudah banyak orang asing yang pintar macapat, menjadi presiden, ahli karawitan, bahkan menjadi dalang.

Dan kita menyadari bahwa semua keunikan lokal itu lahir dan berkembang di Indonesia, yang berarti kita sebagai pemiliknya. Kalau pada akhirnya, entah kapan, kita harus berguru kepada mereka tentang hal-hal itu betapa kita merasa malu. Apalagi kalau mereka --karena merasa lebih menguasai--- mengklaim bahwa semua itu milik mereka, kita pasti merasa sedih.

Kalau kita kurang memedulikan kewibawaan bahasa Indonesia, taruhlah misalnya, saat kita chatting menggunakan bahasa semaunya, kita tak mungkin menguasai kaidah bahasa Indonesia yang benar dan baik. 

Kita tak akan dapat menulis kata depan dan awalan, menyingkat sebuah kata, menggunakan tanda baca, dan memilih diksi yang tepat. Keunikan dan keragaman bahasa Indonesia akan hilang dari pengetahuan kita. Sebab, kita bersikap semaunya.

Akibat berikutnya adalah, kalau sebagai siswa atau mahasiswa, kita tidak dapat menyelesaikan soal-soal kebahasaan ketika harus mengerjakannya. Sebagai pelamar lowongan pekerjaan, kita tidak dapat menulis surat lamaran pekerjaan secara meyakinkan. 

Sebagai pemimpin, kita tidak dapat menyampaikan pesan (tertulis) kepada mitra kerja secara elegan. Hal-hal itu akan menyulitkan orang menggapai tujuan.

Namun, hal yang paling serius adalah kita kurang menghargai pendahulu-pendahulu kita yang sudah memperjuangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Karena, kita sering merusak kewibawaan bahasa Indonesia dalam komunikasi di medsos.

Di dalam teks Sumpah Pemuda ada poin yang berbunyi, "Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia." 

Fakta sejarah ini menunjukkan bahwa sejak dikumandangkan Sumpah Pemuda, bahasa Indonesia sudah memiliki nilai kewibawaan yang tinggi sebab seluruh rakyat Indonesia --tentu dari Sabang sampai Merauke; dari Rote hingga Morotai---mengakuinya. 

Oleh karena itu, sudah seharusnya, kita yang hidup pada zaman sekarang tetap menjunjung kewibawaan bahasa Indonesia.

Toh kita tak pernah ikut berjuang mewujudkan bahasa Indonesia dapat diakui oleh seluruh rakyat Indonesia. Kita hanya menerima dari generasi pendahulu dan menggunakannya. 

Dan, sekarang kita mengetahui bahwa karena bahasa Indonesia, keragaman budaya, suku, agama, ras, dan golongan yang tumbuh subur di bumi Indonesia  --kemudian-- dapat dipahami bersama dan dikolaborasikan yang akhirnya menjadi energi positif untuk kemajuan bangsa Indonesia.

Bahkan, pada masa pandemi Covid-19 yang meluluhlantakkan aspek-aspek kehidupan di banyak negara, termasuk di Indonesia, bahasa Indonesia memiliki peran yang strategis dan efektif untuk mengomunikasikan semua informasi yang berkaitan dengan Covid-19 secara nasional. 

Seluruh masyarakat Indonesia, baik yang berada di perkotaan maupun pedesaan, akhirnya memiliki pemahaman yang sama dalam menyikapi kondisi yang terjadi. Terbukti, semua masyarakat Indonesia --hingga kini-- memiliki spirit yang sama dalam melawan korona.

Memahami betapa kemanfaatan bahasa Indonesia yang demikian bermakna, tak hanya secara fisik dapat menyatukan keberagaman yang terus tumbuh di Indonesia, tapi juga secara psikis, maka kita sebagai pemilik sah bahasa Indonesia harus terus berjuang menjaga kewibawaan bahasa Indonesia.

Chatting dalam medsos --terutama melalui WA-- yang setiap hari kita melakukannya dan kita menyadari perkembangannya sangat masif, sebenarnya dapat digunakan sebagai sarana untuk menjaga kewibawaan bahasa Indonesia.

Caranya, mulailah kita dalam setiap chatting dengan siapa pun menggunakan bahasa Indonesia yang semestinya. Menghindari pemakaian singkatan kata yang tidak lazim, menempatkan pemakaian tanda baca yang benar, menulis preposisi dan imbuhan dengan tepat, dan memanfaatkan unsur-unsur kebahasaan yang lain tanpa semau kita.

Saya selalu berusaha chatting dengan siapa pun menggunakan bahasa Indonesia yang semestinya --saat mitra chatting berbahasa Indonesia. 

Saya pun menggunakan bahasa Jawa yang semestinya --tatkala mitra chatting berbahasa Jawa. Tetapi, saya tidak pernah menggunakan bahasa Inggris karena di samping tidak ada mitra chatting berbahasa Inggris, saya pun tidak mampu berbahasa Inggris.

Memang tidak dapat dimungkiri adanya mitra chatting yang kadang abai terhadap kaidah berbahasa. Tetapi, sejauh ini saya berusaha tidak hanyut dalam gaya mereka. Saya tetap menjaga pemakaian bahasa yang semestinya saat chatting dengannya.

Boleh jadi karena saya guru mapel bahasa Indonesia sehingga memiliki tanggung jawab moral menjaga bahasa Indonesia. 

Saya pun percaya bahwa teman-teman seprofesi yang mengampu mapel bahasa Indonesia --di mana pun mengabdi-- juga memiliki tanggung jawab moral terhadap keberadaan bahasa Indonesia seperti saya.

Bahkan, saya juga meyakini teman-teman seprofesi yang mengampu mapel yang lain pun di seluruh pelosok bumi pertiwi ini-- memiliki tanggung jawab moral menjaga eksistensi bahasa Indonesia sebab mereka juga pemilik sah bahasa Indonesia.

Kalau tidak hanyut dalam gaya bahasa mitra chatting yang abai terhadap kaidah berbahasa (Indonesia), berarti kita sudah menjunjung bahasa Indonesia; menjaga kewibawaan bahasa Indonesia. 

Barangkali ini cara yang boleh dikatakan agak arif sebelum kita dapat memengaruhi mitra chatting yang semaunya dalam berbahasa. 

Bukan mustahil keteguhan kita terhadap kaidah berbahasa yang semestinya setiap chatting --suatu saat-- mampu mendorong mitra chatting kita berpikir ulang ketika ia merasa bersalah saat chatting.

Hingga sekarang, saya masih percaya bahwa "teladan" tetap memiliki kekuatan memengaruhi. Sebab itu, dalam keadaan apa pun --anggaplah misalnya  keadaan sudah rusak-- teladan baik, benar, dan tertib tetap harus ada. Teladan tidak boleh kendor. Teladan tidak boleh hilang. 

Teladan harus tetap dapat dilihat, dirasakan, didengar, dan diperbincangkan. Maka, siapa pun kita --lebih-lebih pencinta bahasa (Indonesia) dan guru Mapel Bahasa Indonesia--  tidak boleh jemu-jemu menjadi teladan baik dalam berbahasa saat  chatting di medsos.

Chatting di medsos dengan teks-teks yang ukurannya relatif pendek sangat efektif untuk menjaga kewibawaan bahasa Indonesia. Sebab, tidak harus menguasai banyak teori bahasa. Hanya mengetahui kaidah umum berbahasa yang sehari-hari orang menggunakan, kita bisa menjadi teladan berbahasa yang taat kaidah.

Menulis teks-teks pendek dalam chatting --mungkin berupa kata, frasa, klausa, kalimat, atau beberapa kalimat (paragraf)-- dengan menggunakan kaidah berbahasa yang benar rasanya belum terlalu membebani pikiran kita.

Sebab, kaidah-kaidah berbahasa yang benar dalam teks-teks tersebut masih relatif terbatas, misalnya, pemakaian huruf kapital, preposisi, afiks, penggabungan kata, dan tanda baca (yang umumnya masih terbatas pada tanda baca titik, koma, tanya, dan seru). 

Dengan sedikit berhati-hati dan membiasakan diri menaatinya, sebetulnya, kita bisa menjaga kewibawaan bahasa Indonesia setiap kali chatting di medsos. Bagaimana?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun