Dan ingat, sudah beberapa tahun terakhir ini, dengan sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB), lokasi sekolah anak dengan tempat tinggal anak tidak jauh. Karena, anak-anak yang diterima di sekolah tertentu pasti berdomisili dekat dengan lokasi sekolah. Sehingga, pergi dan pulang sekolah dengan berjalan kaki sudah cukup terjangkau, tak perlu menaiki sepeda apalagi mengendarai motor.
Namun, pemikiran simpel kadang mengalahkan didikan yang baik. Buat apa repot-repot kalau ada yang lebih simpel. Antar-jemput oleh orang tua, saudara, tetangga, pembantu, atau ojek bukankah merepotkan?Â
Meski terdengan benar karena toh tak merepotkan orang lain, apalagi sudah tersedia motor dan anak juga sudah bisa mengendarainya, tetap saja itu tidak dibenarkan. Anak masih kecil kok sudah diajari oleh orang tuanya mengendarai motor.Â
Saya sering melihatnya, awalnya muter-muter di gang kampung dipandu orang tua. Pada kesempatan lain, kadang-kadang anak sendiri tanpa orang tua. Orang tuanya mungkin sudah yakin  bahwa anaknya tak jatuh dari motor sehingga dibiarkan sendirian.
Merasa aman dan bisa, akhirnya anak malah mulai muter-muter jalan kampung yang agak jauh. Dan, yang paling maaf menyebalkan adalah saat mereka berboncengan. Padahal, ukuran motor dan anaknya saja lebih gede motornya.
Betapa pun fenomena tersebut kurang mendukung sukses pendidikan. Sebab, sudah diketahui melanggar hukum, tapi dibiarkan anak melakukan.Â
Membiarkan anak-anak SMP dan yang sederajat mengendarai motor sendiri terutama saat pergi dan pulang sekolah sama saja mengajarinya tak menaati hukum.
Sudah seharusnya mengenai hal tersebut antara orang tua dan sekolah memiliki komitmen yang sama. Tata tertib sekolah sudah semestinya didukung oleh orang tua. Sebab, tata tertib dibuat oleh sekolah memang untuk mendidik anak-anak. Sekolah dan orang tua harus seiring sejalan dalam menyiapkan anak memasuki masa depannya.
Sebagai guru, saya sering ingin maaf marah terhadap orang tua yang anaknya mengendarai motor pergi dan pulang sekolah. Sebab, saya menduga orang tua lah yang mengizinkan mereka mengendarai motor. Kalau orang tua tak mengizinkan, tentu anak tak melakukannya.
Tapi, mungkin saja anak memiliki beribu alasan untuk memperoleh izin mengendarai motor dari orang tuanya. Dan, di sinilah sering orang tua tak mampu menolak alasan anak sekalipun ia mengetahui keputusannya salah.
Saya melihat tak selalu motor yang lengkap yang dikendarai anak. Ada beberapa bagian vital motor tak ada, misalnya kaca spion tinggal satu, lampu sen mati, bahkan bunyi knalpot grong-grong.