Beberapa kali menyertai perjalanan pegawai Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Tanjung Redeb visit ke lapangan saya mendapatkan pengalaman yang berbeda-beda. Terutama karena letak geografisnya yang berada di ujung utara Indonesia, saya menemukan banyak keunikan. Di sini terasa sekali beda arah perjalanan beda tantangannya, beda alat transportasinya beda pula sensasinya. Mantab!
Perjalanan ke Kabupaten Berau, tantangannya berbeda dengan perjalanan ke Kabupaten Malinau atau ke Kabupaten Tana Tidung. Menggunakan sarana transportasi speedboat ada sensasi yang lebih nendang di banding dengan naik pesawat udara. Terlebih untuk saat ini ketika cerita tentang insiden speedboat masih cukup hangat, sensasi itu begitu nendang. Bahkan jantung pun seakan ikut senam poco-poco. Begitulah nikmatnya bertugas di daerah perbatasan. Tertarik jalan-jalan ke Kalimantan Utara ?
Pekan kemarin saya kembali mengikuti para petugas pajak Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Tanjung Redeb visit ke Kabupaten Berau yaitu di Kecamatan Teluk Bayur terus dilanjutkan ke Kecamatan Segah. Dua tempat yang lumayan jauh. Perjalanan ke sana memakan waktu hampir tujuh jam dari Kota Tarakan. Maklum kami harus melintasi laut Tarakan, menerobos derasnya arus Sungai Kayan dan menaklukkan tantangan perjalanan darat dari Tanjung Selor di Kalimantan Utara Ke Kabupaten Berau di Kalimantan Timur. Perjalanan yang menantang ya. Mau ikut?
Tim kami beranggotakan enam orang. Empat orang senior (tua -red) dan dua orang AR (Acaount Representatif) yang masih muda dan lincah. Tentu ini sebuah kombinasi yang bagus meski juga tidak ideal-ideal amat. Idealnya sih yang muda yang harus mendominasi jumlah anggota, sedangkan yang tua untuk melengkapi nilai tambah saja. Itu baru ideal. Tapi gak apa-apalah, formasi tim ini sudah bagus.
Adalah Bapak Agung Sukma Wijaya Kepala Seki Ekstensifikasi dan Penyuluhan KPP Pratama Tanjung Redeb yang secara informal kami daulat menjadi komandan tim. Beliau adalah personel tim yang paling senior, dan tentu saja paling banyak mengenyam asam garam perjuangan dalam mengisi pundi-pundi negara. Karena itu tidak mengherankan jika beliau juga yang paling banyak menyimpan nostalgia. Dalam hal ini nostalgia terkait pengalaman lapangan dalam menelusuri lokasi berbagai objek pajak di pelosok terdalam di wilayah Kalimantan ini. Jadi pantaslah kalau beliau kami nobatkan sebagai ketua tim.
Yang kedua ada Pak Setiono, Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi Dua KPP Pratama Tanjung Redeb. Lelaki kalem yang rela meninggalkan keluarganya di Pekalongan demi tugas negara di pelosok Kalimantan ini memiliki catatan lembaran kerja yang cukup tebal. Sejak menyelesaikan pendidikan di kampus STAN dua puluh lima tahun lalu, beliau hanya sempat menikmati kota Pekalongan dan sekitarnya hanya delapan tahun saja, selebihnya dilalui di tanah yang jauh dari home basenya. Tanah Sumatera telah beliau jejak dari ujung ke ujung. Maka ketika beliau mendapatkan tugas untuk menggarap pajak di wilayah Kalimantan Utara tidaklah terlalu mengagetkan baginya. Meski kerja di home base tetap menjadi idamannya.
Terus ada bapak Atim Widodo. Lelaki kalem kelahiran Banyuwangi ini juga sudah banyak mengenyam asam garam perjuangan di wilayah pedalaman Indonesia dari Aceh sampai Papua. Maklum sejak muda beliau memang sudah terbiasa menjelajah perkebunan sawit di Sumatera, Hutan di Kalimantan dan tambang batu bara diberbagai tempat. Beliau ekspert di bidang pemetaan yang sekaligus merupakan bagian dari skillnya sebagai seorang appraiser di sektor batu bara dan gas bumi yang digelutinya saat ini.
Untuk menghandle masalah teknis di lapangan dipercayakan kepada mas Eko dan mas Sigit, dua orang AR (Account Representatif) andalan di KPP Pratama Tanjung Redeb. Beliau berdua ini meski dari sisi usia biologis masih muda namun dalam hal pengalaman di lapangan beliau memiliki record yang sangat panjang. Tak mengherankan jika kerja beliau berdua sangat profesional. Berbagai tantangan di lapangan dengan segenap problemnya sudah biasa beliau hadapi. Beliau berdua bisa dibilang sebagai the rising star KPP Tanjung Redeb. Kalau istilah anak muda sekarang, beliau berdua ini adalah AR jaman Now, dan leader jaman tomorrow. Ya begitulah adanya.
Mari kita ikuti kisah perjalanan pegawai pajak dari KPP Pratama Tanjung Redeb yang menantang, mendebarkan dan syarat akan makna kehidupan ini.
Seperti biasa kami mengawali perjalanan ini dari Pelabuhan Tengkayu Kota Tarakan Propinsi Kalimantan Utara, dengan menggunakan transportasi umum speedboat. Menyebut nama speedboat akhir-akhir ini ada yang berbeda bahkan agak seram. Hal itu merember ke ruang tunggu penumpang. Suasananya terasa beda. Formasi duduk calon penumpang di kursi tunggu seakan memiliki rumusan baru, di mana calon penumpang dengan rapi mengisi bangku ruang tunggu dekat speedboat bersandar. Dan begitu speedboat bersandar mereka seakan dikomando untuk segera masuk ke speed boat. Bahkan ada kesan saling mendahului. Itulah pemandangan rutin yang selalu kami lihat saat menunggu speedboat di pelabuhan Tengkayu, akhir-akhir ini. Ada apa dengan speedboat? Sepertinya ada mesteri.
Perjalanan kali ini rencananya akan melewati tiga etape. Etape pertama melalui jalur laut, dimulai dari Pelabuhan Tengkayu di Kota Tarakan Kalimantan Utara dilanjutkan menyusuri Sungai Kayan menuju pelabuhan Kayan II di Tanjung Selor Kabupaten Bulungan Kalimantan Utara. Perjalanan di etape satu ini membutuhkan waktu sekitar satu setengah jam. Tapi walaupun perjalanannya hanya memakan waktu satu setengah jam, justru jalur ini yang banyak menjadi bahan cerita. Terutama akhir-akhir ini setelah terjadinya beberapa kali insiden kecelakaan laut maupun sungai di jalur ini.Yang masih cukup hangat adalah insiden speedboat Anugerah Ekspres yang menabrak batang pohon pada awal Januari lalu, sebagaimana banyak dilansir media massa baik lokal maupun Nasional.
Kejadian itu bermula saat speedboat Anugerah Ekspres yang dikemudikan oleh Amir berangkat dari Pelabuhan Kayan II di Tanjung Selor menuju Pelabuhan Tengkayu di Tarakan. Baru sekitar sepuluh menit meninggalkan pelabuhan tiba-tiba terdengar suara benturan yang cukup keras. Speedboat oleng dan terbalik. Dalam insiden ini terdapat 4 korban dari total 48 penumpang.
Atau yang paling hangat adalah insiden di Perairan Sei Menggaris, Desa Tabur Lestari Kabupaten Nunukan. Meski beda jalur, namun cerita tentang insiden yang yang nyaris menanggelamkan kapal bermuatan penumpang dan sembako ini cukup menambah suasana seramnya jalur air.
Sebagaimana yang dilansir Radar Kaltara, menurut Kapolres Nunukan AKBP Jepri Yuniardi melalui Kasubbag Humas Polres Nunukan Iptu M Karyadi awalnya kapal KM Jusminberangkat dari Nunukan sekitar pukul 09.00 Wita menuju Sei Menggaris. Dalam perjalanan itulah sekitar pukul 16.00 Wita kapal menabrak batang pohon yang setengah mengambang di sungai. Beruntung tidak ada korban jiwa, hanya sembako dan berbagai barang lainnya tidak bisa diselamatkan.
Beberapa insiden yang berulang itulah yang kerap menjadi obrolan paling hot para penumpang speedboat akhir-akhir ini. Tak jarang membuat rasa takut semakin merebak di kalangan para penumpang. Ekspresi rasa takut itu sudah nampak sejak mereka menunggu kedatangan kapal di ruang tunggu pelabuhan.
Saat menunggu kapal di ruang tunggu pelabuhan, mereka memilih tempat duduk yang paling dekat dengan tempat sandar kapal. Dengan harapan bisa lebih cepat masuk ke dalam kapal untuk kemudian memilih tempat yang paling dekat dengan pintu. Harapannya jika terjadi insiden dalam perjalanan mereka bisa lebih cepat menyelamatkan diri. Pikiran-pikiran tentang insiden itulah yang membuat suasana perjalanan menjadi agak seram.
Tak ayal, suasana itu turut merambat di hati kami. Dan reflek kami turut bekerja di mana kami tanpa sadar juga berperilaku sama dengan mereka. Melangkah lebih cepat memasuki speedboat dan mengambil tempat duduk dekat pintu keluar.
Alhamdulillah kami melewati etape pertama ini dengan aman, meski tak dapat dibohongi pengaruh suasana di dalam speedboat susah kami hindari. Rasa kami ternyata sama. Sama-sama takut. Dan alhamdulillah perjalanan etape pertama berjalan dengan lancar, tanpa ada aral yang melintang.
Menjelang tengah hari kami sampai di Pelabuhan Kayan II . Kami makan siang di warung makan yang banyak berdiri di depan pelabuhan dengan sajian khas menu udang sungai rebus yang mak nyus, tapi mengingat usia, saya memilih sayur bening daun katuk saja, sayuran yang sebenarnya lebih cocok untuk ibu-ibu menyusui. Tapi tak apalah daripada kolesterol ngendon di darah. Setelah kenyang kami melanjutkan perjalanan menaklukkan etape kedua.
Di etape kedua meski suasananya tidak seseram di etape pertama, tapi di etape ini kami membutuhkan waktu dua kali lipat dibandingkan perjalanan di etape pertama. Jadi selama tiga jam kami harus menaklukkan jalan panjang dengan kontur bergelombang, naik turun yang cukup ekstrim. Tentu saja di etape ini dibutuhkan kondisi fisik yang prima.
Saya sendiri sebenarnya sudah beberapa kali melewati jalur ini, namun hampir di semua perjalanan yang lalu saya selalu mabuk perjalanan. Mungkin karena jalurnya yang lumayan ekstrem dengan tanjakan dan turunan yang kadang berbelok tajam atau karena badan yang memang kurang fit. Atau karena kondisi jalanan yang sudah banyak berlobang membuat laju kendaraan yang kami tumpangi tak lagi nyaman. Tikungan tajam dengan kontur jalan yang bergelombang ditambah guncangan-guncangan akibat jalanan yang berlobang inilah mungkin yang mengundang datangnya mabuk.
Perjalanan yang seharusnya cukup mengasikkan karena banyak melintasi bukit dengan hutan yang menyelimuti jalanan ini, tidak cukup untuk memberi hiburan. Hijaunya hutan yang diselingi oleh bukit dan lembah gundul berwarna coklat kehitaman karena penebangan hutan kami saksikan sepanjang perjalanan tugas para pegawai pajak KPP Pratama Tanjung Redeb ini. Ya inilah konsekwensi dari tugas mulia mengumpulkan uang untuk mengisi pundi-pundi negara. Apapun kondisinya harus dinikmati.
Setelah menempuh perjalanan tak kurang dari tiga jam, akhirnya menjelang kumandang adzan Ashar kami memasuki Kecamatan Tanjung Redeb Kabupaten Berau Kalimantan Timur. Kami langsung menuju ke Pos Pajak Berau untuk istirahat. Karena hari sudah sore, rencana visit ke site tambang kami tunda besok pagi. Kami berencana bermalam di mess. Sisa-sisa penat perjalanan menembus wilayah Tarakan di Kalimantan Utara menuju Kabupaten Berau di Kalimantan Timur ini masih menyelimuti badan.
Walaupun kondisi badan masih agak penat, namun di sore itu ada obrolan yang cukup menarik. Sebuah tema obrolan yang tidak biasa tiba-tiba mengemuka. Apa itu? Obrolan tentang peran ayah bagi perkembangan anak. Waouw sebuah tema yang sangat humanis. Tumben ya?
Maklumlah lima dari enam orang dalam tim ini berstatus bujang lokal. Karena keluarga mereka tinggal nun jauh di sana. Dua orang dari kami home basenya di Balikpapan. Tiga orang keluarganya menetap di Jawa, yaitu satu orang di Bekasi Jawa Barat, satu orang di Pekalongan dan satu orang di Klaten di Jawa Tengah. Hanya mas Eko saja yang keluarganya ikut pindah ke Tarakan di mana KPP Tanjung Redeb berada.
Setelah Ashar tiba-tiba saja tema tentang anak mengemuka dalam obrolan kami. Empat orang di antara kami adalah para ayah yang sudah lama meninggalkan keluarga demi menjalankan tugas negara di pelosok pinggi-pinggir Indonesia. Pak Agung menuturkan bahwa, sebagai seorang ayah yang cukup lama meninggalkan keluarga, kondisi yang paling berat beliau rasakan adalah hilangnya kedekatan dengan anak. Di mana ketika anak sedang membutuhkan pendampingan seorang ayah, pada saat itu ayahnya sedang tidak berada di dekatnya. Ketika masa usia emas anak-anak sedang bertumbuh, pada saat yang sama sang ayah sering kali tidak berada di sisinya. Padahal kata para ahli tumbuh kembang anak, jika seorang anak laki-laki tumbuh tanpa pendampingan ayahnya, maka sifat kelelakian anak tersebut tidak akan tumbuh secara maksimal. Begitu kira-kira kalau boleh saya rangkum dari papak Pak Agung Sukma Wijaya, kepala seksi paling senior di KPP Pratama Tanjung Redeb ini.
Jika jiwa lelakinya tidak tumbuh dengan maksimal maka benih-benih jiwa ksatrianya juga tidak tumbuh dengan baik. Sifat pemberani, tegas, suka tantangan dan segala sifat maco lainnya ikut terganggu. Ini berarti kelak jika dia sudah dewasa, dia anak berpeluang untuk kehilangan sifat-sifat maco tadi. Dan kabar buruknya, jiwa femininnya bisa menyalip jiwa maconya. Begitu yang lain menimpali. Waduh . . . sedih ya?
Saya memilih untuk menjadi pendengar yang baik, sambil menahan perihnya hati karena pengalaman itu menjadi pengalaman saya juga. Dan saya tidak berani berhitung kapan pengalaman itu akan berakhir.
Itulah sedikit problem di antara berbagai problem yang dimiliki oleh sebagian pegawai pajak. Problem yang timbul akibat sistem mutasi yang diterapkan di Direktorat Jenderal Pajak. Kebijakan yang diambil sebagai respon terhadap kondisi di mana kesenjangan jumlah kantor yang tersedia untuk menampung pegawai yang satu daerah dengan home base pegawai dengan jumlah pegawai memang tidak seimbang. Sehingga mau tidak mau pegawai harus berdinas di daerah yang berbeda dengan home base yang dipilihnya.
Sore terus merambat. Matahari menyusuri jalan menuju peraduannya. Malam pun mulai menyelimuti kota Tanjung Redeb. Masing-masing kami menuju tempat tidur. Kamar tidur, ruang tengah dan ruang tamu menjadi labuhan terakhir tempat menampung mimpi-mimpi kami ke depan. Semoga malam ini ada mimpi indah tentang hari esok. Hari esok yang kami lalui di home base kami masing-masing, bersama keluarga kami masing-masing. Selamat bermimpi indah kawan!
Matahari pagi telah menyingsing. Burung-burung gereja berahut-sahutan di atas genteng mess Pos Pajak Berau, seakan mengingatkan kami bahwa perjalanan di etape ketiga mau tidak mau suka atau tidak suka harus segera di mulai. Oke kami sudah siap!
Rencananya kami berangkat pagi-pagi menuju site tambang tempat kami visit. Tapi ternyata pihak perusahaan yang menjadi wajib pajak kami baru bisa menerima kami setelah jam sebelas siang. Okelah kalau begitu, sebagai tamu yang baik kami harus mengikuti keputusan tuan rumah.
Hari ini rencananya kami visit ke tiga tempat; dua di Kecamatan Teluk Bayur dan satu lagi di Kecamatan Segah. Syukurlah yang dua site tambang jaraknya berdekatan dan dimiliki oleh satu group perusahaan tambang. Sehingga bisa menyingkat waktu.
Sekitar pukul sembilan tim kami berangkat. Kami keluar dari Pos Pajak Berau menuju ke arah Kecamatan Teluk Bayur. Setelah melalui jalan beraspal kami mulai menapaki jalan tanah yang kesehariannya hanya dipakai sebagai jalur pengangkutan material batu bara dari site tambang ke Jetty (pelabuhan). Lumayan jauh. Kata orang tambang jaraknya tak kurang dari tiga puluh kilometer. Pemandangan selama perjalanan cukup menyejukkan mata. Selama perjalanan mata ini dimanjakan oleh lebatnya hutan kalimantan yang masih perawan. Suara-suara burung, kerap terdengar dari rerimbunan pohon yang menghampar luas di kanan kiri jalan. Sementara di sebelah kiri kami gunung kapur berdiri megah, angkuh menghadap langit. Kami cukup mendapatkan hiburan.
Lamat-lamat kami mendengar deru truck pengangkut batu bara berpadu dengan suara deru mesin eskafator memecah kerasnya batu bara. Di depan kami tampak hamparan tanah galian batu bara. Berhektar-hektar tanah bekas hutan di wilayah ini telah berubah menjadi galian tanah yang cekung ke bawah bak danau kering bertahun-tahun. Panas matahari bercampur debu yang beterbangan menjadikan lingkungan ini terasa tidak bersahabat.
Imajinasi saya bermain-main ke lembah dan bukit yang membentang di hadapan kami. Imajinasi ini mengembara ke masa silam, beberapa puluh tahun ke belakang. Saya meyakini bahwa berpuluh tahun yang lalu lembah dan bukit di tempat ini adalah hutan yang sangat lebat.
Kalimantan memang dianugerahi hutan yang lebat dengan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Kekayaan ini menjadi hak setiap warga negara untuk memanfaatkan bersama-sama demi kepentingan seluruh anak negeri untuk mewujudkan kemakmuran bersama-sama. Namun dalam perkembangannya ternyata kekayaan hutan kita hanya bisa panen oleh pihak tertentu dengan konsesi yang kadang kurang menguntungkan rakyat.
Hutan dengan seluruh kekayaannya tersebut dieksploitasi sampai habis. Ketika aktivitas loging sudah kehabisan bahan, mereka menggali ke dalam tanah untuk mengambil emas hitam yang memiliki nilai ekspor sangat menggiurkan itu. Lagi-lagi rakyat sebagai pemilik sah dari bumi Borneo ini hanya kebagian sedikit saja. Pemerintah turun tangan, atas nama rakyat membuat regulasi untuk mengenakan pajak atas aktivitas bisnis mereka.
Di tataran teknis tugas ini dibebankan kepada pegawai pajak. Di sinilah perlunya mensosialisasikan tugas mulia para pegawai pajak ini kepada publik. Pada hakikatnya pegawai pajak itu berperan sebagai wakil rakyat untuk mengambil haknya atas kekayaan negara yang sering hanya dinikmati oleh sebagian orang saja. Di sini tugas pegawai pajak untuk mengambilkan jatah rakyat, untuk dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pembangunan. Hanya sayangnya kadang tugas mulia ini kadang tidak tersosialisasikan dengan baik, bahkan kadang pemahaman yang keliru tentang pegawai pajak pun masih muncul.
Tak terasa hampir tiga jam kami memeloti site tambang sambil menggali data terkait dengan aspek perpajakannya, proses bisnis di sektor pertambangan batu bara, tentang rekanan yang menjadi mitra bisnisnya dan lain-lain. Menjelang sore kami pulang, karena kami tidak mungkin untuk melanjutkan ke site tambang berikutnya. Kami memutuskan besok saja kami telusuri site tambang yang berada di kecmatan Segah.
Singkat cerita menjelang pukul sembilan malam kami sampai di mess Pos Pajak Berau. Orang tambang yang menyertai kami tampak agak keheranan melihat mess kami. Dia bilang mess ini kecil tapi kok bisa menampung enam orang? Memangnya ada berapa kamar pak, tanya beliau. Buru-buru kami meralat bahwa jumlah kami bukan sekedar ber enam. Kami sebelas orang. Enam orang rombongan kami ditambah lima orang petugas piket di pos. “Memang kamarnya ada berapa?”tanya beliau mengulang pertanyaan awal. “Kamarnya sih cuma ada tiga, tapi kasurnya banyak pak’’ jawab kami yang disambut tawa bersama.
Kalau saya pikir-pikir mess Pos Pajak Berau ini memang ajaib. Messnya kecil. Kamarnya cuma ada tiga buah. Tapi mampu menampung belasan orang di dalamnya. Ajaib! Maka tak mengherankan jika si orang tambang tersebut keheranan. Begitulah mulianya orang pajak. Mulia pada tugasnya juga mulia hatinya.
Malam itu di mess kami tidak banyak cerita lagi. Kami semua diselimuti rasa penat. Setelah membersihkan diri, masing-masing kami lebih memilih untuk konsentrasi bersama bantal-bantal kami, karena besok pagi masih harus merampungkan perjalanan etape ke tiga seri dua. Karena masih ada sisa site tambang yang kemarin kami sisakan, karena kehabisan waktu untuk mengunjunginya.
Pagi pun menjelang. Tak ada kokok ayam di sini, maklum ini perkotaan. Yang ada hanya suara burung gereja bersahut-sahutan. Kami faham bahwa hari sudah beranjak siang. Kami harus segera bersiap merampungkan etape yang tersisa ini.
Syukurlah karena ternyata perjalanan di etape ketiga seri dua ini lumayan enak. Kami menempuh jalur darat, sehingga suasana seram Sungai Kayan tidak nampak di sini, pun belokan tanjakan curam yang kami jumpai di etape kedua juga tidak nampak di sini. Kami menempuh perjalanan yang melewati kampung-kampung penduduk transmigrasi.
Konon rumah-rumah penduduk yang kami jumpai sepanjang perjalanan ini dihuni oleh para pendatang. Mereka adalah para transmigran angkatan terakhir di jaman Presiden Soeharto. Mereka berasal dari Jawa dan Flores.
Kondisi perkampungan mereka sudah cukup maju dengan jalan yang beraspal. Dan satu lagi keadaan yang cukup menonjol yang saya catat dari perjalanan ini adalah berlimpahnya buah rambutan di rumah-rumah penduduk. Kami mengamati bahwa semua rumah yang kami jumpai sepanjang perjalanan di Kecamatan Segah ini memiliki pohon rambutan. Bahkan mereka memilikinya dalam jumlah yang banyak.
Kesan yang kami dapatkan dari penduduk di Kecamatan segah ini orang-orangnya cukup ramah dan bersahabat. Terbukti saat kami berhenti untuk makan siang di sebuah warung yang cukup sederhana, kami ditawari untuk memetik buah rambutan. Demi didapatinya tawaran yang menggiurkan ini maka kami segera mengiyakan dan langsung memeitik sendiri buah rambutan yang merah ranum itu. Tak sampai setengah jam tak kurang lima kiloan rambutan ludes kami santap. Tak ubahnya kancil hutan yang lahap menyantap timun hasil curian di kebun pak tani, kami pun dengan lahapnya memangsa buah manis yang memiliki rambut lebat ini.
Setelah selesai makan siang dan melanjutkan perjalanan kami baru sadar,”Bapak yang tadi nawarin buah rambutan, serius nggak ya beliau . . . jangan-jangan beliau tadi cuma basa-basi saja, kitanya yang kelewat nafsu menyambut tawarannya . . . waduh . . . ganas juga selera makannya mereka ini ya?
Perjalanan menuju site tambang tinggal separuhnya lagi. Kendaraan kami berbelok memasuki jalanan tanah berbatu kapur menuju site tambang yang kedua. Nampak jelas jalanan ini jarang di lalui orang. Hanya truck bermuatan batu bara yang melintas di sini. Konon dulunya jalan ini adalah jalan loging dari perusahaan kayu yang mengambil kayu di hutan. Dulu truck gede-gede seukuran tiga puluh gajah yang melintasi jalanan ini. Truck membawa gelondongan kayu-kayu besar itu siang malam melintas jalan menimbulkan debu yang menutup pandangan mata.
Di jalan ini jika ada kendaraan yang lewat, debu bebas beterbangan membumbung ke udara. Tidak ada petugas yang menyiram jalanan sebagaimana di jalur hauling perusahaan tambang batu bara pada umumnya. Akibat debu itu menjadikan jalan ini sangat rawan kecelakaan. Ditambah lagi tidak adanya sistem pengamanan sama sekali.
Di kanan kiri kami nampak lahan mati bekas galian tambang yang belum direklamasi. Dari visit kami ke berbagai tambang yang berada di Kalimantan Timur dan sebagian Kalimantan Utara, kami sering menemukan banyaknya lahan kritis akibat tidak dilaksanakannya program reklamasi bekas galian tambang. Kali ini kami disuguhi pemandangan yang serupa. Ngeri melihatnya.
Setelah menempuh jalanan tanah hampir satu jam akhirnya sampailah kami di site tambang yang kami tuju. Berhektar-hektar lahan tanah yang sudah di gali nampak membentang di depan kami.
Hari sudah sore, kami mempercepat kerja dalam menggali informasi terkait aktivitas penambangan. Mas Eko dan Mas Sigit bekerja cepat mengorek segala informasi yang dibutuhkan. Akhirnya semua data lapangan yang dibutuhkan kami anggap cukup. Kami melengkapi data matematis dengan data visual. Pak Atim Widodo membidikkan kamera untuk mengambil beberapa angel foto terbaik. Tak lupa pak Agung mengajak kami foto bersama dengan latar belakang penambangan batu bara. Cukup? Belum. Pak Agung masih menambah dengan foto selfie . . . he he he . . .
Hari sudah mulai gelap. Matahari sudah bersiap masuk ke peraduannya. Kami menyudahi kunjungan ini. Mobil kami membuntuti mobil pemandu, menuju jalan keluar.
Di tengah perjalanan tiba-tiba mobil pemandu kami berhenti. Cukup lama kami menunggu, tanpa tahu apa alasan yang membuatnya berhenti. Setelah kira-kira lima belas menit mobil pemandu berjalan. Mobil kami pun ikut berjalan. Tiba-tiba pak Agung sebagai co drivernya mas Eko berteriak-teriak,”Ular . . .ular . . . ada ularrrr . . kenceng . . . gas pollll . . .!!!. Hebohlah suasana perjalanan sore ini, dibuatnya.
Memang benar rupanya, seekor ular yang cukup besar terlindas ban mobil kami,”Ayo cepat, nanti ularnya masuk ke mobil,”kata Pak Agung dengan mimik serius.
Kami semua terpingkal-pingkal menyaksikan adegan kacau ini. Jelas ular berada di luar mobil, lagi pula sudah kelindas mobil sampai jalannya terseok-seok, masih dibilang nanti ularnya masuk ke mobil kita. Memang kadang jalan bareng senior itu plus minus. Plus-nya kita bisa mendapatkan banyak kalimat bijak sebagai bekal hidup yang lebih nyaman, damai, sentausa, gemah ripah loh jinawi. Minus-nya kalau ada ular suka panik. Bisa-bisa ... kabuuurrrr...
Akhirnya kami meninggalkan area pertambangan. Di perjalanan tidak banyak hal yang kami perbincangkan. Di langit nampak secuil bulan yang remang-remang. Maklum ini gerhana bulan. Dan konon ini adalah gerhana bulan yang langka. Kata pak Agung malam ini tiga proses alam terjadi sekaligus yaitu blood moon, blue moon dan super moon. Konon fenomena alam serupa terakhir terjadi pada tanggal 31 Maret 1866. Wah berarti itu terjadi seratus lima puluh tahun yang lalu dong. Percaya saja deh kalau yang ngomong senior. Soalnya kalau gak percaya bisa berabe!
Mobil kami melaju dengan kencang, menyusuri jalan aspal menembus perkampungan para transmigran. Akhirnya kami memasuki kota Tanjung Redeb bersamaan dengan orang-orang menunaikan ibadah sholat gerhana.
Kami tidak langsung menuju mess Pos Pajak Berau, tapi kami memilih untuk mengisi perut terlebih dahulu. Mas Sigit yang berperan sebagai driver, rupanya sudah sangat faham di mana kami harus memenuhi kebutuhan gizi kami yang terkuras seharian. Maka dipilihlah sebuah kafe yang cukup tenang di seberang sungai Segah di pinggiran Kota Tanjung Redeb. Dari tempat ini kami bisa melihat gemerlapnya lampu menghiasi kota Tanjung Redeb yang damai. Sedamai hati Pak Agung yang sudah terbebas dari ancaman ular sore tadi. Sungguh ini sebuah perjalanan yang cukup berkesan, banyak hikmah kehidupan yang kami dapatkan. Sampai bertemu di perjalanan berikutnya ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H