Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

"Hedonic Treadmill", Apakah Anda Mengalami?

10 September 2023   19:55 Diperbarui: 10 September 2023   20:01 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.wonderliv.com/

"According to the hedonic treadmill model, as a person makes more money, expectations and desires rise in tandem, which results in no permanent gain in happiness" (Jari Roomer, 2019).

"Kita ganti mobil yang lebih bagus ya Pah... Uang kita insyaallah sudah cukup untuk membeli mobil baru yang lebih bagus dari yang kita pakai ini", ujar seorang istri kepada suaminya.

"Ini kan belum tiga tahun kita pakai Mah... Masih bagus kok," jawab sang suami.

"Tapi aku sudah bosan Pah, dan ada mobil yang jauh lebih nyaman dari mobil kita ini..." sanggah istri.

Begitulah gambaran kehidupan kita. Manusia sering merasa tidak puas dengan apa yang telah dimiliki. Ini disebut sebagai fenomena 'hedonic treadmill'. Sebuah istilah untuk menggambarkan orang-orang yang mengejar kebahagiaan dengan terus berlari, menambah kecepatan, dan tak pernah puas dengan keadaaan yang telah berhasil dicapai.

Sejauh itu berlari, secepat itu mengejar materi, namun sampai di manakah mereka? Ternyata tetap di tempat semula. Tidak ke mana-mana.

Istilah ini berawal dari konsep "hedonic adaptation", yang diperkenalkan oleh Philip Brickmann dan Donald Campbell. Konsep yang menggambarkan, ternyata manusia cenderung kembali pada standar kebahagiaan hidup yang sebelumnya.

Saat seseorang memiliki penghasilan Rp. 1 juta per bulan, ia berobsesi bisa mengendarai sepeda motor second, yang masih manual. Ketika penghasilan naik menjadi Rp 5 juta per bulan, ia membayangkan bisa mengendarai motor matic baru 150 cc.

Ketika penghasilan naik menjadi Rp. 25 juta per bulan, ia membayangkan bisa mengendarai mobil Innova terbaru. Setelah penghasilan sudah di atas Rp. 300 juta per bulan, ia bersenang-senang dengan mobil Hummer dan motor Harley Davidson. Bertambah lagi penghasilannya, bertambah pula keinginannya, bertambah meningkat pula gaya hidupnya.

Perasaan ingin mengejar level bahagia selanjutnya seperti ini selalu terulang, terulang, dan terulang lagi, hingga sulit sekali untuk dihentikan. Manusia ingin dan terus ingin, mengejar dan terus mengejar.

Padahal, tidak peduli seberapa cepat anda berlari di atas treadmill, keberadaan anda sesungguhnya tetap tak berpindah dari mesin treadmill tersebut. Di level tertentu, saat telah menjadi milyarder, seseorang bisa mengatakan, "Aku lebih bahagia saat hidup dengan gaji 15 juta sebulan. Waktu itu hidupku lebih tenang dan bahagia".

Sering Tidak Disadari

Anna Katharina Schaffner (2016) mengingatkan, "Bayangkan Anda membeli sebuah mobil impian ---kendaraan mewah yang berkilau. Awalnya, Anda diliputi kegembiraan dan kepuasan. Mesin mobil yang bertenaga dan fitur-fitur mewah memberi Anda kesenangan luar biasa. Anda merasakan gelombang kebahagiaan setiap kali berada di belakang kemudi".

"Namun seiring berjalannya waktu," ujar Schafner, "Hal istimewa tersebut mulai memudar. Mobil mewah menjadi bagian akrab dari rutinitas harian Anda. Saat itu Anda tidak lagi merasakan tingkat kegembiraan dan kehebohan sama seperti yang Anda rasakan pada hari-hari awal kepemilikan".

Ian McEwan menulis dalam novel Enduring Love (1997) tentang fenomena ini, "People often remark on how quickly the extraordinary becomes commonplace. We are highly adaptive creatures".

"Orang-orang sering berkomentar tentang betapa cepatnya hal-hal luar biasa menjadi hal biasa. Kita adalah makhluk yang sangat adaptif", ujar Ian McEwan.

Rupa-rupanya, sangat banyak manusia modern terjebak dalam gaya hidup hedonic treadmill. Media sosial semakin menguatkan gaya hidup tersebut. Jalan-jalan sekeluarga ke Singapura, diupload di instagram.

Bulan depan jalan-jalan ke Turki, diupload di instagram. Terus menerus gaya hidup mengajak mereka pergi ke tempat yang lebih jauh lagi, agar bisa menempatkan diri pada posisi para seleb media sosial. Naik pesawat di kelas bisnis, tidur di hotel bintang lima plus, dan menghadirkan hiburan-hiburan aneka jenisnya.

Sukseskah orang-orang seperti ini? Bahagiakah orang-orang ini? Menarik untuk kita simak ungkapan Jari Roomer (2019) berikut:

"Being on the hedonic treadmill can be quite dangerous, as most people never realize they are on it. Therefore, they continue to chase after more, bigger and better --- and burn themselves out in the process. They are only satisfied for a brief moment with their current lifestyle before they feel the psychological need to upgrade it again and again".

"Berada dalam keadaan hedonic treadmill bisa sangat berbahaya, karena kebanyakan orang tidak pernah menyadari bahwa mereka sedang melakukannya. Oleh karena itu, mereka terus mengejar yang lebih besar, lebih banyak, dan lebih baik -- sampai kehabisan tenaga dalam prosesnya. Mereka hanya merasa puas sesaat dengan gaya hidup saat ini, sebelum akhirnya merasakan kebutuhan psikologis untuk terus meningkatkannya".

"According to the hedonic treadmill model, as a person makes more money, expectations and desires rise in tandem, which results in no permanent gain in happiness. While in reality, most people expect that achieving these type of goals will make them happier. And that's a perfect cocktail of never-ending confusion and frustration".

"Menurut model hedonic treadmill, ketika seseorang menghasilkan lebih banyak uang, ekspektasi dan keinginan meningkat secara bersamaan, yang tidak menghasilkan kebahagiaan permanen. Padahal kebanyakan orang berharap bahwa mencapai target akan membuat mereka lebih bahagia. Dan itu adalah campuran sempurna dari kebingungan dan frustrasi yang tiada akhir".

Maka berhati-hatilah, jangan terjebak fenomena hedonic treadmill. Hidup yang tak pernah puas. Hidup yang tak pernah menikmati kebahagiaan hakiki. Hidup yang gelisah, ingin mencapai yang selalu lebih. Hidup yang terus berlari, mengejar dunia yang semakin jauh meninggalkan mereka. Akhirat menjadi tak pernah disapa.

Waspadalah.

Bahan Bacaan

Anna Katharina Schaffner, How to Escape the Hedonic Treadmill and Be Happier, https://positivepsychology.com, 5 September 2016

Jari Roomer, Watch Out For The 'Hedonic Treadmill' When Chasing Success, https://medium.com, 5 Maret 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun