Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Menikah di Tahun Baru, Sekuat Apa Motivasimu?

27 Desember 2023   08:06 Diperbarui: 28 Desember 2023   00:40 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pernikahan.(porstooleh/ Freepik via kompas.com)

Sebentar lagi tahun baru 2024. Jika kamu masih menjomblo hingga akhir 2023 ini, tak ada salahnya. Semoga di tahun baru nanti, sudah ketemu jodoh terbaik untukmu.

Menikah adalah peristiwa yang sakral, baik dalam pandangan agama, negara maupun sosial. Itulah sebabnya agama memberikan aturan yang detail tentang menikah. 

Demikian pula negara mengatur urusan pernikahan, dan secara sosial sudah menjadi tradisi turun temurun di Indonesia dan banyak negara, upacara pernikahan adalah hal yang istimewa.

Seharusnya, pernikahan dilandasi dengan motivasi ibadah, dalam rangka menunaikan ketaatan kepada Allah, sebagai upaya meneladani kehidupan Rasulullah Saw. 

Semestinya pernikahan dilandasi dengan niat yang ikhlas untuk melaksanakan tuntunan-Nya, bagian dari menjalani ketaatan kepada Allah dan Rasul. Menikah bukan hanya urusan dunia, namun hingga ke akhirat.

Motivasi adalah pondasi segala sesuatu, awal mula dari seluruh amal. Jika pondasinya kokoh, benar dan jelas, maka amal akan kokoh, benar dan jelas pula. 

Maka, perjelas dan perkokoh motivasi dalam memasuki kehidupan pernikahan dan berumah tangga. Dengan berlandaskan motivasi ibadah, pernikahan akan memiliki pijakan yang kuat, memiliki daya tahan saat harus menghadapi berbagai persoalan dalam kehidupan.

Namun sayangnya, ada berbagai motivasi dalam pernikahan yang bercorak duniawi dan tidak memiliki pondasi spiritual yang kokoh. Karena memiliki motivasi yang lemah, apalagi salah, maka wajar jika dalam hidup berumah tangga lebih banyak diwarnai oleh konflik, masalah dan penyimpangan.

tangkapn layar dari kompas.com. (Dok. Pribadi)
tangkapn layar dari kompas.com. (Dok. Pribadi)

Mudah sekali tergoda, mudah sekali tergelincir, mudah sekali tergoyahkan, mudah sekali berpikir untuk mengakhiri perjanjian sakral yang telah diucapkan saat akad nikah. Berikut adalah contoh-contoh motivasi yang lemah, bahkan sebagiannya : salah.

  • Menyalurkan Syahwat

Sebagian orang menikah karena dorongan syahwat atau instink semata-mata. Seperti mengikuti dorongan naluri (basic instink) untuk mendapatkan penyaluran.

Lelaki bertemu perempuan, berinteraksi secara bebas, mencoba-coba, melakukan semua kesenangan tanpa peduli aturan agama, kemudian meneruskan ke jenjang pernikahan. 

Menikah hanya untuk melegalkan dorongan syahwat semata-mata. Ini motivasi yang lemah, tidak bisa menjadi pondasi untuk kehidupan berumah tangga.

Syahwat tidak mengenal kepuasan. Sebanyak apapun orang melampiaskan syahwatnya, yang didapatkan justru dahaga dan lapar yang menuntut pemuasan lebih dan lebih.

Maka pernikahan yang dibangun semata-mata karena syahwat, tidak akan mendapatkan sakinah, karena syahwat selalu menghendaki untuk mendapatkan pemuasan tanpa ada akhir dan batasnya.

  • Terlanjur Cinta

Sebagian orang menikah dengan alasan karena sudah terlanjur saling jatuh cinta. Mereka berjanji sehidup semati. Mereka saling tergila-gila satu dengan yang lainnya.

Merasa tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain, dan akhirnya memutuskan untuk menikah karena tengah dimabuk cinta. Motivasi jatuh cinta ini sangat sementara, karena setiap yang jatuh akan ada masa bangunnya.

Suasana jatuh cinta telah membuat ketertipuan. Seakan-akan lelaki dan perempuan yang tengah jatuh cinta adalah sang pangeran dan putri yang akan bisa mendapatkan kebahagiaan hidup selama-lamanya.

Padahal episode jatuh cinta akan berakhir, dan mereka akan menapaki kehidupan yang sesungguhnya dan apa adanya. Di saat itulah semua akan menjadi normal, dan saling kecewa satu dengan yang lainnya.

  • Motif Ekonomi

Ada lelaki yang menikahi janda kaya dengan harapan bisa ikut menikmati kekayaannya. Ada perempuan menikah dengan lelaki kaya dengan harapan terbantu ekonominya.

Jika menikah dengan motif ekonomi seperti itu, akan sangat bergantung kondisinya dengan fluktuasi kemampuan dan manajemen keuangan pasangan. Jika kondisi keuangan pasangan tidak seperti yang diharapkan, cinta dan kesetiaannya akan bisa hilang pula.

Motif ekonomi sangat sementara, karena pada dasarnya sebanyak apapun uang tidak akan pernah bisa membeli cinta. Uang dan kekayaan hanyalah sarana untuk membeli benda-benda.

Cinta sejati tidak akan tumbuh hanya karena mendapatkan asupan uang secara rutin, berapapun besarnya. Walaupun tanpa uang, cinta juga akan sangat sulit dijaga. Namun hidup berumah tangga semata bermotif materi, menjadi tidak cukup kuat untuk menghadapi badai kekurangan ekonomi.

  • Karena Kasihan

Ada laki-laki yang menikahi perempuan karena merasa iba dan tidak tega. "Saya kasihan kepada kondisinya. Jika saya menolak ajakannya menikah, mungkin dia akan tambah hancur".

Ada perempuan yang menikah dengan laki-laki karena merasa kasihan dan tidak enak untuk menolak, "Saya tidak tega untuk menolaknya. Kasihan kalau nanti dia kecewa".

Perasaan kasihan sebagai motivasi untuk menikah, hanya akan bertahan seiring dengan bersemayamnya rasa kasihan tersebut dalam diri seorang suami atau istri. Jangan menikah hanya karena merasa kasihan atau tidak tega, karena ini termasuk motivasi yang lemah.

Ditolak adalah salah satu konsekuensi dari peminangan, tentu orang yang meminang sudah tahu bahwa ada kemungkinan diterima maupun ditolak. Ini adalah kondisi sesaat, sementara menikah adalah kondisi sepanjang hayat.

  • Karena Prestise

Ada lelaki yang mati-matian berjuang mendapatkan istri seorang perempuan yang memiliki kedudukan sosial tinggi. 

Mungkin karena keturunan bangsawan atau pejabat tinggi, mungkin karena populer atau selebriti, mungkin karena perempuan itu sangat cantik yang meraih predikat Ratu Kecantikan dan lain sebagainya.

Dengan menikahinya, diharap akan bisa mendapatkan kebanggaan dan ikut populer bersama sang istri. Menikah semata-mata karena dorongan kebanggaan dan prestise.

Ada perempuan yang obsesif ingin menikah dengan seorang lelaki. Bukan karena ia jatuh cinta, namun karena ingin mendapatkan wibawa, gengsi atau prestise tinggi jika bisa menikah dengan lelaki tersebut.

Mungkin dia adalah pejabat, konglomerat ataupun bangsawan kelas hebat. Atau dia lelaki sangat terkenal dan memiliki popularitas tinggi. Pernikahan dengan motivasi seperti ini termasuk lemah dan kondisinya sangat tergantung atas prestise yang didapatkannya.

  • Karena Terpaksa

Ada dua jenis terpaksa, pertama terpaksa jiwa, dan kedua terpaksa kondisi. Kedua-duanya tidak ada yang nyaman untuk dilalui. 

Contoh terpaksa secara kondisi, ada lelaki yang dipaksa menikahi seorang perempuan karena sudah terlanjur terjadi accident, yaitu karena si perempuan sudah hamil sebelum menikah.

Ini adalah kondisi terpaksa, dimana pihak lelaki dipaksa untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pada dasarnya kedua belah saling mencinta dan saling menerima. Hanya saja terpaksa menikah sebelum waktu yang direncanakan karena sudah ada accident.

Contoh terpaksa secara jiwa, misalnya lelaki dan perempuan yang dinikahkan secara paksa tanpa kerelaan dan penerimaan dari keduanya. Keterpaksaan adalah ketidaknyamanan, maka bagaimana akan bisa bertahan dalam hidup berumah tangga yang sangat panjang jika suasana yang dibangun dari awal adalah keterpaksaan.

Hendaknya menikah bukan karena terpaksa dan dipaksa. Menikahlah dengan sepenuh kesadaran dan kerelaan.

  • Ingin Membahagiakan Orangtua

Membahagiakan orangtua adalah tindakan mulia. Semua anak hendaknya memiliki keinginan membahagiakan orangtua. Namun harus dilakukan dengan cara-cara yang tepat.

Ada perempuan yang menikah karena keinginan orangtuanya, bukan keinginan dirinya. Ia menikah semata-mata untuk kepentingan orangtuanya; atau karena semata-mata ingin memenuhi keinginan orangtua.

Mungkin ada orang tua yang mendapatkan jaminan kehidupan dari lelaki yang ingin menikahi anak perempuannya; namun si anak sebenarnya tidak rela menikah dengan lelaki tersebut. Karena ingin membahagiakan orangtua, si anak akhirnya bersedia menikah dengan lelaki pilihan orangtuanya.

Ada laki-laki yang menikah demi membahagiakan orang tuanya. Dia dinikahkan dengan anak dari sahabat orangtuanya dengan alasan balas budi atau dengan alasan menjalin hubungan persaudaraan yang lebih kuat.

Karena ingin membahagiakan orang tua, akhirnya ia menikah dengan perempuan pilihan orangtua. Motivasi ingin membahagiakan orangtua sebenarnya sangat mulia, namun jika tidak dibarengi dengan motivasi yang lebih kuat, akan bisa membuat suasana berat dalam kehidupan berumah tangga.

  • Untuk Mencapai Tujuan Politik

Ada lelaki yang menikah dengan pertimbangan politik praktis. Dirinya memiliki tujuan-tujuan politik yang dengan menikahi perempuan itu akan memudahkan untuk mencapai tujuan tersebut.

Ada pula perempuan yang menikah dengan laki-laki karena ada tujuan politik yang ingin didapatkan dari pernikahan tersebut. Pernikahan seperti ini bisa disebut sebagai pernikahan politik. Mungkin untuk kepentingan pemenangan pilihan kepala desa, pemilihan kepala daerah, pemilu legislatif dan lain sebagainya.

Pernikahan yang dilandasi motivasi kepentingan politik, akan cepat kandas tatkala kepentingan dan tujuan politik tersebut tidak berhasil didapatkan. Ternyata setelah menikah, dirinya tidak bisa mencapai tujuan politik seperti yang diharapkan.

Jika terjadi situasi ini, akan membuat kekecewaan yang berlebihan, sehingga keluarga tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Tujuan politik belum tentu tercapai, keharmonisan keluarga pun terabaikan.

Meluruskan Motivasi Menikah

Itu semua adalah contoh motivasi menikah yang lemah dan membuat keluarga mudah goyah. Oleh karena itu, sangat penting untuk meluruskan dan menguatkan motivasi.

Hendaknya niat menikah benar-benar lillahi Ta'ala, untuk menunaikan ibadah, untuk menjalankan sunnah, untuk merealisasikan syari'ah. Inilah motivasi yang lurus dan kokoh. Bercorak dan berdimensi ukhrawi. Bukan semata-mata untuk tujuan dan keinginan yang duniawi.

Jika menikah semata-mata bermotifkan kepentingan dan keinginan dunia, maka yang didapatkan hanyalah segala sesuatu yang sementara. Bahkan terkadang bercorak maya, bukan nyata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun