Menjadi guru, menurut saya, profesi yang enak. Tapi, bukan berarti profesi-profesi yang lain tidak enak. Bukan. Sebab, sebetulnya setiap profesi enak juga, hanya tergantung dari sudut pandang mana orang memandangnya. Memang ada budaya seperti berikut ini, yang sudah berkembang di masyarakat.Â
Yaitu, orang saling memandang profesi sehingga muncul sebuah klaim, yang akhirnya orang dapat (dengan mudah) meninggikan dan merendahkan sebuah profesi.Â
Profesi orang lain dipandang bernilai tinggi sehingga mengesankan enak. Sedangkan profesi diri sendiri dipandang bernilai rendah sehingga mengesankan tidak enak.
Sangat relevan dengan ungkapan "sawang-sinawang" dalam bahasa Jawa. Mengenalkah Anda?Â
Sawang-sinawang terkait dengan sikap seseorang, yang kalau memandang keberadaan orang lain sepertinya sangat enak, tapi memandang keberadaan dirinya sendiri tidak enak. Boleh jadi ini (hanya) gaya bersosialisasi seseorang terhadap orang lain agar tidak dianggap tinggi hati, tapi rendah hati.
Namun, boleh juga dimaknai sebagai seseorang yang tidak mau merasa bersyukur terhadap anugerah Tuhan, karena ia membandingkannya dengan anugerah yang diterima orang lain.Â
Ia mengukur dirinya dengan ukuran orang lain. Jadi, pasti berbeda dan tidak mungkin (pernah) bertemu. Sebab, orang memiliki ukuran sendiri-sendiri dan itu tergantung pada otoritas Tuhan.
Jadi, sebagai guru, saya berusaha semaksimal mungkin memandangnya sebagai profesi yang enak. Tidak hanya karena guru memiliki waktu libur seperti libur anak didiknya.Â
Jika libur anak didiknya panjang, libur guru juga panjang. Pun begitu sebaliknya, kalau libur anak didiknya pendek, libur guru juga pendek.
Berbeda dengan profesi lain, yang tidak memiliki libur seperti libur profesi guru. Mereka hanya memiliki libur saat tanggal-tanggal merah. Yang pada praktiknya juga dimiliki oleh guru. Artinya, saat tanggal-tanggal merah, guru juga libur. Memang bagi mereka ada libur cuti, sementara bagi guru tidak ada. Itu yang pertama.
Yang kedua, ada tunjangan profesi bagi guru. Ini untuk guru-guru yang sudah tersertifikasi. Ditandai dengan dimilikinya sertifikat pendidik.Â
Tunjangan profesi yang selama ini diterimakan tiga bulan sekali sangat memompa perekonomian guru dan keluarganya. Penghasilan bertambah berpengaruh pada pemenuhan kebutuhan keluarga. Dengan begitu kesejahteraan keluarga terjadi.
Memang tak dipungkiri ada pihak yang mengaitkan antara tunjangan profesi guru dengan perselingkuhan. Konon katanya, sejak ada tunjangan profesi guru, banyak guru yang berselingkuh.Â
Ada atau tidaknya hal itu, saya belum pernah menemukan buktinya. Yang pasti, di sekolah tempat saya mengabdi tak ada guru yang berselingkuh terkait dengan tunjangan profesi. Di tempat lain? Entah.
Tapi, kalau memang ada, masuk akal juga. Sebab, penghasilan bertambah, seseorang dapat saja bertambah "tingkah". Salah satunya tingkah perselingkuhan, yang pasti memerlukan ongkos. Ongkosnya dapat diambilkan dari uang tunjangan profesi bukan?
Maaf, melalui paragraf di atas, saya tidak bermaksud mendorong para guru yang sudah menerima tunjangan profesi untuk melakukan perselingkuhan. Tidak.Â
Tapi, saya hanya membayang-bayangkan bahwa (ternyata) logis juga mengaitkan antara penerimaan tunjangan profesi guru dan perselingkuhan yang (boleh jadi memang) dilakukan oleh oknum guru.
Hanya, semua itu (sebenarnya) tergantung pada manusianya. Sebab, perselingkuhan dapat dilakukan meski tanpa ada biaya. Pada beberapa kasus, perselingkuhan terjadi karena nafsu, bukan karena rupiah.Â
Sebaliknya, banyak orang berlimpah Rupiah bahkan Dolar, tapi hidupnya jauh dari perselingkuhan, yang ada (malah) hidup harmonis bersama keluarga.
Oleh karena itu, saya berusaha memandang profesi guru itu profesi yang enak, apalagi profesi saya memang guru, jadi tak mungkin saya mengkhianatinya. Berikut ini saya sebut enaknya lagi, selain dua di atas. Setiap hari efektif masuk sekolah, guru selalu berjumpa dengan anak-anak didiknya.Â
Mereka berasal dari latar belakang yang berbeda, yaitu berbeda agama, sosial-ekonomi, daerah, suku, dan keluarga. Ini keadaan di sekolah-sekolah umum milik pemerintah, bukan milik yayasan, seperti di sekolah tempat saya menjalani profesi.
Menjadi guru, dengan demikian dapat belajar --jadi tidak hanya mengajar-- dari banyak anak didik yang berbeda. Dapat mengetahui banyak perilaku anak, misalnya. Ada anak yang berperilaku lucu, nakal, cuek, cekatan, rajin, empati, sombong, rendah hati, pendiam, suka berbicara, optimis, pesimis, dan lain-lain.
Selain itu, guru bisa mengetahui ada anak yang berbadan gemuk, kurus, pendek, dan jangkung. Berwajah ganteng, cantik, kurang ganteng, dan kurang cantik. Berkulit hitam, cokelat, dan putih. Berpikir cerdas dan kurang cerdas.
Jadi, guru sebenarnya berada dalam keadaan yang tidak membosankan karena tidak berhadapan dengan hal yang monoton, tapi banyak varian. Jadi seperti berada dalam panggung penuh hiburan. Sehingga wajar saja kalau ada sebagian orang yang mengatakan bahwa menjadi guru itu membikin awet muda. Ya, benar. Saya saja awet muda, kok. He he he.
Tapi, tak boleh memungkiri adanya rasa sedih, kecewa, bahkan di ambang marah, saat menjumpai anak-anak didik yang sulit dibimbing karena mereka lebih mementingkan kesenangannya sendiri ketimbang menuruti tata tertib belajar. Nasihat-nasihat yang (telah) diberikan tak berguna. Karena setelah nasihat diberikan, mereka tak berubah dari kebiasaan lama.
Di dalam semua itu tak berarti tidak ada rasa senang, bahagia, dan syukur. Rasa senang itu (bahkan) selalu ada karena tak sedikit anak-anak didik yang memiliki tanggung jawab belajar.Â
Mereka datang ke sekolah memang benar-benar ingin belajar. Semangat belajar mereka tinggi. Sehingga dari mereka, prestasi-prestasi dihasilkan. Untuk dirinya sendiri, orang tua, sekolah, bahkan bangsa dan negara.
Selain itu, tak sedikit anak-anak didik yang sekalipun tidak berprestasi secara akademik atau nonakademik, mereka berprestasi secara mental-spiritual.Â
Bagi saya, justru mereka yang termasuk kelompok ini amat baik, sebab mereka sudah memiliki modal awal "yang kuat" untuk menggapai masa depan.
Masa depan tidak cukup ditentukan oleh intelektual, tapi mental-spiritual. Bahkan, sekalipun tak cerdas intelektual, seseorang yang cerdas mental-spiritual tetap memiliki jalan mudah dalam meraih masa depan gemilang. Jadi, ini pun aspek-aspek yang membuat saya, sebagai seorang guru, memandang bahwa profesi guru itu enak.
Masih ada lagi. Ini yang sebenarnya sangat mendasar terkait dengan pengembangan profesionalisme guru. Anak-anak didik yang berasal dari latar belakang dan keadaan yang berbeda, tentu membutuhkan multipendekatan dalam pembelajaran agar mereka mengalami tumbung kembang secara maksimal.Â
Kenyataan tersebut menuntut para guru mau belajar untuk mengembangkan potensinya sebagai pendidik dan pengajar agar keberadaannya selalu dirindukan anak-anak didik di ruang belajar.
Oleh karena itu, aktivitas yang harus dilakukan guru adalah mengikuti kegiatan-kegiatan kolektif pengembangan keprofesian guru, baik yang diadakan di dalam maupun di luar sekolah.Â
Kedua kegiatan tersebut memperjumpakan banyak guru, yang di dalamnya dihadirkan narasumber yang ahli di bidangnya. Guru-guru mendapat banyak pengetahuan, yang secara aplikatif mendukung proses pembelajaran.
Betapa tidak enak profesi guru, yang setiap saat dapat mengembangkan ilmu bersama teman-teman seprofesi dengan para ahli di bidangnya. Yang, pada akhirnya dapat memberi kontribusi positif bagi pertumbuhan pengetahuan, keterampilan, dan sikap anak-anak didik. Sehingga mereka menjadi generasi yang dapat merebut peluang untuk selanjutnya dapat hidup layak.
Ini sebetulnya "kenikmatan" orang yang berprofesi sebagai guru ketika melihat anak-anak yang dulu pernah dididik dan diajarnya kini hidup dalam kelimpahan anugerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H