Hari sudah mulai sore. Kumandang suara adzan ‘ashar telah berlalu. Mungkin beberapa saat lagi muadzin Masjid Nurjannah mengumandangkan iqomat, pertanda sholat ashar segera dimulai. Pak Syam si tukang burung jalak bali bergegas menuju masjid yang hanya berjarak seratus lima puluh meteran dari rumahnya itu.
Baru saja pak Syam hendak menutup pintu pagar rumahnya, sebuah sepeda motor berhenti persis di belakang pak Syam. “Mau ke mana pak Syam ?” tanya sang tamu tak diundang tersebut.
“Ealah . . . La kok ndadak tanya lo . . .Gino . . .Gino. Orang sudah pakai sarung, baju koko dan kopiah gini kok masih ditanya mau ke mana. Ya ke masjid lah, masak mau membersihkan kandang burung jalak balimu !” jawab pak Syam sewot.
“La siapa tahu . . . .bisa saja pak Syam, orang pakai sarung, baju koko dan kopiah itu bukan mau ke masjid, tapi mau pergi yasinan,pergi ke pesta aqiqah atau selametan tujuh harian. Saya kan pingin ikut juga,” balas kang Gino (yang juga penangkar burung jalak bali) masih dengan gaya cengengesan.
“Halah kamu itu lo . . .ayo sholat, sudah mau iqomat itu !” ajak pak Syam.
Mereka berdua pergi menuju masjid bercat warna kuning muda itu. Sebuah masjid yang cukup besar namun sayang ramainya masjid ini hanya pas di awal bulan Ramadhan saja. Kalau hari-hari biasa begini jamaahnya paling cuma satu shof saja, itupun kadang tidak ganep. Padahal kalau awal Ramadhan, sholat tarawihnya sampai luber ke halaman masjid lo . . .beneran . . .
Di sholat jamaah ashar kali ini kembali terulang, shofnya tidak ganep. Ini penyakit yang menjalar di kampung sini sejak beberapa generasi terdahulu dan tetap terwariskan dengan baik sampai hari ini. Astaghfirullahal adzim . . .
Sholat ashar telah usai. Persis sesaat setelah selesai wirid, pak Syam sudah tidak melihat batang hidung rekannya tadi. “Ke mana si Gino tadi ?” tanya pak Syam sambil tolah-toleh mencari di halaman masjid. Menyadari yang dicari tidak ada, pak Syam memutuskan pulang duluan.
Eee . . . La dalah, belum sampai masuk rumah, pak Syam dikejutkan sang tamu tak diundang itu, ternyata kang Gino sudah duduk manis di ruang tamu.
“He .. . menjadi tamu yang sopan dong. Bertamu itu ada adabnya. Kalau belum dipersilakan masuk oleh tuan rumah ya jangan masuk. Tahu nggak kamu ?” kata pak Syam menasehati.
“Iya aku tahu, tapi kalau menunggu pak Syam pulang dari masjid biasanya kan lama. Kan biasanya pakai dzikir-dzikir dulu. Kan capek nunggunya,” kata kang Gino ngeyel.
“Eh dibilangin kok malah ngeyel. Ini tata krama yang di ajarkan dalam agama kita. Sebagai muslim kita harus mematuhi adab ini,” kata pak Syam menjelaskan.
“Iya deh maaf. Lain kali saya mau ijin dulu sebelum masuk,” kata kang Gino mengalah.
Pak Syam masuk ke ruang dalam untuk berganti pakaian. Dia memakai uniform yang biasa dia gunakan untuk ngurus kandang-kandang burung jalak balinya. Karena tadi dia belum selesai membersihkan kandang-kandang burung jalak balinya, tapi keburu kepotong kumandang adzan ashar, kini dia balik lagi membersihkan kandang-kandang burung jalak balinya tersebut.
“Ayo masuk . . . mau bantuin bersih-bersih kandang burung jalak bali, apa mau jadi patung penunggu ruang tamu, terserah kamu,” kata pak Syam sambil ngeloyor pergi menuju kandang burung jalak bali yang terletak di bagian belakang rumahnya.
“Ya ikutlah pak Syam dari pada di ruang tamu juga dianggurin,” jawab kang Gino.
“Eh . . .dianggurin gimana, orang sudah disuguh segelas jus jerus sunkis sama semangka gitu,” kata pak Syam.
“Iya tapi kan cuma dikit. Semangka cuma lima potong,” kata kang Gino.
“Eee . . .eee . . .Komentarmu itu menunjukkan kebiasaanmu yang jelek. Kamu itu kurang bersyukur. Orang model kayak kamu ini biasanya gampang sekali mengeluh. Itu sudah rumus, koyo tumbu ketemu tutup. Orang yang kurang bersyukur pasti sukanya mengeluh. Ya kayak kamu ini,” kata pak Syam agak emosi.
“Suka mengeluh gimana . . .pak Syam ini sukanya su’udzon lo. Orang saya ini tidak suka mengeluh kok,” protes kang Gino.
“Lah kemarin itu ngedumel soal burung jalak balimu yang macet ndak mau nelur, badanmu yang capek kurang tidur, beban biaya sekolah anak-anak yang katamu makin berat tak terukur. Iya to ?” kata pak Syam mengingatkan.
“Itu saya tidak mengeluh pak Syam. Itu memang kenyataan . . . aslinya memang begitu.. Burung jalak bali dan cucak rawa saya macet tidak mau bertelur, badan saya kemarin memang capek karena habis kerja bakti sampai gak bisa tidur siang. Itu bukan mengeluh, tapi kenyataan,” kata kang Gino bersungut-sungut, tidak terima kalau dikatakan suka mengeluh dan kurang bersyukur.
“Itu . . .ya itu . . yang namanya mengeluh. Orang-orang yang kurang bersyukur dan suka mengeluh selalu tidak mau kalau diingatkan. Ya sudah kalau bagitu, . . . .bagaimana kalau nanti sore kita sowan ke rumah Kyai Mudzakir Ngabetan. Kita ngaji babagan njogo ati, sabar dan tawakal. Ini ilmu tuwo. Biar kita bisa ngoreksi awak sendiri. Gimana ?” tanya pak Syam.
“Oke . . . siapa takut ?” jawab kang Gino.
Sore itu, ba’da maghrib persis keduanya pergi menuju ke rumah Kyai Mudzakir. Kyai muda nan sederhana yang juga seorang breeder burung kesohor dan sudah kawentar ke setengah pulau Nusantara ini memang kerap menjadi rujukan untuk menanyakan hal-hal yang menyangkut hati seperti ini. Beliau ini memang spesialis mengobati hati, ibaratnya beliau ini memiliki bengkel hati tempat memperbaiki semua hati yang kurang beres bahkan hati yang rusak juga bisa diperbaiki di sini.
Pak Syam dan kang Gino berboncengan melaju menuju Dusun Ngabetan . . .
Kumandang adzan isya’ menggema di cakrawala langit Ngabetan. Seluruh isi alam Desa Ngabetan tunduk tertegun hanyut dalam suasana syahdu kemerduan suara muadzin dalam menggemakan keagungan dzat Ilahi Robbi.
Burung-burung jalak bali, cucak rawa dan murai batu dikandang-kandang para penangkar burung Dusun Ngabetan bertafakur dalam bahasa yang hanya nabi Sulaiman As yang bisa mendengar dzikir mereka. Pun ikan-ikan di Rowo Jombor, bertasbih mensucikan asma dan sifatNya. Mereka tak henti-hentinya mensucikan namanya dan memuji kebesaran Allah Rob pencipta alam.
Pak Syam berbelok masuk ke halaman masjid istiqomah. “Pak Syam kok berhenti di sini. Kan rumahnya pak Kyai Mudzakir tingal deket situ. Kok ndadak mampir segala !” protes kang Gino.
“Ini waktunya sudah masuk isya’. Ini saatnya kita laporan pada yang di atas bahwa kita sudah menjalani hidup dengan baik, burung-burung sudah dirawat dengan baik dan hasilnya juga baik. Ini waktunya kita menutup hari ini dengan sujud syukur kepada Gusti Allah. Ngerti ra cah bagus. Lagian pak Kyai kan juga ke masjid to ,” kata pak Syam ketus. Mereka berdua segera mengambil air wudhu.
Malam ini Masjid Istiqomah suasananya agak lain. Di serambi masjid berjejer rapi gelas-gelas minuman, yang di tata oleh muda-mudi Remaja Masjid Istiqomah. Beberapa kotak snack bertumpuk di sebelahnya.
Kang Gino keheranan, “Apa orang yang sholat di sini dikasih snack ya. Wah itu pasti sholatnya tidak ikhlas. Sholatnya karena pingin snack,” bisik hati kang Gino.
Sejurus kemudian muadzin mengumandangkan iqomat. Jama’ah larut dalam kekhusu’an masing-masing. Imam sholatnya, yang tak lain Kyai Mudzakir sendiri, melantunkan ayat-ayat qur’an dengan sangat tartil. Suara baritonnya yang mirip dengan Syaikh Al Khushori benar-benar menyihir jama’ah dan membuatnya larut dalam kekhusyu’an. Inilah efek yang muncul dari perpaduan jiwa penangkar burung dan jiwa imam masjid yang nyaris sempurna. .. weleh-weleh .. . jan jos tenan Lik . . .
Pak Syam dan kang Gino larut dalam keshusu’an empat rokaat isya’ yang syahdu. Begitulah kalau sholat dipimpin oleh orang yang sholih, aura kekhusyu’an akan menyebar ke seluruh ruangan masjid dan menjalari hati para jamaahnya. Beruntung Pak Syam dan kang Gino ikut kecipratan berkahnya.
Saking nikmatnya, sholat berjamaah isya kali ini rasanya begitu singkat, hingga membuat kang Gino kepingin untuk menambahi rokaat sholat isya ini menjadi sepuluh rokaat.”Hus . .. ngawur kamu, gak boleh !” kata pak Syam.
Selesai dzikir, seorang jamaah membawa meja kecil ke depan tempat imam. Sebuah mic tanpa kebel diletakkan di atasnya. Jama’ah melingkar bersender ke tembok masjid. Tak lama kemudian seorang anak muda, maju ke depan mengucapkan salam . . .bla . . .bla . . .bla . . . Pak Kyai Mudzakir dipersilakan untuk maju....eh la dalah ternyata ada pengajian to . . .??
Ba’da sholawat dan salam . . . pak Kyai Mudzakir menyampaikan materi pengajian dengan tema “Tadzkiyatun Nufus” alias pembersihan jiwa. Dalam pembahasannya beliau menyitir uraian dari Imam al Ghozali di dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, bahwa hati manusia terbagi ke dalam tiga golongan yaitu hati yang sehat, hati yang sakit dan hati yang mati. . . .la . . .bla . . . bla . . . kata beliau masing-masing keadaan hati tersebut ada pemicunya dan juga ada konsekwensinya . . .
Satu jam tak terasa telah berlalu. Peserta pengajian yang mayoritas para penangkar burung jalak bali dan cucak rowo itupun merasa puas dengan siraman rohani yang disampaikan oleh Kyai Mudzakir. Maklum beliau juga penangkar burung cucak rowo senior. Makanya materi pengajiannya disampaikan dengan ilustrasi yang selalu dikaitkan dengan aktivitas penangkaran burung. Ini mungkin yang disebut ngaji kultural.
Sebelum pengajian ditutup, beliau mengulangi kembali inti pengajian yang telah disampaikan tadi. Pak Syam masih mengingat sebagian di antaranya.
Pertama. Kita harus senantiasa menjaga kebersihan hati dari su’udzon, rasa enggan bersyukur dan suka mengeluh. Ketika kita mengeluhkan keadaan burung jalak bali kita yang macet tidak mau bertelur dan bahkan sampai menganggap burung-burung jalak bali kita mustahil akan bertelur kembali, itu artinya kita telah su’udzon kepada Allah. Dan efeknya bisa menumbuhkan benih-benih keengganan kita untuk bersyukur.
Padahal perkara burung macet bertelur itu bagi Allah gampang saja. “Jika aku menghendaki sesuatu maka aku cukup mengatakan “Kun” maka jadilah ia (QS Yasin (36) : 82). Hanya dengan “Kun” . . .burung-burung kita bakal produktif . . . nelur semua . . .
Ke dua. Pas kita merasa sumpek, resah dan gelisah campur galau jadi satu karena burung pada malas nelor, dan telur yang dierami pada tidak menetas dengan baik. Allah menjawab “Hanya dengan mengingatKu maka hati akan menjadi tenteram (QS ar Ra’d : 28 ).
Makanya pas burung-burung malas bertelur kita harus banyakin dzikirnya. Masak sih di saat burung-burung jalak bali kita tidak nelor bukan makin ingat dengan Allah, tapi malah resah dan gelisah. Rugi dong. Harusnya burung itu bisa kita jadikan wasilah untuk mengingatkan kita pada yang di atas, biar hidup kita tambah tenteram. Bukannya malah bikin hidup jadi tambah gelisah . . .
Ke tiga. Pas kita merasa letih karena seharian ngurus burung di kandang “Kok badanku rasanya pegel semua. Aku gak ke masjid dulu, karena keju linu sekali badanku ini, rasanya.”
Menanggapi hal ini, dengan Allah meyarankan kita untuk tidur dengan bener.“Dan kami jadikan tidurmu untuk istirahat ( QS an Naba’ (79) : 9 ).
Tidurlah dengan cukup, jangan banyak begadang, agar waktumu bisa di tata secara benar . . .kecapekan siang hari, itu biasanya karena imbas dari kelamaan begadang di malam hari . . .
Ke empat. Pas kita mengeluh dan merasa sia-sia karena telah memberikan jangkrik dan kroto tambahan, indukannya tetap tidak mau bertelur. Mengeluh seperti itu menunjukkan adanya kesalahan niat kita dalam menangkarkan burung. Niat kita terlalu sempit, yaitu hanya untuk mencari duit. Padahal dalam aktivitas menangkarkan burung itu ada banyak persoalan yang terkait. Ada ekonomi, sosial, penyelamatan lingkungan, kasih sayang pada satwa bahkan masalah tauhid lo. Gak percaya ?
Coba cari korelasi antara kesungguhan merawat burung dengan firman Allah “Siapa yang mengerjakan amal kebaikan sebesar biji dzarohpun, niscaya ia akan melihat hasilnya. (QS al Zalzalah : 7 ). Korelasi itu hanya bisa kita temukan jika dan hanya jika kita berfikir dalam kontek tauhid. Percaya saja deh . . . ini ilmu tuwo . . . maqom-nya tingkat tinggi . . .he he he . .
Intinya rawat burungmu dengan baik, perbaiki menu pakannya, maka Allah akan mengirimkan banyak anak burung kepadamu. Jikapun tidak, maka hal itu akan menjadi amal sholih yang bisa kau unduh saat nanti di akhirat. Percaya deh sama saya . . .
Ke lima. Ini soal beratnya menjadi penangkar burung jalak bali, yaitu saat burung-burung jalak bali kita mengalami penurunan produktivitas. Kadang-kadang hal ini bisa menjadikan semangat kita turut melemah, hidup tidak bergairah, badan jadi lungrah, bawaannya suka marah-marah. Tentu saja ini sikap yang salah. Mestinya ?
Karena tugas kita dalam menangkar burung jalak bali hanyalah merawat dengan sebaik-baiknya, soal hasilnya bukan menjadi wilayah kita. Kalau kata orang-orang pinter di tipi itu, tugas kita adalah di wilayah proses, sedangkan hasilnya bukan menjadi wewenang kita. Setelah kita menjalani prosesnya dengan sebaik-baiknya, selebihnya kita tawakal kepada yang di atas yaitu Allah sang pemberi rejeki. Tentu saja sambil terus ndremimil meminta kepada Allah agar kita diberi anakan burung jalak bali yang banyak. “Berdoalah kepadaku niscaya akau akan mengabulkannya untukmu. (QS al Mu’min : 60)
Ke enam, tentang menghilangkan kesedihan karena burung kita tiba-tiba mati. “Sedih sekali rasanya, burung mati, kok ndilalah yang mati kok burung-burung saya. Penangkar lain itu kok burungnya sehat-sehat semua”.
Saat burung-jalak bali kita mati, bolehlah bersedih sebentar. Ingat bahwa semua makhluk bernyawa itu memiliki batas umur. Ingat burung jalak bali kita mati karena sudah sampai pada batas umurnya, jadi tidak ada yang perlu disesalkan. Burung jalak bali itu juga kayak kita maka “Kullu nafsin dzaiqotul maut (setiap yang bernyawa pasti akan mati)“ juga berlaku untuk burung jalak bali kita. Maknaya jangan sedih, atau bolehlah sedih tapi dikit saja. Sebab jika sedihnya berkepanjangan . . .berarti hati kita masih belum sembuh.
Kita merasa sendirian mengalami nasib seperti ini ? oohhh . . . tidak penangkar lainpun juga mengalami hal yang sama. Tenang banyak temannya kok terlebih lagi Allah juga bersedia menemani kita lo “La tahzan innallaha ma’ana (tenang jangan galau, Allah bersama kita ) QS at Taubah : 40
Ke tujuh . . .ini gongnya “Sesungguhnya bersama kesulitan akan ada kemudahan. ( QS al Inshiroh :6 ). Pegang prinsip ini baik-baik . . . segala kendala yang menghadang penangkar, itu artinya isyarat dar yang di atas bahwa penangkaran burung jalak bali kita akan membesar. Aamiin . . .
Begitulah inti pengajian yang disampaikan oleh pak Kyai Mudzakir. Setelah acara ditutup, pak Syam bergeser mendekati pak Kyai Mudzakir, untuk berbincang empat mata. Akhirnya mereka terlihat asyik bercengkerama. Ini adalah pertemuan guru dan murid. Kyai dan santri, penangkar cucak rawa senior dengan penangkar burung jalak bali yunior. Semoga pertemuan ini penuh berkah . . .
Sementara itu, kang Gino pergi ke kamar mandi. Dihidupkannya kran air sekencang-kencangnya,”Malu aku, malu pada diriku sendiri. Bener aku memang kurang bersyukur dan banyak mengeluh. Aku harus memperbaiki diri . . .” tekad kang Gino . . . semoga happy ending . . .
[caption caption="Penangkar Burung Jalak Bali nDeso (gambar diambil dari www.gudangjalakklaten.blogspot.com)"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H