Joko menikah dengan Sri saat dirinya berumur 25 tahun dan Sri berumur 23 tahun. Mereka berasal dari daerah yang berbeda, bertemu karena kuliah di kota yang sama, dan mengikuti organisasi yang sama.
Dari segi suku, keduanya sama-sama dari Jawa. Joko dari Jawa Tengah, Sri dari Jawa Timur. Keduanya sama-sama beragama Islam, bahkan dengan corak ormas yang sama.Â
Namun, karakter, sifat dan kepribadian keduanya benar-benar berbeda, dan semakin lama hidup berumah tangga semakin terasa betapa banyak perbedaan di antara mereka berdua.
Pada awal hidup berumah tangga, perbedaan karakter itu sudah terasa, namun tidak mereka pedulikan karena tengah berusaha saling menyesuaikan. Keduanya berusaha saling menerima dan beradaptasi.
Alih-alih bisa menyesuaikan diri, yang terjadi justru suasana saling menjauh dan saling menyalahkan. Pertengkaran demi pertengkaran mewarnai sepanjang kehidupan, dari tema-tema kecil hingga tema-tema yang sensitif.Â
Saat pernikahan mereka memasuki tahun kesepuluh, pertengkaran hebat terjadi dan tidak terelakkan. Sri merasa sakit hati oleh sikap cuek Joko, dan Joko tersinggung oleh sikap perfect Sri.
Apa Perbedaan Mereka?
Sri terlahir dari keluarga perkotaan yang sangat rapi dan disiplin dalam segala sesuatu. Keluarga besar Sri terbiasa dengan perencanaan, musyawarah, evaluasi, dan memiliki target-target dalam setiap tahap kehidupan.
Orang tua Sri adalah pengusaha yang sangat disiplin dan bertipe pekerja keras. Semua saudara Sri dididik menjadi pribadi yang penuh perencanaan, kehati-hatian, pencapaian target, visi besar, manajemen, strategi, evaluasi, sampai penentuan indikator keberhasilan. Ada target peningkatan produksi, target peningkatan penjualan, target pelipatan pendapatan, dan lain sebagainya.
Segala sesuatu harus ada tolok ukur dan indikator yang jelas. Hidup yang serba rapi, terencana, teratur, dan dengan target yang jelas bahkan sangat detail.Â
Dengan model pendidikan yang sangat ketat dan disiplin seperti itu, Sri meyakini bahwa kesuksesan hidup akan didapatkan apabila menerapkan pola yang sama dengan yang dicontohkan oleh orang tua.
Sri meyakini tiga saudara kandungnya menjadi orang sukses semua, berkat penerapan manajemen kehidupan yang ketat, jelas dan detail. Hal seperti itulah yang diinginkan Sri dalam kehidupan keluarganya bersama Joko.
Sementara itu Joko terlahir dari keluarga petani desa yang lugu sangat bersahaja. Keluarga yang hidup mengalir bagai air, hidup melayang bagai angin. Tidak mengerti manajemen, tidak mengenal perencanaan, tidak mengetahui evaluasi.
Ayah dan ibu Joko mengajarkan prinsip hidup yang simpel. Menanam padi, menyiangi, memupuk, panen, mengolah hasil panenan, kemudian persiapan menanam, dan begitu seterusnya. Mengalir saja, tidak ada target produksi padi harus berapa kuintal, produksi tahun ini harus berapa kali lipat, tidak ada perencanaan dan target tertentu.
Semua berjalan secara mekanis mengikuti aliran musim. Jika tiba musim tanam, mereka menanam. Jika tiba musim panen, mereka melakukan panen. Berapapun hasilnya, selalu disyukuri.
Hidup itu harus dinikmati. Yang penting mau berusaha, apapun hasilnya harus disyukuri, tidak boleh mengeluh, tidak boleh menggerutu.Â
Hidup prihatin, apa adanya, mengalir begitu saja dan toh nyatanya semua anak berhasil menjadi sarjana. Dengan prinsip hidup yang mengalir bagai air itu, semua bisa bahagia menjalani kehidupan.
Joko tercetak menjadi seorang lelaki yang tidak terbiasa dengan impian dan visi besar. Ia tumbuh menjadi lelaki yang berjiwa bebas, tidak memiliki beban dalam hidup, karena semua bisa dinikmati dan disyukuri. Ia menjalani hidup dengan simpel, mengalir bagai air, tidak pernah mengeluh, tidak pernah "ngoyo" dalam kehidupan.
Joko meyakini, cara hidup yang diajarkan orang tuanya lebih menjamin lahirnya kebahagiaan bagi keluarga. Hal itu karena selalu melihat segala sesuatu dalam bingkai kepasrahan, "nrimo ing pandum", tidak "ngoyo", dan selalu bersyukur.
Dua pribadi, dua karakter, dua watak, dua sifat, dua sikap yang sangat berbeda, bahkan bisa dikatakan bertolak belakang. Hal yang membuat Sri merasa stres adalah sikap santai Joko.
Bagi Sri, Joko adalah tipe lelaki yang tidak bertanggung jawab. Ukuran tanggung jawab bagi Sri adalah perencanaan, target, manajemen, strategi, evaluasi, disiplin dan kerja keras. Ia tidak melihat hal-hal itu ada pada diri Joko.
Di mata Sri, Joko adalah suami yang pemalas, senang bersantai-santai, dan tidak memiliki semangat untuk mencapai sesuatu yang lebih baik di masa depan. Joko adalah lelaki yang apatis dan statis, tidak memiliki visi.Â
Itu sebabnya, Sri melihat Joko tidak akan bisa kaya dan tidak akan bisa bahagia karena hidupnya terlalu santai tanpa target yang jelas.
Sikap-sikap santai Joko ini yang membuat Sri menjadi semakin tertekan dan tidak nyaman. Ia membandingkan dengan kedua orang tua serta saudara-saudaranya yang sangat disiplin dalam segala sesuatu.
Sebaliknya, Joko merasa stres karena sikap perfect Sri dalam menjalani kehidupan. Semua harus direncanakan, semua harus dengan target, tolok ukur, indikator, evaluasi, manajemen, pengawasan, dan lain sebagainya. Itu semua terasa menyiksa dan menjadi beban bagi Joko.
Di mata Joko, Sri adalah tipe wanita materialistis, suka menuntut suami, dan tidak pernah bersyukur dengan apa yang dimiliki. Menurut Joko, Sri adalah istri yang obsesif dengan harta kekayaan, segala sesuatu diukur dengan uang dan jabatan.
Itu sebabnya Joko melihat Sri tidak bisa bahagia, karena selalu bersikap ngoyo dan tidak pandai bersyukur. Joko selalu mengajak Sri untuk hidup sederhana dan menikmati serta mensyukuri apa yang ada.Â
Sikap Sri yang selalu mempersoalkan visi, strategi, evaluasi dan target-target dalam kehidupan berumah tangga, semakin membuat Joko menjadi tertekan dan tidak nyaman.
Setiap kali Sri menanyakan, "apa visi hidupmu, apa target tahun ini, apa strategi untuk mencapainya, apa indikator keberhasilannya", semua pertanyaan ini terasa sebagai siksaan yang sangat tidak menyenangkan bagi Joko. Dirinya merasa diteror dan diadili oleh Sri setiap hari.
Pertengkaran demi pertengkaran tidak terelakkan lagi. Sepuluh tahun hidup bersama, anak sudah tiga, namun pertengkaran tidak juga mereda. Bahkan semakin lama terasa semakin menyiksa bagi keduanya.
Apa Keluhan Mereka?
Perhatikan keluhan Sri berikut ini.
Sri: Saya lelah punya suami yang tidak bertanggung jawab seperti dia. Orang yang hidup mengalir seperti air. Tidak punya rencana apa-apa, tidak mengerti strategi, tidak mengerti evaluasi. Tidak punya target, tidak punya ambisi. Mau menjadi seperti apa keluarga kita kalau hidup mengalir seperti itu? Keluarga kita bisa hancur karena berjalan tanpa arah yang jelas. Ini semua karena Joko sebagai suami yang tidak punya visi dan misi.
Perhatikan jawaban Joko atas keluhan Sri.
Joko: Dia lelah menjalani hidup karena terlalu berobsesi. Coba kalau dia bisa bersikap lebih santai, tentu dia akan lebih bisa menikmati hidup. Keluarga kita tidak akan hancur hanya karena tidak punya rencana.Â
Keluarga kita hancur kalau sikap hidupnya selalu materialistis dan tidak bisa bersyukur. Saya tersinggung dikatakan tidak bertanggung jawab. Kalau dikatakan penghasilan saya tidak sesuai harapan dia, itu benar. Tetapi bukan berarti saya tidak bertanggung jawab.
Sekarang perhatikan keluhan Joko berikut ini.
Joko: Saya sangat tertekan memiliki istri yang selalu menyalah-nyalahkan kondisi saya. Memang saya berasal dari keluarga petani miskin yang tidak berpendidikan, tapi jangan mengejek keluarga saya dong.Â
Dia harus tahu bahwa semua keluarga besar saya hidup bahagia dalam kesederhanaan mereka, Justru saya lihat keluarga besar Sri tidak bisa bahagia walaupun mereka semua pengusaha kaya, karena terlalu ngoyo dalam menjalani hidup. Dia terlalu materialistis dan tidak pernah bersyukur atas apa yang sudah dimiliki.
Perhatikan jawaban Sri atas keluhan Joko.
Sri: Saya tidak menyalahkan dia, juga tidak mengejek keluarganya. Saya juga tidak materialistis. Saya hanya ingin dia punya rencana, punya target, punya strategi, evaluasi dan indikator keberhasilan dalam hidup. Jangan mengalir seperti air.Â
Apa keinginan seperti itu salah? Apa keinginan seperti itu berlebihan? Hidup terencana seperti itulah yang diajarkan orang tua saya, dan dilaksanakan oleh semua saudara saya. Menurut saya, itu permintaan yang sederhana saja. Semua demi kebaikan masa depan keluarga.
Menikmati Perbedaan
Hal penting dalam kehidupan keluarga Joko dan Sri adalah adaptasi dan sinergi. Keduanya harus bersedia menerima pengaruh pasangan, saling mendekat, saling menyesuaikan diri dengan harapan pasangan.
Sikap bersikukuh dengan prinsip dan keyakinan masing-masing seperti itu yang membuat mereka selalu bertengkar. Mereka tidak bisa berdamai dengan berbagai perbedaan yang ada pada diri pasangannya. Dampaknya masing-masing merasa benar sendiri, dan tidak mau mengalah atau mengubah untuk beradaptasi.
Ada hal sederhana yang harus mereka pahami bersama. Coba dirunut dari sejarah pernikahan Joko dan Sri, sepuluh tahun yang lalu.
1. Mereka menikah dengan kesadaran, bukan paksaan
Joko dan Sri menikah dengan kesadaran mereka berdua. Tidak ada pihak yang menjodohkan mereka, tidak ada pihak yang memaksa mereka untuk menikah. Keputusan menikah benar-benar mereka buat dengan sepenuh kesadaran sebagai orang dewasa. Bukan kawin paksa.
Ini adalah hal mendasar dalam memahami situasi pernikahan mereka saat ini. Mereka berdua adalah orang dewasa yang telah membuat pilihan bersama, maka tidak ada pihak lain yang bisa disalahkan dalam pernikahan mereka tersebut.
Sangat berbeda dengan peristiwa kawin paksa. Ketika sepasang suami istri dinikahkan secara paksa tanpa ada persetujuan atau kecocokan dari awal, wajar jika mereka merasa tidak bisa menerima adanya perbedaan yang muncul kemudian. Mereka saling kecewa karena merasa dipaksa.
Pada contoh keluarga Joko dan Sri, mereka menikah suka sama suka, tidak ada pihak yang memaksa. Harusnya mereka berdua selalu berusaha untuk menyesuaikan diri dan menikmati, karena apapun yang ada pada diri pasangan, itu adalah pilihan sadarnya sendiri.
2. Mereka saling tidak punya andil membentuk kepribadian pasangan
Saat Joko menikahi Sri, usia Sri sudah 23 tahun. Tidak ada kontribusi Joko untuk membentuk karakter dan kepribadian Sri sampai usianya yang duapuluh tiga tahun itu, Kepribadian Sri dibentuk oleh orang tua, keluarga, sekolah dan lingkungan yang selama ini dihadapi.
Demikian pula, Sri tidak memiliki kontribusi untuk membentuk karakter dan kepribadian Joko sampai umur 25 tahun itu. Kepribadian Joko dibentuk oleh orang tua, keluarga, sekolah dan lingkungannya.
Bagaimana Joko mengharap Sri bisa sama dengan dirinya, bagaimana Sri bisa memaksa Joko untuk sama dengan dirinya, padahal saat menikah keduanya sudah memiliki karakter hasil bentukan masa lalu masing-masing.
Perbedaan itu muncul dari hasil pembiasaan dan pendidikan dalam masa yang panjang sejak lahir hingga saatnya mereka menikah. Tidak mungkin bisa berubah dalam waktu yang singkat. Harusnya Joko dan Sri bisa berdamai dengan perbedaan tersebut.
3. Mereka jelas-jelas dari latar belakang keluarga yang berbeda
Latar belakang keluarga Joko dan Sri yang berbeda sudah mereka pahami sejak awal mula. Joko tahu keluarga Sri dan Sri juga tahu keluarga Joko. Perbedaan itu sudah mereka ketahui dan sudah mereka terima sejak dari awal.
Artinya, adanya perbedaan yang mencolok pada dua keluarga besar tersebut bukanlah hal yang baru saja mereka ketahui belakangan ini. Sejak sebelum menikah mereka berdua sudah mengetahui perbedaan ini.
Nah, bukan waktunya lagi untuk saling menyalahkan satu dengan yang lain. Bukan saatnya untuk saling menuntut. Sekarang adalah waktu untuk lebih berusaha menyesuaikan diri dengan harapan pasangan. Keduanya harus bersedia menerima pengaruh pasangan. Keduanya harus mendekat semakin dekat. Jangan menjauh yang membuat mereka berdua semakin jauh dan tidak bisa disatukan lagi.
Joko harus belajar untuk mengurangi kadar "mengalir", serta berupaya untuk belajar membuat perencanaan, agar hidupnya lebih tertata. Sebaliknya Sri harus belajar untuk menurunkan kadar perfeksionisnya, serta belajar untuk menikmati hidup yang mengalir, agar hidupnya bisa lebih bahagia.
Joko harus belajar menerima cara hidup Sri yang tertib, tanpa kehilangan sisi spontanitas dan kemampuan menikmati serta mensyukuri kehidupan.Â
Sebaliknya, Sri harus belajar menerima cara hidup Joko yang santai dan nrimo, tidak ngoyo, tanpa kehilangan sisi perencanaan dan manajemen kehidupan.
Keduanya bisa bersinergi, saling memacu, saling mengisi, saling melengkapi. Jika keduanya bersinergi, tidak perlu ada yang tersakiti. Keduanya justru akan menjadi keluarga istimewa yang punya visi, punya mimpi, punya target, punya strategi dan evaluasi, namun pandai menikmati hidup dan bersyukur.Â
Tidak stres jika target belum tercapai, namun juga tidak putus asa karena punya etos kerja yang tinggi. Bukankah itu formula yang sangat menenteramkan hati?
Jika keduanya saling menjauh, saling menyalahkan, yang mereka dapatkan adalah ketertekanan dan keterpaksaan. Keduanya tidak bahagia, karena melihat pasangannya sebagai pihak yang salah dan tidak mau mengerti.
Jadi, Joko dan Sri bisa saling bersinergi menjadi keluarga yang bervisi, namun tetap indah berseri. Keluarga yang terencana, namun tetap mampu mengalir seperti aliran air.Â
Keluarga yang memiliki target, namun tidak tertekan oleh besaran target itu sendiri. Itulah makna sinergi, itulah makna saling melengkapi, itulah makna saling mengisi.
Meminjam istilah John Gray, itulah sinergi makhluk Mars dan Venus. Lelaki dan wanita sudah banyak perbedaan dari "sana"nya, ditambah perbedaan pola asuh, perbedaan pembiasaan dan pendidikan sejak masa kecil.Â
Tentu tidak mungkin untuk menuntut keseragaman. Harus berdamai dengan perbedaan. Harus bersedia berubah, beradaptasi, menerima pengaruh pasangan, dan bersinergi dengan pasangan.
*) Joko dan Sri, nama samaran. Hanya untuk memudahkan penyebutan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI