Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Merdeka dari Wabah Ketidaktertiban

16 Agustus 2020   23:37 Diperbarui: 17 Agustus 2020   05:32 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu siang yang dingin di Toronto, saya diajak menikmati kopinya orang Kanada, Tim Hortons. Sebagaimana di tempat umum lainnya, kondisi Tim Hortons tampak bersih dan rapi.

Orang-orang yang akan belanja antre dengan tertib. Antrean cukup panjang, mungkin saya antrean ke limabelas. Tidak ada suara yang gaduh, tidak ada orang menyerobot antrean orang lain. Semua rela berdiri antre menunggu giliran untuk dilayani.

Pemandangan sama saya dapatkan saat di Vancouver menikmati minuman coklat panas di Tim Hortons. Kendati sudah jam sebelas malam, namun kedai kopi yang satu ini tetap ramai dikunjungi pelanggan.

Kami antre dalam barisan yang tertib, tanpa ada kegaduhan dan kekacauan antrean. Semua orang menunggu dalam antrean, kendati semua orang tenu saja sibuk dengan urusan dan pekerjaan masing-masing.

Norma Ketertiban

Kondisi seperti ini seakan sudah menjadi standar umum, atau norma umum yang berkembang dan diterima secara umum oleh masyarakat di negara-negara maju. Di semua tempat publik, akan dijumpai hal yang sama. Masyarakat pendatang dari berbagai macam negara dan bangsa, akan menyesuaikan diri dengan kebiasaan tersebut agar tidak menjadi manusia aneh yang ditertawakan dan dianggap tidak mengerti peradaban modern.

Saya tanyakan kepada teman yang mengantar saya minum kopi Tim Hortons di Toronto, apa yang terjadi jika ada seseorang yang menyerobot antrean, langsung ke bagian paling depan tanpa mau antre di belakang ?

"Dia akan dimarahi semua orang, atau akan ditertawakan oleh semua orang", jawab teman yang sudah lama menetap di Toronto.

Ditegur, dimarahi atau ditertawakan orang, tentu membuat malu. Orang-orang Barat cenderung memiliki kepedulian dalam urusan yang melibatkan publik, seperti dalam kaitan dengan hak orang lain.

Mereka cenderung kurang peduli dalam urusan yang danggap privat. Maka hidup di kota-kota besar di Barat cenderung tidak saling mengenal tetangga terdekatnya, karena rumah bagian dari privasi.

Dalam kaitan dengan menjaga hak orang lain, ini merupakan perbuatan dan kebiasaan yang sangat positif. Begitulah agama mengajarkan kepada kita. Antrean panjang di tempat umum bisa terjadi dengan tertib, karena mereka menghormati hak orang lain.

Mereka yang datang belakang tidak akan menyerobot langsung ke bagian paling depan, karena mereka menghargai hak orang-orang yang sudah antre sebelumnya. Siapapun yang datang belakang, akan langsung menuju bagian belakang.

Mengapa Kita Sulit Tertib?

Dalam ajaran agama sebenarnya sudah dituntunkan, jika melaksanakan shalat berjama'ah ke masjid, siapapun yang datang duluan harus menempati shaf yang paling depan. Jika shaf terdepan penuh, maka jama'ah yang datang menempati shaf kedua, ketiga dan seterusnya ke belakang. Artinya, orang yang datang terakhir juga akan menempati shaf terakhir.

Sayang sekali, masyarakat di Indonesia yang "sangat" beragama tidak menjalankan ajaran tertib tersebut. Banyak jama'ah datang awal di masjid, namun memilih duduk di bagian paling belakang karena bisa bersandar di dinding masjid.

Kita cenderung menjadi orang yang tidak mau berlaku tertib di tanah air, kendati ketika berada di negeri orang bisa melakukan semua hal dengan tertib. Saya berpagi-pagi ikut antre membeli nasi gudeg untuk sarapan, pada trotoar sebuah jalan di Yogyakarta.

Seperti kebanyakan warung tenda lainnya, warung gudeg ini tidak jelas mana antreannya. Semua orang berkerumun mengelilingi ibu penjual gudeg, datang dan pergi silih berganti. Tidak ada tanda siapa yang datang duluan dan siapa datang belakangan.

Banyak orang baru datang langsung memesan makanan yang diinginkan. Si ibu penjual yang tidak hafal mana pelanggan yang harus didahulukan, karena dia sendiri sibuk melayani tidak pernah berhenti.

Saya sebenarnya sejak datang sudah melihat sekeliling, dan saya hitung saya orang ke enam yang berdiri mengerumuni penjual gudeg.

Namun setelah orang-orang ini dilayani, selalu ada pelanggan yang baru datang, dan karena tidak ada posisi antrean maka semua orang langsung meminta dilayani.

Saya perhatikan lima orang yang sudah ada sebelum saya semuanya sudah pergi, karena sudah selesai dilayani. Namun ternyata saya tidak juga dilayani. Si ibu sibuk melayani orang-orang yang datang belakang namun langsung meminta dilayani. Saya tetap berdiri menunggu, dan berharap si ibu penjual gudeg segera melihat saya yang sudah lama berdiri di depannya untuk dilayani.

Saya merasa sungkan untuk ikut langsung menyodorkan diri agar dilayani, sebagaimana para pelanggan lainnya. Bukan saya sok tertib, namun saya merasa tidak nyaman kalau justru nanti saya yang dianggap menyerobot antrean orang. Toh tidak ada tanda antre dan tidak ada bukti bahwa saya datang duluan.

Sampai lama sekali saya berdiri saja dan menyaksikan orang-orang yang baru datang dengan santai tanpa merasa punya beban langsung meminta dilayani. Si ibu penjual gudeg juga langsung melayani permintaan mereka tanpa memperhatikan atau bertanya apakah mereka memang sudah antre dan tidak ada antrean yang diserobot haknya.

Lama-lama saya merasa hak saya direbut orang banyak, akhirnya sayapun memberanikan diri untuk menyatakan bahwa sekarang giliran saya untuk dilayani. Saya bersyukur, seorang wanita yang berdiri disamping saya mengerti bahwa saya memang sudah lama mengantre, maka dia ikut menguatkan pernyataan saya.

"Di sini harus berani bicara begitu pak. Langsung bilang saja bapak pesan apa. Kalau diam saja bapak tidak akan dilayani", kata wanita itu.

Saya tidak berbohong, saya berdiri satu jam untuk mengantre di warung gudeg tersebut. Padahal jika dilihat dari awal saya datang, bahwa saya adalah orang keenam, mestinya saya hanya akan mengantre limabelas menit saja untuk mendapatkan giliran dilayani.

Sungguh, selera makan gudeg saya sudah hilang saat akhirnya saya mendapatkan pelayanan. Satu jam berdiri, tentu saja itu bagian dari ibadah, karena berusaha tertib tidak mau mengambil hak orang lain. Sedih, kapan kita bisa tertib?

Wabah Ketidaktertiban

"Itu kan warung gudeg kecil di trotoar jalan, ya wajarlah kalau tidak bisa tertib", mungkin begitu pikiran kita mencoba memaklumi dan mencari pembenaran. Namun saya pernah mengantre di sebuah bank nasional ternama untuk sebuah keperluan. Semula saya diminta antre di sebuah counter, dan saya langsung bergabung di antrean yang sudah terbentuk.

Cukup lama saya antre, namun ternyata setelah saya tiba di counter tersebut, petugas menyatakan bahwa saya harus datang dulu ke bagian lain. Satu sisi saya merasa kecewa, mengapa tadi saya disuruh mengantre di counter itu, mengapa tidak langsung ditunjukkan ke bagian yang dimaksud.

Namun saya berusaha tertib dan sabar. Sayapun menuju ke bagian yang ditunjuk oleh petugas counter, di situ tampak sedang ada customer yang dilayani. Maka saya memosisikan diri berdiri di garis antrean.

Cukup lama saya menunggu di bagian tersebut, karena petugasnya hanya satu dan sedang melayani customer. Namun saya merasa sangat terganggu, saat customer tersebut pergi, ada customer lain yang baru tiba langsung duduk di depan petugas, tanpa berdiri mengantre di belakang saya. Masyaallah, berarti saya harus antre lagi sampai customer itu selesai.

Tidak cukup di situ, saat customer itu selesai, saya segera bergerak menuju kursi di depan petugas. Belum sampai langkah saya di depan petugas, mendadak ada seorang lelaki yang telah mendahului saya duduk di depan petugas tersebut. Astaghfirullahal azhim, dia mendahului saya, padahal dari tadi saya berdiri mengantre.

Saya tetap berusaha sabar dan tetap berdiri mengantre. Hingga akhirnya saya mendapat kesempatan saat customer terakhir tersebut selesai. Saya komplain kepada petugas bahwa saya sudah antre dari tadi dan ternyata didahului para customer yang tidak mengantre. Jawaban petugas sangat sederhana, "Maaf pak, kami tidak mengetahui".

Selesai urusan dengan petugas tersebut, saya diminta kembali ke counter semula. Saya kembali mengantre dari belakang. Lama sekali antrean ini, dan akhirnya sayapun mendapat giliran dilayani petugas counter.

Saya tiba di bank tersebut jam sembilan pagi, dan saya baru selesai urusan jam satu siang. Saya merasa telah memberikan waktu yang demikian panjang untuk berbagai situasi yang seharusnya tidak perlu terjadi. Urusan saya sangat sederhana, harusnya selesai dalam waktu singkat. Namun karena ada kesalahan antrean dan ada customer yang menyerobot antrean, membuat saya menghabiskan waktu empat jam untuk "ibadah menunggu" di bank.

Merdeka dari Ketidaktertiban

Saya merenung, kapan kita bisa menjadi masyarakat yang tertib dan menghormati hak orang lain? Untuk urusan yang kecil-kecil saja dulu, kalau tidak mau membicarakan dalam urusan yang dianggap besar seperti kenegaraan dan pemerintahan.

Kita mulai dari tertib saat di masjid, tertib saat di jalan raya, tertib saat di super market, tertib saat antre membeli makanan, tertib saat di rumah, tertib saat antre di tempat umum.

Saya teringat saat saya antre untuk membeli kopi panas Tim Hortons di dekat ruang tunggu 166 bandara internasional Toronto. Antrean di Tim Hortons demikian tertib. Kemudian antre untuk masuk pesawat Air Canada yang akan membawa saya ke New Jersey. Tampak pula antrean yang tertib.

Kapan kita merdeka dari ketidaktertiban? Kita sendiri yang menyimpan jawabannya. Dirgahayu Indonesiaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun