Pak Nardi pribadi baik. Bapak yang santun. Guru yang murah senyum. Tokoh yang gemar menolong. Orang tua yang pandai membombong. Pak Nardi memang telah pergi. Tapi, kebaikannya akan terus menghubungkan kita dengan beliau. Kisah-kisah kebaikannya akan terus dituturkan di banyak majelis, diceritakan di rumah-rumah kita, disampaikan pada murid dan anak-anak kita. Pak Nardi akan tetap hidup di samping kita; sebagai teladan kebaikan.
Dwi Budiyanto @dwibudiyanto
Testimoni 2 : Senyuman Terakhir
Saya megenalnya sebagai sosok yang ramah kepada siapa saja. Pergaulannya tidak pernah tersekat oleh kasta dunia. Harta dan tahta tidak pernah mengubah senyumnya. Kepada siapa saja beliau bicara selalu disertakan senyum ikhlasnya.
Satu saja yang bisa menghapus senyum dari bibirnya: gangguan dakwah Islam. Jika terdengar ada yang menghalangi dakwah, dimnapun di muka bumi ini, mka hilanglah senyumnya, bangkitlah izzahnya. Tak peduli siapa pelakunya; orang 'kuat' atau orang biasa saja, orang dekat atau jabalekat, akan beliau hadapi denan taruhan jiwa. Dan hilanglah senyum dari bibirnya seketika.
Beliau telah berpulang kepada Allah SWT. Seperti telah menerima janji bahagia untuk mujahidNya, beliau tersenyum bahagia. Demi Allah sya menjadi saksi, ketika selesai dimandikan, dan jenazah beliau dimiringkan ke kiri untuk dihanduki punggungnya, beliau tersenyum. Wajahnya bahagia, karena disucikan oleh putra putrinya. Senyumnya lembut, senyum terakhir untuk istri tercinta yang tepat duduk di depannya.
Ya Allah, semoga senyunnya menjadi pertanda beliau telah melihat kebenaran janji Allah untuk para mujahidNya. Kumpulkanlah kembali beliau denan istri, keluarga dan sahabatnya di kelak surga. Amiin ya Rabbal 'alamiin.
Ery Masruri
Testimoni 3 : Dimana Dapur Masjid?
Beliaulah KH Sunardi Sahuri yang mengajarkan kami keikhlasan, selama beliau mengisi pengajian di masjid Al-Ikhlas Mergangsan Lor Yogyakarta sejak tahun 1989 - 2002. Meski masjid kami adalah masjid kampung yang tak terhitung sebagai masjid besar di Jogja, namun beliau rutin mengisi kajian Ahad pagi dan Kutbah Jum'at di masjid kami. Beliau tidak mau dijemput, tidak mau diaturi “sesuatu”, baik berwujud uang, makanan, ataupun bingkisan.
Suatu saat teman kami, Sigit Widyatmoko (dr) mengundang beliau, dia menanyakan kira-kira beliau enaknya diaturi bingkisan apa ya? Saya jawab, “Coba beliau diaturi dhaharan misalnya ayam goreng.” Akhirnya ayam goreng jadi pilihan untuk bingkisan tersebut. Setelah dihaturkan, kemudian beliau menanyakan dapurnya di sebelah mana ya? Akhirnya bingkisan tersebut malah diberikan kepada ibu-ibu di dapur masjid Suryodiningratan.