Pak Syam dan kang Gino larut dalam keshusu’an empat rokaat isya’ yang syahdu. Begitulah kalau sholat dipimpin oleh orang yang sholih, aura kekhusyu’an akan menyebar ke seluruh ruangan masjid dan menjalari hati para jamaahnya. Beruntung Pak Syam dan kang Gino ikut kecipratan berkahnya.
Saking nikmatnya, sholat berjamaah isya kali ini rasanya begitu singkat, hingga membuat kang Gino kepingin untuk menambahi rokaat sholat isya ini menjadi sepuluh rokaat.”Hus . .. ngawur kamu, gak boleh !” kata pak Syam.
Selesai dzikir, seorang jamaah membawa meja kecil ke depan tempat imam. Sebuah mic tanpa kebel diletakkan di atasnya. Jama’ah melingkar bersender ke tembok masjid. Tak lama kemudian seorang anak muda, maju ke depan mengucapkan salam . . .bla . . .bla . . .bla . . . Pak Kyai Mudzakir dipersilakan untuk maju....eh la dalah ternyata ada pengajian to . . .??
Ba’da sholawat dan salam . . . pak Kyai Mudzakir menyampaikan materi pengajian dengan tema “Tadzkiyatun Nufus” alias pembersihan jiwa. Dalam pembahasannya beliau menyitir uraian dari Imam al Ghozali di dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, bahwa hati manusia terbagi ke dalam tiga golongan yaitu hati yang sehat, hati yang sakit dan hati yang mati. . . .la . . .bla . . . bla . . . kata beliau masing-masing keadaan hati tersebut ada pemicunya dan juga ada konsekwensinya . . .
Satu jam tak terasa telah berlalu. Peserta pengajian yang mayoritas para penangkar burung jalak bali dan cucak rowo itupun merasa puas dengan siraman rohani yang disampaikan oleh Kyai Mudzakir. Maklum beliau juga penangkar burung cucak rowo senior. Makanya materi pengajiannya disampaikan dengan ilustrasi yang selalu dikaitkan dengan aktivitas penangkaran burung. Ini mungkin yang disebut ngaji kultural.
Sebelum pengajian ditutup, beliau mengulangi kembali inti pengajian yang telah disampaikan tadi. Pak Syam masih mengingat sebagian di antaranya.
Pertama. Kita harus senantiasa menjaga kebersihan hati dari su’udzon, rasa enggan bersyukur dan suka mengeluh. Ketika kita mengeluhkan keadaan burung jalak bali kita yang macet tidak mau bertelur dan bahkan sampai menganggap burung-burung jalak bali kita mustahil akan bertelur kembali, itu artinya kita telah su’udzon kepada Allah. Dan efeknya bisa menumbuhkan benih-benih keengganan kita untuk bersyukur.
Padahal perkara burung macet bertelur itu bagi Allah gampang saja. “Jika aku menghendaki sesuatu maka aku cukup mengatakan “Kun” maka jadilah ia (QS Yasin (36) : 82). Hanya dengan “Kun” . . .burung-burung kita bakal produktif . . . nelur semua . . .
Ke dua. Pas kita merasa sumpek, resah dan gelisah campur galau jadi satu karena burung pada malas nelor, dan telur yang dierami pada tidak menetas dengan baik. Allah menjawab “Hanya dengan mengingatKu maka hati akan menjadi tenteram (QS ar Ra’d : 28 ).
Makanya pas burung-burung malas bertelur kita harus banyakin dzikirnya. Masak sih di saat burung-burung jalak bali kita tidak nelor bukan makin ingat dengan Allah, tapi malah resah dan gelisah. Rugi dong. Harusnya burung itu bisa kita jadikan wasilah untuk mengingatkan kita pada yang di atas, biar hidup kita tambah tenteram. Bukannya malah bikin hidup jadi tambah gelisah . . .
Ke tiga. Pas kita merasa letih karena seharian ngurus burung di kandang “Kok badanku rasanya pegel semua. Aku gak ke masjid dulu, karena keju linu sekali badanku ini, rasanya.”