"Entahlah, Jo."
"Ceritakan dong, Mas, biar aku juga mempunyai gambaran masa depan negara kita ini."
Rudie masih terdiam, pikirannya menerawang jauh ke depan.
"Mas Rudie?!"
"Ketika aku semedi dua hari yang lalu, aku mendapat gambaran keadaan negara kita di tahun 2045. Pemandangan yang miris, bencana terjadi di mana-mana. Alam yang rusak, hutan beralih fungsi menjadi perkebunan. Perpecahan para pemimpin mengakibatkan bumi pertiwi mengeluarkan air mata darah. Tanah merekah, gersang saat kemarau yang hanya singgah sebentar. Pertambahan jumlah penduduk yang tidak terkendali membuat sesak tanah yang kita pijak. Bahkan sebagian wilayah dikuasai nengara lain."
Ando Ajo mendengarkan dengan seksama apa yang diceritakan Rudie. Ia mengerutkan dahi, berpikir apa penyebab semua itu bisa terjadi.
"Miris sekali, Mas. Bagaiman cara menyelamatkan anak-cucu kita?"
"Itulah yang sedang aku pikirkan, Jo. Seandainya kamu menjadi pemimpin, mengetahui masa depan bangsamu seperti itu, apa yang akan kamu lakukan?"
Ajo garuk-garuk kepala yang tidak gatal, bingung mau jawab apa.
"Hehehe..., untung aku bukan seorang pemimpin, Mas. Kalau menurut Mas sendiri, gimana?"
"Dilema, Jo. Menurut pemikiranku, kita bisa menyelamatkan negara kita ini dengan cara memberikan kesadaran pada semua warganya. Kesadaran akan pentingnya kelestarian alam, keseimbangan jumlah penduduk, rasa memiliki dan merawat negara kita ini. Tentunya juga membutuhkan pemimpin yang benar-benar pemimping. Tegas, adil, jujur, dan pengabdian pada negara."