[caption caption="Tol Bekasi | Foto: Kompascom - Kristianto Purnomo"][/caption]Tulisan ini tidak bermaksud menjelek-jelekkan Kota Bekasi. Tanpa tulisan ini pun Kota Bekasi masih jauh dari bagus.
Kira-kira hampir setahun lalu sebuah cuit tentang rusaknya kondisi sebuah ruas jalan di Kota Bekasi menjadi awal mula bullying massal terhadap daerah yang dulu merupakan bagian wilayah Betawi itu. Celotehan bernada menghujat atau menetawakan beredar di mana saja, lengkap dengan gambar maupun video yang membuat sebagian warga Bekasi merasa hancur hatinya. Kalau diumpamakan perusahaan, saham Bekasi pasti sudah amblas, PHK besar-besaran, dan tinggal menunggu putusan pailit dari Pengadilan Niaga. Semuanya akibat sentimen ultra negatif tersebut.
Sebagai warga Bekasi, saat itu saya tidak termasuk golongan yang merasa tersinggung atas bullying Bekasi. Bagi saya Jakarta sama buruknya karena tidak bisa memanfaatkan APBD yang begitu gemuk. Demikian pula beberapa daerah lain. Tetapi hari ini saya akhirnya mengerti mengapa mereka menyudutkan Bekasi.
Setidaknya saya punya alasan sendiri.
Kira-kira 9 malam saya meninggalkan kantor di kawasan Cibubur menuju rumah orangtua di Mustika Jaya, Bekasi. Yang saya pahami lewat Jalan Alternatif Cibubur-Cileungsi-Jalan Raya Narogong lebih dekat daripada jalur Jalan Raya Bogor-Kalimalang. Maka saya mengambil jalur pertama. Awalnya tidak ada yang membuat saya kesal kecuali truk-truk yang melintasi Jalan Raya Narogong dan ruas jalan yang rusak. Tetapi itu masih di wilayah Kabupaten Bogor.
Sampai di Pasar Bantar Gebang motor pun belok kanan tujuan Mustika Jaya. Jaraknya hanya sekitar 6 km. Setelah melewati perumahan Bumi Alam Hijau saya melihat petunjuk arah belok kiri ke tujuan saya. Saya sempat ragu-ragu lantaran jarang sekali lewat jalur ini, tetapi saya putuskan mengikuti arah tersebut.
Mulanya tidak ada yang janggal dari jalan yang saya lalui. Kondisi jalan mulus, cukup dilewati dua mobil, hanya saja minim penerangan. Saya mengikuti jalan yang paling besar sewaktu bertemu persimpangan dan semua itu terjadi begitu saja sampai saya menyadari 20 menit sudah habis dan belum juga menemukan ancar-ancar yang saya ingat. Balik arah tidak mungkin sebab sudah cukup jauh. Situasi ini diperburuk jalan yang sepi dan gelap sehingga sulit menemukan orang untuk bertanya. Sebetulnya saya masih bisa berharap pada teknologi, sialnya ponsel mati total. Dus, saya putuskan memacu motor lagi.
Lebih 30 menit akhirnya saya merasa mendapat petunjuk dengan melihat sebuah pabrik berpagar hijau. Untuk informasi, di Bekasi sangat penting mengingat ancar-ancar atau penanda, bisa bangunan, pohon dan sebagainya. Sebab, banyak jalan di Bekasi tampak sama satu dengan yang lain. Apalagi malam hari, kanan-kiri hanya pepohonan, warung kopi, gudang kayu, bengkel las serta kondisi gelap.
Rupanya dugaan saya salah. Terlalu banyak pabrik berpagar hijau, dan yang terlihat hanya mirip. Maka saya mencari papan reklame apa saja yang dapat memberi petunjuk. Namun juga nihil. Sampai saya akhirnya melihat pangkalan ojek dan bertanya arah.
"Ke sono, lurus aja, bang."
"Nggak belok-belok, bang?" kata saya, memastikan.Â
"Lurus. Lurus aja."
"Kalau ini dearah apa, bang?"
"Sini mah Bojong Menteng."
Saya menyampaikan terima kasih, dan orang yang saya tanya melanjutkan permainan ceki bersama tiga sejawatnya.
Saya percaya masyarakat atau individu adalah duta bagi daerahnya. Termasuk dalam pengalaman kesasar ini, mereka layak didengar, sehingga ada istilah pelesetan GPS (gunakan penduduk setempat). GPS yang satu itu saya sering buktikan lebih manjur daripada GPS Google.
Akan tetapi naas, GPS yang saya dengar malam tadi eror fatal. Alih-alih lurus terus saya justru masuk ke sebuah perumahan. Asal tahu saja, perumahan di Bekasi itu sukar dibedakan lantaran desain yang sangat menyerupai satu sama lain. Saluran air besar, ruko, taman, masjid, semuanya susah dicari pembedanya. Maka saya berhenti untuk bertanya, kali ini giliran penjual sate.
"Cak, ini perumahan Pondok Timur Indah?"
"Bukan, mas," sahutnya dengan aksen Madura khas tanpa memberi jawaban.
"Jadi, komplek apa, cak? Pondok Hijau?"
"Bukan juga, ini Narogong."
Saya tidak akan mendapat apa-apa dengan bertanya padanya. Narogong sangat luas. Saya segera pergi setelah mengucapkan terima kasih.
Beberapa ratus meter kemudian saya baru mengetahui posisi dari papan reklame sebuah apotek yang mencantumkan lokasi: Perum Taman Narogong Indah. Saya pernah ke perum ini tetapi sudah sangat lama. Untuk itu saya perlu mencari GPS yang akurat. Seorang juru parkir sebuah mini market akhirnya saya dekati.Â
"Bang, keluar komplek ke arah mana?"
"Balik aja bang, ke sana," ujar juru parkir mengarahkan telunjuknya.
"Kalau Mustika Jaya?"
"Mustika Jaya? Mustika Sari Kali?"
Kedua daerah ini sama saja sebetulnya. Mustika Sari merupakan salah satu kelurahan yang berada di Kecamatan Mustika Jaya. Saya tidak mau ambil pusing, "Ya udah Mustika Sari Ke mana?"
"Wah, masih jauh, bang. Abang mau ke mana?"
"Mustika Jaya, kan, saya tanya. Kalau lurus itu ke mana?" Saya menunjuk jalan ke depan.
"Itu ke Rawa Panjang, Pekayon, Kemang juga bisa," ia meninggalkan saya sebentar untuk mengatur mobil keluar.
Saat saya bersiap pergi, juru parkir melanjutkan petunjuknya, "Kalau belok kanan bisa ke tol, bang."
"Tol mana, bang?"
"Ya tol Bekasi," tandasnya mantap.
Lagi-lagi petunjuk yang misterius. Sebagai informasi, di antara sekian banyak pintu tol di Bekasi, terdapat dua gerbang tol yang paling banyak dilalui, pintu tol Bekasi Barat dan pintu Bekasi Timur. Anda yang berkunjung ke Bekasi perlu memperhatikan hal ini karena ke Bekasi ibarat menyambangi New Zealand, anda harus memutuskan pergi ke utara atau selatan. :(
Entah bisikan dari mana saya justru mengambil pilihan kedua; belok kanan. Ternyata arahan yang saya pilih jalannya berupa gang kecil, berbelak-belok tak konsisten, sepi dan gelap. Namun saya memutuskan tidak akan bertanya lagi. Lebih baik mengikuti naluri, sebab setiap jawaban hanya teka-teki yang sulit dipecahkan. Apabila bertanya lagi saya kuatir akan semakin terjebak ke dalam labirin, dan saya tidak ingin menjadi tua di jalanan Bekasi.
Tiga orang Bekasi yang saya tanya bukan duta yang baik bagi daerahnya. :(
Kata hati saya pada akhirnya memberikan cahaya yang sangat binar. Jalan Raya Pengasinan!
Sampai rumah rupanya jam 11 malam lebih sekaligus tangki bensin terkuras. Kenyataan yang harus diterima. Di luar keteledoran pribadi, saya menyayangkan Kota Bekasi yang mempunyai fasilitas penunjuk jalan sangat minim. Kalaupun ada, tujuannya menyesatkan. Lampu penerangan jalan umum pun sangat memprihatinkan di benyak titik, padahal penduduk kota ini semakin banyak. Dengan APBD 2016 mencapai Rp4,4 triliun ditambah sumbangan Provinsi DKI Jakarta yang diproyeksikan sebesar Rp400 miliar, rasanya sangat keterlaluan bila Pemkot Bekasi tidak mampu menyediakan fasilitas dasar ini.
Bekasi, 25 November 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H