Dapatkah merubah sesuatu yang sudah ditetapkan? Mungkin, karena pada jaman dahulu, ada seorang mendapat mujizat bisa melihat masa yang akan datang. Pada suatu ketika, ia mengetahui sahabatnya hendak berpergian mengunakan kapal mewah seorang saudagar kaya. Ia melarang ikut dalam kapal tersebut, karena ia melihat kapal tersebut dirampok bajak laut di tenggah perjalanannya. Maka selamatlah sahabatnya tersebut.
Rudie Chakil adalah salah seorang yang mendapat mujizat tersebut. Jaman sekarang, orang menyebutnya 'indigo'.
Semenjak selesai bersemedi beberapa hari yang lalu, ia tampak sedih. Setiap hari termenung, resah menyelimuti jiwanya.
"Aku perhatikan akhir-akhir ini, Mas Rudie lain dari biasanya. Ada apa, Mas?" tanya Ando Ajo, sahabat karibnya.
Begitu datang, ia menghampiri Rudie yang duduk termenung di teras rumah seorang diri. Ditemani secangkir kopi dan sebungkus rokok yang tergelak di meja tua dari kayu jati, Rudie memandang juah ke depan dengan tatapan kosong. Karena rumahnya di lereng gunung Kawi, sebuah tempat yang tenang dan sepi, cocok untuk menenangkan keresahan jiwa.
"Sulit aku ceritakan. Kamu pasti nggak akan percaya, Jo," jawab Rudie sambil menghembuskan isapan rokoknya kuat-kuat, seakan ingin membuang kegundahannya.
"Ah..., kamu tidak menganggapku, Mas?"
Rudie meminum kopinya yang sudah dingin. Ia memejamkan mata sejenak.
"Aku sudah melihat suatu keadaan yang buruk, Jo. Tentang negara kita ini, ketika sudah mencapai seratus tahun semenjak merdeka. Teramat buruk, membuat aku resah akan nasib anak-cucu kita nantinya," Rudie menghela napas, "mungkinkah apa yang aku lihat itu bisa dirubah?"
"Di dunia ini, semua masih mungkin, Mas. Bila Tuhan berkehendak, semua bisa terjadi. Cerita dong, Mas, biar beban jiwamu bisa sedikit berkurang."
Setahuku, apa yang dilihat Rudie yang belum terjadi, pasti terjadi. Oleh sebab itu, walau usianya masih paruh baya, orang-orang disekelilingnya memanggil 'Mbah Rudie'. Hanya Ando Ajo yang memanggil Mas, karena telah dianggap adik oleh Rudie.
"Entahlah, Jo."
"Ceritakan dong, Mas, biar aku juga mempunyai gambaran masa depan negara kita ini."
Rudie masih terdiam, pikirannya menerawang jauh ke depan.
"Mas Rudie?!"
"Ketika aku semedi dua hari yang lalu, aku mendapat gambaran keadaan negara kita di tahun 2045. Pemandangan yang miris, bencana terjadi di mana-mana. Alam yang rusak, hutan beralih fungsi menjadi perkebunan. Perpecahan para pemimpin mengakibatkan bumi pertiwi mengeluarkan air mata darah. Tanah merekah, gersang saat kemarau yang hanya singgah sebentar. Pertambahan jumlah penduduk yang tidak terkendali membuat sesak tanah yang kita pijak. Bahkan sebagian wilayah dikuasai nengara lain."
Ando Ajo mendengarkan dengan seksama apa yang diceritakan Rudie. Ia mengerutkan dahi, berpikir apa penyebab semua itu bisa terjadi.
"Miris sekali, Mas. Bagaiman cara menyelamatkan anak-cucu kita?"
"Itulah yang sedang aku pikirkan, Jo. Seandainya kamu menjadi pemimpin, mengetahui masa depan bangsamu seperti itu, apa yang akan kamu lakukan?"
Ajo garuk-garuk kepala yang tidak gatal, bingung mau jawab apa.
"Hehehe..., untung aku bukan seorang pemimpin, Mas. Kalau menurut Mas sendiri, gimana?"
"Dilema, Jo. Menurut pemikiranku, kita bisa menyelamatkan negara kita ini dengan cara memberikan kesadaran pada semua warganya. Kesadaran akan pentingnya kelestarian alam, keseimbangan jumlah penduduk, rasa memiliki dan merawat negara kita ini. Tentunya juga membutuhkan pemimpin yang benar-benar pemimping. Tegas, adil, jujur, dan pengabdian pada negara."
"Berat sekali, Mas. Apa yang bisa kita lakukan sekarang ini?"
"Kita mulai dari diri kita sendiri, kemudian kita tularkan kepada orang-orang di sekitar kita. Sulit memang, tapi setidaknya kita sudah melakukan yang terbaik buat negara kita dan masa depan anak-cucu kita kelak."
"Tapi, kalau para pemangku jabatan masih belum mempunyai kesadaran seperti yang Mas katakan, apa mungkin, Mas?"
"Itulah dilemanya, Jo. Banyak orang ingin jadi pemimpin, tapi bukan dari panggilan jiwanya, mereka hanya mencari keuntungan dari jabatannya. Dari sinilah, orang-orang menjadi anti-pati pada keadaan negaranya."
Keadaan hening sejenak, Ajo ikut termenung, hanyut oleh alur cerita Rudie. Aku juga tidak mengerti, apa yang Rudie rencanakan dan apa yang akan diperbuatnya.
Setahuku, Rudie adalah orang pilihan, ia memiliki kelebihan dari kebanyakan orang secara spiritual.
"Baiklah, Mas, mulai sekarang, mari kita tanamkan kesadaran pada orang-orang di sekitar kita," kata Ajo sambil menyalakan sebatang rokok.
Mereka bergerak secara mandiri, karena Rudie sangat di segani di sekitar tempat tinggalnya, tidak sulit mengajak orang-orangnnya.
Semakin luas pengaruh yang di sampaikan Rudie, semakin mendapat tantangan. Banyak yang mencemooh apa yang dilakukan Rudie dan Ajo. Tapi mereka tidak patah-arang. Apa yang mereka lakukan adalah untuk menyelamatkan Anak-cucunya kelak.
Â
Karya ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti event bulan kemerdekaan RTC
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H