Saya meyakini dalam proses menulis, mereka "belajar" sehingga (akhirnya) memiliki kepercayaan diri mengunggah karyanya ke medsos yang merupakan konsumsi publik.Â
Mereka tentu memiliki kepedulian memperbaiki kaidah penulisan, baik ejaan maupun tanda baca, dalam proses menulis.Â
Sikap positif berbahasa ini boleh jadi karena ada masukan dari orang lain atau atas kesadaran pribadi untuk menggunakan bahasa yang semakin hari semakin baik.
Hal seperti itu tentu menggembirakan orang atau badan yang memedulikan bahasa, termasuk guru mata pelajaran (mapel) bahasa Indonesia. Sebab, pembimbingan guru yang diberikan di sekolah tidak sia-sia. Mereka dapat mempraktikkan materi kebahasaan yang diajarkan di sekolah dalam berbahasa sehari-hari. Tentu dengan begitu akan menumbuhkan potensi berbahasa mereka.
Akan tetapi, ada sebagian pengguna WA yang kurang memedulikan kaidah berbahasa. Mereka sekadar menulis. Bahkan, ada yang memiliki prinsip yang penting pesan yang dikomunikasikan dimengerti oleh penerima. Selanjutnya, penerima dapat memberi tanggapan balik. Sudah dianggap cukup. Sebab, kedua belah pihak sudah memahami bahwa sebuah komunikasi sudah terbangun meski di dalamnya ditemukan kesalahan berbahasa.
Barangkali kalau diadakan riset --sekalipun secara kecil-kecilan-- akan didapatkan gambaran bahwa jumlah pengguna WA yang kurang memedulikan kaidah berbahasa lebih banyak ketimbang yang memedulikan kaidah berbahasa.Â
Kesalahan berbahasa dalam chatting sering disengaja. Artinya, mereka sudah mengetahui bahwa yang dilakukannya salah. Tetapi, agar praktis, mereka menyingkat kata sekalipun penyingkatannya tidak lazim. Bukankah kita sering menjumpai hal demikian?
Di sisi lain, ada juga yang tidak mengetahui bahwa yang dilakukannya salah. Misalnya, berkaitan dengan "menyingkat kata yang tidak lazim".Â
Hal itu dilakukan barangkali karena mereka berpikir bahwa menulis pesan singkat atau short message service (SMS) memang harus disingkat-singkat supaya pendek. Namanya saja SMS. Hehehe!
Sampai di bagian ini, mungkin (pikiran) kita mengaitkannya dengan bahasa prokem. Bahasa yang hanya dimengerti oleh kelompok tertentu, lazimnya kalangan remaja.Â
Bagi kelompok lain, bahasa prokem terdengar aneh karena ada yang dibuat akronim. Di balik struktur katanya, bahkan vokal diubah menjadi konsonan atau sebaliknya, yang sangat berbeda dengan bahasa pada umumnya.