Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Fenomena Anak di Bawah Umur Berkendara Motor, Bagaimana Menyikapinya?

9 Oktober 2021   15:13 Diperbarui: 21 Oktober 2021   01:00 739
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak di bawah umur mengendarai motor | Sumber: Shutterstock via otomotif.kompas.com

Saya masih menemukan anak-anak SMP dan yang sederajat mengendarai motor saat pergi maupun pulang sekolah. Ada yang melewati jalan utama, ada juga yang melewati jalan-jalan tikus bahkan mereka sering tak berhelm. Padahal, mereka belum saatnya mengendarai motor karena mereka belum memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM).

Anak dibolehkan memiliki SIM kalau sudah berumur 17 tahun. Mereka harus mengurusnya terlebih dahulu di kepolisian. Syaratnya juga harus lulus ujian mengemudi. Kalau belum lulus ujian mengemudi, mereka belum diperbolehkan mengendarai kendaraan. 

Tapi fakta berbicara lain, sebagian orang tua mengizinkan anak mereka mengendarai motor meski mereka belum berusia 17 tahun. 

Mereka masih mengenakan seragam putih-biru. Memang jumlahnya tak seberapa kalau dibandingkan dengan mereka yang menaiki sepeda, berjalan kaki, dan diantar-jemput. Seberapa pun jumlahnya, tetap saja mereka tak taat aturan dan itu menjadi contoh buruk.

Sejauh saya ketahui, tak ada satu guru pun di SMP dan yang sederajat mengizinkan anak didiknya mengendarai motor saat pergi dan pulang sekolah, ada tata tertibnya.

Tata tertib tersebut pada awal masuk sekolah sudah disosialisasikan kepada anak dan orangtua. Bahkan, umumnya mereka harus menandatanganinya dua rangkap. Satu rangkap untuk orang tua dan anak, satunya untuk dokumen di sekolah.

Memang tak dapat dipungkiri dengan mengendarai motor sendiri, orang tua tak perlu antar-jemput anaknya. Bagi orang tua yang super sibuk sangat menguntungkan. Sebab, waktunya bisa dikonsentrasikan secara utuh untuk bekerja. 

Hanya, orang tua yang mengizinkannya, entah menyadari atau tidak, kalau mereka (sebetulnya) sudah memberi ruang bagi anaknya untuk tak menaati aturan.

Sebetulnya menggantikan motor dengan sepeda merupakan alternatif yang mendidik. Selain anak dididik dalam kesederhanaan dan biasa berolahraga. Akan tetapi, lokasi rumah yang dianggap jauh dari sekolah mungkin menjadi pertimbangan orang tua.

Kalau menaiki sepeda apalagi berjalan kaki, kemungkinan anak terlambat tiba di sekolah. Ya, mungkin ada benarnya juga. Tapi, bukankah anak dapat diantar dan dijemput oleh orangtua, saudara, tetangga, pembantu, atau ojek?

Dan ingat, sudah beberapa tahun terakhir ini, dengan sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB), lokasi sekolah anak dengan tempat tinggal anak tidak jauh. Karena, anak-anak yang diterima di sekolah tertentu pasti berdomisili dekat dengan lokasi sekolah. Sehingga, pergi dan pulang sekolah dengan berjalan kaki sudah cukup terjangkau, tak perlu menaiki sepeda apalagi mengendarai motor.

Namun, pemikiran simpel kadang mengalahkan didikan yang baik. Buat apa repot-repot kalau ada yang lebih simpel. Antar-jemput oleh orang tua, saudara, tetangga, pembantu, atau ojek bukankah merepotkan? 

Meski terdengan benar karena toh tak merepotkan orang lain, apalagi sudah tersedia motor dan anak juga sudah bisa mengendarainya, tetap saja itu tidak dibenarkan. Anak masih kecil kok sudah diajari oleh orang tuanya mengendarai motor. 

Saya sering melihatnya, awalnya muter-muter di gang kampung dipandu orang tua. Pada kesempatan lain, kadang-kadang anak sendiri tanpa orang tua. Orang tuanya mungkin sudah yakin  bahwa anaknya tak jatuh dari motor sehingga dibiarkan sendirian.

Merasa aman dan bisa, akhirnya anak malah mulai muter-muter jalan kampung yang agak jauh. Dan, yang paling maaf menyebalkan adalah saat mereka berboncengan. Padahal, ukuran motor dan anaknya saja lebih gede motornya.

Betapa pun fenomena tersebut kurang mendukung sukses pendidikan. Sebab, sudah diketahui melanggar hukum, tapi dibiarkan anak melakukan. 

Membiarkan anak-anak SMP dan yang sederajat mengendarai motor sendiri terutama saat pergi dan pulang sekolah sama saja mengajarinya tak menaati hukum.

Sudah seharusnya mengenai hal tersebut antara orang tua dan sekolah memiliki komitmen yang sama. Tata tertib sekolah sudah semestinya didukung oleh orang tua. Sebab, tata tertib dibuat oleh sekolah memang untuk mendidik anak-anak. Sekolah dan orang tua harus seiring sejalan dalam menyiapkan anak memasuki masa depannya.

Sebagai guru, saya sering ingin maaf marah terhadap orang tua yang anaknya mengendarai motor pergi dan pulang sekolah. Sebab, saya menduga orang tua lah yang mengizinkan mereka mengendarai motor. Kalau orang tua tak mengizinkan, tentu anak tak melakukannya.

Tapi, mungkin saja anak memiliki beribu alasan untuk memperoleh izin mengendarai motor dari orang tuanya. Dan, di sinilah sering orang tua tak mampu menolak alasan anak sekalipun ia mengetahui keputusannya salah.

Saya melihat tak selalu motor yang lengkap yang dikendarai anak. Ada beberapa bagian vital motor tak ada, misalnya kaca spion tinggal satu, lampu sen mati, bahkan bunyi knalpot grong-grong.

Ketidaklengkapan motor sangat berbahaya bagi pengendara lain. Bunyi knalpot modifikasi menimbulkan kebisingan yang sangat mengganggu kenyamanan.

Sayang, fenomena tersebut sejak dahulu hingga kini tetap saja ada seperti tak ada jalan keluar. Sekolah (SMP dan sederajat) yang sudah membuat tata tertib belum efektif. Selalu ada anak yang mengendarai motor saat pergi dan pulang sekolah.

Kok bisa? Itulah "cerdiknya" anak-anak zaman now. Mereka ternyata tak memarkir motornya di parkiran sekolah. Mereka menitipkan motor di luar parkir sekolah. Dari tempat penitipan itu, mereka berjalan kaki ke sekolah. Dengan begitu, seolah mereka tak mengendarai motor. Ckckckck!

Membiarkan kenyataan tersebut terus terjadi tentu tak mendidik. Tapi, justru memperparah keburukan karena anak-anak semakin menganggap hukum tak berlaku. Juga membuat mereka tak jujur dan tak bertanggung jawab. 

Barangkali langkah solutifnya hanya berada di ketegasan orang tua. Ketegasan orang tua lebih edukatif ketimbang pendekatan hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun