Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Merdeka dari Wabah Ketidaktertiban

16 Agustus 2020   23:37 Diperbarui: 17 Agustus 2020   05:32 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mereka yang datang belakang tidak akan menyerobot langsung ke bagian paling depan, karena mereka menghargai hak orang-orang yang sudah antre sebelumnya. Siapapun yang datang belakang, akan langsung menuju bagian belakang.

Mengapa Kita Sulit Tertib?

Dalam ajaran agama sebenarnya sudah dituntunkan, jika melaksanakan shalat berjama'ah ke masjid, siapapun yang datang duluan harus menempati shaf yang paling depan. Jika shaf terdepan penuh, maka jama'ah yang datang menempati shaf kedua, ketiga dan seterusnya ke belakang. Artinya, orang yang datang terakhir juga akan menempati shaf terakhir.

Sayang sekali, masyarakat di Indonesia yang "sangat" beragama tidak menjalankan ajaran tertib tersebut. Banyak jama'ah datang awal di masjid, namun memilih duduk di bagian paling belakang karena bisa bersandar di dinding masjid.

Kita cenderung menjadi orang yang tidak mau berlaku tertib di tanah air, kendati ketika berada di negeri orang bisa melakukan semua hal dengan tertib. Saya berpagi-pagi ikut antre membeli nasi gudeg untuk sarapan, pada trotoar sebuah jalan di Yogyakarta.

Seperti kebanyakan warung tenda lainnya, warung gudeg ini tidak jelas mana antreannya. Semua orang berkerumun mengelilingi ibu penjual gudeg, datang dan pergi silih berganti. Tidak ada tanda siapa yang datang duluan dan siapa datang belakangan.

Banyak orang baru datang langsung memesan makanan yang diinginkan. Si ibu penjual yang tidak hafal mana pelanggan yang harus didahulukan, karena dia sendiri sibuk melayani tidak pernah berhenti.

Saya sebenarnya sejak datang sudah melihat sekeliling, dan saya hitung saya orang ke enam yang berdiri mengerumuni penjual gudeg.

Namun setelah orang-orang ini dilayani, selalu ada pelanggan yang baru datang, dan karena tidak ada posisi antrean maka semua orang langsung meminta dilayani.

Saya perhatikan lima orang yang sudah ada sebelum saya semuanya sudah pergi, karena sudah selesai dilayani. Namun ternyata saya tidak juga dilayani. Si ibu sibuk melayani orang-orang yang datang belakang namun langsung meminta dilayani. Saya tetap berdiri menunggu, dan berharap si ibu penjual gudeg segera melihat saya yang sudah lama berdiri di depannya untuk dilayani.

Saya merasa sungkan untuk ikut langsung menyodorkan diri agar dilayani, sebagaimana para pelanggan lainnya. Bukan saya sok tertib, namun saya merasa tidak nyaman kalau justru nanti saya yang dianggap menyerobot antrean orang. Toh tidak ada tanda antre dan tidak ada bukti bahwa saya datang duluan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun