Beberapa hari terakhir ini, di grup whatsapp peserta Kelas Menulis Online (KMO) Antologi Batch 6 / 2020, pada ramai membuat postingan Haiku. Semua ingin mencoba membuat Haiku dengan cara dan kreasinya masing-masing.Â
Gara-gara, mbak Anita Mansyur ----salah seorang peserta, memosting Haiku yang dibuatnya. Dampaknya semua terkena dampak #AnitaSyndrome, berlomba membuat Haiku, dan bertahan beberapa hari. Sampai pagi ini, saya membuka grup, masih banyak postingan Haiku.
Para anggota grup whatsapp KMO Antologi 6 / 20 yang berjumlah 125 orang itu, di kelas tidak mendapat pelajaran tentang Haiku. Hanya gara-gara mbak Anita memosting Haiku, yang lain penasaran dan ikut mencoba membuatnya.Â
Sangat beragam corak Haiku yang diposting peserta ---dan yang paling penting adalah, meniru pola 5-7-5 dalam pembuatannya. Tentang isi, menjadi sangat beragam sesuai selera masing-masing ---tampak kita kesulitan menghayati Haiku.
Mengapa kita sulit menghayati Haiku? Tentu saja ada sangat banyak alasan. Yang utama, adalah karena Haiku merupakan hal baru ---belum pernah dikenal sebelumnya. Maklum kalau masih mencoba-coba, tanpa penghayatan makna. Yang penting menghitung suku kata dengan pola 5-7-5. Alasan berikutnya adalah suasana alam dan musim yang sangat berbeda. Nah, di sisi inilah saya merasa perlu untuk memberi catatan ---Haiku selalu tentang musim dan alam.
Jepang adalah sebuah negara yang memiliki empat musim, yaitu musim semi, panas, gugur, dan dingin. Pada bulan Maret hingga Mei, Jepang memasuki musim semi. Bulan Juni hingga Agustus, adalah musim panas. Bulan September hingga November, adalah musim gugur. Bulan Desember hingga Februari adalah musim dingin.
Pemandangan musim semi Jepang yang paling eksotik adalah mekarnya bunga Sakura. Ohanami ---ritual menikmati musim bunga Sakura---selalu diadakan di titik lokasi mekarnya bunga Sakura di setiap wilayah. Pada musim gugur, terdapat keindahan yang memesona ---dedaunan pohon yang berubah warna menjadi kuning kemerahan. Ini menjadikan Jepang berubah warna.
Memasuki akhir Desember, suhu semakin menurun, udara menjadi amat sangat dingin. Suhu mencapai minus ---di bawah titik beku, pada bulan Januari hingga awal Maret. Di kawasan Hokuriku, Tohoku, dan Hokkaido, salju putih menumpuk. Pendek kata, di semua musim, selalu terdapat keindahan alam, dengan nuansa yang berbeda-beda, dan oleh karena itu menimbulkan perasaan serta emosi jiwa yang berbeda-beda.
Mungkin ----kondisi alam yang terkait perubahan musim inilah yang menjadi salah satu latar belakang hadirnya Haiku, puisi kuno Jepang yang memiliki ciri-ciri baku. Kita menjadi sulit menghayati kondisi perubahan empat musim ---karena negara kita tidak mengalaminya.
Mengenal Haiku, Puisi Kuno Jepang
Haiku adalah puisi Jepang kuno, yang terdiri dari tujuh belas suku kata dengan pola 5-7-5, disertai kigo dan kireji. Baris pertama haiku terdiri dari 5 suku kata, disebut dengan kamigo atau shougo. Baris kedua terdiri dari 7 suku kata, disebut dengan nakashichi. Baris ketiga terdiri dari 5 suku kata, disebut shimogo.
Selain berpola 5-7-5, yang khas dari Haiku adalah keberadaan kigo dan kireji. Unsur kigo dianggap sangat penting dan baku dalam Haiku, yang mengungkapkan empat musim, baik tentang kondisi alam di empat musim, maupun ungkapan perasaan penulis pada empat musim tersebut. Orang yang menciptakan Haiku tanpa kigo, dianggap tidak memiliki rasa peka dan penghormatan terhadap alamnya.
Sedangkan kireji adalah kata-kata yang dipakai untuk memotong frase dalam Haiku, atau kata yang berfungsi sebagai pemenggal ungkapan. Biasanya berupa ungkapan perasaan yang dalam sehingga menjadi salah satu faktor yang menambah keindahan Haiku.Â
Ada 18 kireji yang biasa digunakan, yakni kana, keri, mogana, yo, ya, gana, zo, ikana, zu, ji, nu, tsuranu, ke, se, he, shi, re, ikani, dan ramu. Berbeda dengan kigo, keberadaan kireji dalam Haiku tidak dianggap sebagai hal yang mutlak.
Pola 5-7-5 merupakan bentuk dasar Haiku. Namun ada juga Haiku yang tidak mengikuti pola tersebut. Misalnya, Haiku yang memiliki lebih dari tujuh belas suku kata, ini disebut sebagai Ji Amari (kelebihan huruf atau suku kata).Â
Ada pula Haiku yang kurang dari tujuh belas suku kata, ini disebut sebagai Ji Tarasu (kekurangan huruf atau suku kata). Dikenal pula Haiku yang menyimpang dari pola baku, tetap berjumlah tujuh belas suku kata, namun susunannya 7-5-5. Yang ini disebut sebagai Kumatagari.
Berikut contoh Haiku, Ji Amari, Ji Tarasu, dan Kumatagari.
Haiku
Shizukasa ya (5)
hanasaki niwa no (7)
haru no ame (5)
Betapa sunyinya, halaman berbunga, hujan musim semi.
Ji Amari
Hebi nigete (5)
ware wo mishi me no (7)
kusa ni nokoru (6)
Ular menjalar, matanya menatapku, terbayang di rerumputan.
Ji Tarasu
Higashi ni (4)
hi no shizumiiru (7)Â
hana no kana (5)
Matahari masih terbenam di timur, hamparan bunga liar.
Kumatagari
Iuzen toshite (7)
yama wo miru (5)Â
kawazukana (5)
Dengan gagah melihat gunung, seekor katak.
Dari seluruh contoh jenis-jenis Haiku di atas, tampak semua tengah mengeksplorasi tentang alam dan musim. Orang Jepang akan berada dalam suasana jiwa yang berbeda-beda dalam melewati empat musim mereka.Â
Mungkin inilah perbedaan mendasar dengan orang Indonesia yang musimnya tidak jelas. Kita hanya mengenal musim kemarau dan musim hujan. Kemudian menjadi kebingungan saat menemukan hujan di musim kemarau, dan kekeringan saat musim penghujan.
Maka di Indonesia, sangat banyak puisi serta quotes yang mengeksploitasi hujan serta matahari. Karena kita tidak menyaksikan musim semi, musim panas, musim gugur dan musim dingin.Â
Yang kita rasakan adalah sengatan terik matahari, dan guyuran hujan, maka ini menjadi bagian penting dalam puisi masyarakat Indonesia. Yang paling terkenal adalah quotes Sudjiwo Tedjo, "Tahukah kamu lelaki paling tak berperasaan di bumi, dialah yang jauh dari Kekasih saat hujan, tapi tak menulis satu pun puisi".
Perkembangan Haiku di Zaman Modern
Matsu Basho adalah penyair Haiku Jepang yang terbesar. Karya-karya Haiku dari Basho selalu mengikuti aturan baku, sehingga terkesan kaku. Maka kebanyakan orang Jepang di zaman modern lebih memilih aliran Masaoka Shiki (1867-1902) yang merupakan pembaharu Haiku kuno menjadi Haiku modern. Menurut Shiki, Haiku harus dibebaskan dari kebakuan format, formalisme dan sesuatu yang dibuat-buat. Orang Jepang menyebut Haiku modern sebagai Senryu.
Senryu lebih menitikberatkan perhatian kepada masalah kemanusiaan secara umum, yang bisa mengundang tawa, kadang mengandung sindiran yang tajam. Senryu tidak menggunakan kata-kata yang berkaitan dengan musim. Maka bagi sebagian orang, Senryu dianggap hal baru ----bukan lagi Haiku.
Bahan Bacaan:
Adeluna, Sekilas Sejarah Puisi Jepang, www.japanlunatic.do.am, 31 Mei 2020
Fitriani Indah, Haiku Sebuah Karya Sastra Yang Mulai Ditinggalkan, www.fitrianiindah, 10 Agustus 2012
Winata Silence Angelo, Mari Mengenal Haiku, www.akibanation.com, 29 Maret 2016
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI