Maka sangat penting merancang pernikahan yang direstui. Anak bahagia karena bisa menikah dengan calon yang dicintai. Orangtua bahagia karena merasa dihormati dalam sepanjang proses pernikahan ananda. Kondisi ini adalah modal awal yang bagus untuk membangun hubungan jangka panjang.
- Menghindarkan peluang konflik sejak awal
Ada sangat banyak peluang konflik dalam proses pernikahan. Bukan saja soal calon pasangan hidup. Namun konfik bisa muncul dari adat kebiasaan, penentuan mahar, penentuan kontribusi keuangan dalam pesta pernikahan, standar kemeriahan pesta, dan lain sebagainya.
Ada proses pernikahan yang mulus dan lancar saja sampai tahap penentuan calon pendamping hidup. Terjadi kesepakatan dari anak dan orangtua terkait calon pendamping hidup, dan restu menuju pernikahan. Namun mulai muncul masalah saat bicara adat, karena dianggap ada pemaksaan kehendak dari pihak besan.
Terlebih ketika terjadi perbedaan standar sosial, tentang jumlah undangan saat pesta pernikahan, tempat dilangsungkannya pernikahan, standar jamuan, hiburan dan lain sebagainya. Demikian pula saat bicara keuangan, siapa yang harus menanggung biaya pesta dan berapa besar yang harus ditanggung.
Konflik yang seakan-akan teknis ini, bisa menjadi bibit yang tidak baik dalam hubungan jangka panjang. Hendaknya berusaha semaksimal mungkin menghindarkan peluang munculnya konflik sejak dari awal, dengan melakukan musyawarah mufakat. Kedua belah pihak keluarga besar mampu menahan diri dan tidak memaksakan kehendak kepada pihak lain.
Ego serta gengsi pribadi, marga, suku, ras hendaknya ditekan untuk memenangkan kebersamaan dalam proses. Hingga pernikahan Anda bisa terlaksana dengan lancar dan penuh berkah.
- Membangun sebanyak mungkin titik temu
Menantu adalah pendatang baru dalam kehidupan keluarga mertua. Demikian pula, mertua adalah pendatang baru bagi kehidupan menantu. Keduanya berinteraksi sebagai anggota keluarga baru, sejak awal proses pernikahan hingga setelah usai pesta nikah.
Sebagai manusia dengan latar belakang yang tak sama, tentu ada banyak peluang untuk memiliki perbedaan. Mungkin berbeda dalam cara komunikasi, cara menyapa, cara melayani, dan lain sebagainya.
Sebagian kultur masyarakat di Indonesia, ada yang sangat sensitif dengan intonasi kata. Seorang menantu yang berbicara dengan intonasi tinggi, cukup dianggap sebagai tidak sopan dan berani terhadap mertua. Intonasi suara saja bisa menimbulkan ketidakcocokan.
Dulu saya pernah punya teman kuliah, laki-laki, yang kalau bicara selalu dalam intonasi tinggi. Saya menyebutnya berteriak. Saya sering bilang, "Aku di dekatmu, kalau bicara pelan saja". Sepertinya dia tersinggung dengan cara saya menegur, hingga suatu ketika ia mengajak saya menginap di daerah asalnya.