Ooo itu rupanya yang dimaksud ada dua matahari. Malam haripun serasa masih ada matahari ya . . . ada-ada saja.
Kopi hitam dan teh pun melengkapi bercengkerama kami. Gadis-gadis Dayak Punan tampak ceria bermain bola voli di sebelah camp kami. Tampak beberapa di antara gadis-gadis Dayak itu yang cukup memancing perhatian teman kami, sampai membuatnya tidak berkedip memelototi gadis-gadis Dayak berbalut kostum ala atlet bola voli kelas Eropa tersebut . . . siapa ya orangnya yang tak berkedip itu . . . ??? Kasih tahu namanya gak ya . . . ??? he he he . . .
Sehabis sholat maghrib obrolan masih berlanjut. Syukurlah semakin malam suasana suhu udara agak mendingan, sedikit sudah agak dingin. Kata mereka suhu udara di sini memang meningkat tajam sekitar lima tahun terakhir, terutama sejak invesor tambang batu bara masuk dan menambang di sini.
Masih kata mereka tiga tahun lalu suhu udara di sini masih dingin, bahkan buah durian, elay atau cempedak masih gampang didapatkan dari kebun masyarakat. Tapi sekarang semuanya sudah hilang, karena kebun buah mereka sudah di gali oleh para juragan batu bara dari kota. Benar kami merasakan suhu ruangan memang sangat panas.
Waktu terus bergerak. Sekitar pukul sepuluh malam kami berangkat ke peraduan. Besok pagi kami masih harus melanjutkan perjalanan ke area perhutanan yang menjadi objek pajak yang akan kami datangi. Tadi sore Pak E menuturkan bahwa perjalanan ke sana butuh waktu lebih dari dua jam dengan jalur yang berada di lereng-lereng gunung. Pendeknya besok kita akan mendaki gunung. Wouow . . . menantang sekali . . . semoga bisa menjadi pengantar tidur memasuki mimpi-mimpi indah kami . . .
Pagi harinya kami bangun menjelang jam lima. Tak ada suara tarkhim atau adzan subuh yang biasa kami dengar seperti di Tarakan. Maklum ini di pinggiran hutan, di kampung suku Dayak Punan. Lamat-lamat akhirnya kami mendengar juga suara adzan dari masjid di kejauhan. Tapi kami tidak berani untuk ke sana, karena banyaknya anjing berkeliaran di kampung ini.Â
Di depan camp banyak anjing tidur, beralas tanah dan beratap langit. Tidur mereka tampak sangat tenang. Kehadiran manusia tidak mengusik sedikitpun ketenangan tidur mereka. Tapi tidak bagi kami. Ketenangan tidur mereka tetap menjadikan kami tidak berani melangkah mendatangi panggilan adzan dari masjid. Akhirnya kami memutuskan untuk sholat berjamaah di camp.
Perlahan mataharipun menyembul dari ufuk timur. Kami segera bersiap memasuki agenda berikutnya.
Sekira jam delapan pagi kami memulai ekspedisi yang sebenarnya. Mengingat mobilnya hanya satu, ekspedisi ini terpaksa menempatkan empat orang di bak belakang mobil ranger ini. Pak Yulius, Pak E, Bang Peter dan Pak Teguh Ismail memilih untuk naik di bak belakang. Dan akhirnya ekspedisi menantang yang semalem diperbincangkan itu akan segera kami jalankan.
Kami mengawalinya dari basecamp. Mula-mula kami menyusuri jalan kampung yang agak lebar kemudian berbelok menuju ke arah pegunungan. Kanan kiri kami ditumbuhi pohon jati. Aneh kok ada pohon jati di sini ? Rupanya ini salah satu proyek pemerintah beberapa tahun lalu yang sayangnya kini kurang terawat.
Ekspedisi terus berlanjut. Jalanan berbatu dengan kontur naik turun berkali-kali kami libas. Singkat cerita, menginjak jam kedua ekspedisi, tanjakan dan turunan semakin tajam. Kata bang Iwan sang pemandu ekspedisi ini, nanti akan kita temui jalanan yang turunnya membuat dada sampai di paha dan tanjakannya membuat paha naik di dada. Ini kalimat yang menggambarkan kontur jalan dengan derajat kemiringan di atas enam puluh derajat.