Mohon tunggu...
Pairunn Adi
Pairunn Adi Mohon Tunggu... Administrasi - Penyuka fiksi

Seorang Kuli Bangunan yang sangat suka menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Misteri Kamar 313

3 April 2016   21:03 Diperbarui: 3 April 2016   21:37 1148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 

"Lho..., bukannya tadi ke lantai 13 bersamamu?"

"Apa?!"

Tanpa pikir lagi, aku langsung berlari menuju tangga naik.

"Kamu, kenapa, Di?"

Pertanyaan itu tak aku hiraukan. Sekilas aku melihat Tini kebingungan di depan pintu lift. Tapi aku tak bisa menunggu lift itu bisa berfungsi kembali. Tak ada waktu lagi melayani kebingungannya. Pikiranku dalam gelapnya kecemasan.

Dari lantai dasar menuju lantai dua tak menemui hambatan. Demikian juga dengan lantai tiga, empat, lima, dan enam, tanpa ada hambatan.

Menuju lantai tujuh, ada yang ganjil. Sudah berulang kali, aku hanya mutar-mutar di situ.

Karena lelah, aku berhenti. Di sela napas yang terengah-engah, aku berpikir, kenapa bisa muter terus di lantai ini. Akhirnya aku teringat kotak yang kutemukan sebulan yang lalu. Dan Mbah Sapto Pangestu, 'juru kunci pesarehan', pernah berpesan, bila suatu saat menemui keganjilan, aku harus membuka kotak itu agar dapat mengatasinya.

Aku mengeluarkan kotak kecil yang terbuat dari kayu Cendana itu. Perlahan kubuka, seberkas cahaya kemerahan memancar dari dalamnya. Ternyata sebuah cincin bermata batu merah delima.

Tanpa pikir panjang, aku memakai cincin itu. Aneh, ukurannya pas dengan jari tengahku. Begitu cicinnya tersemat di jari tengah tangan kananku, ada kekuatan yang merasuki tubuhku. Perlahan masuk dengan kehangatan yang kurasakan.

Seperti ada yang menyuruh dari dalam tubuhku, aku memejamkan mata sejenak. Anggota tubuhku bergerak sendiri. Tangan mengatup di depan dada, selayaknya seorang semedi, dan entah kenapa mulutku mengeluarkan suara yang belum pernah kudengar.

Begitu membuka mata, aku melangkah lagi menapaki anak tangga satu per satu. Kekuatan yang merasuk dalam diriku semakin intens menggerakkan tubuhku. Pada anak tangga ke tiga belas, ada sedikit goncangan yang kurasakan. Seperti menabrak suatu penghalang, tapi tak terlihat. Setelah terlewati, semua menjadi lancar kembali.

Aku terus berlari naik, sampai akhirnya tiba di lantai tiga belas. Kamar 313, berada paling ujung menjadi tujuanku.

Sebuah kamar yang istimewa di hotel itu, tapi tak pernah disewakan semenjak peristiwa pembunuhan berantai berawal dari sana.

Aku sendiri tidak tahu, semenjak aku menemukan kotak coklat di puncak Gunung Bromo, seperti ada yang merancang agar aku datang ke hotel ini.

Sampai di depan pintu kamar, kembali kekuatan itu menggerakan anggota badanku. Aku tidak melawan kekuatan itu. Seperti di lantai enam tadi, namun kata-kata yang keluar dari mulutku berbeda.

Setelah itu, kubuka pintunya, seperti tidak terkunci. Aku langsung masuk, walau di dalam gelap karena lampunya tidak menyala. Hanya ada sedikit pantulan cahaya dari luar, karena tirai jendelanya tidak di tutup.

Dalam keremangan, aku melihat Surti sedang menari. Tanpa ada suara musik atau gending, tari gerakannya sangat gemulai. Padahal Surti tidak pernah belajar menari, bahkan dia sangat benci tarian.

"Dinda Gayatri!"

Aku terkejut, suara itu keluar dari mulutku.

"Kanda Simo Welang?! Bagaimana Kanda bisa tahu aku di sini?"

"Harusnya kau pulang seratus tahun yang lalu."

"Maaf, Kanda, ada kekuatan yang menghalangi jalanku."

Aku tak mengerti yang mereka bicarakan. Aku hanya bisa berpikir, tapi tak kuasa atas tubuhku. Seperti menonton sebuah pertunjukan drama.

"Keluarlah dari tubuh wanita itu, Dinda. Mari kita pulang."

"Tidak...! Aku tidak akan pulang sebelum mendapat tumbal seratus orang!"

"Apakah kau mau menentang perintahku, Dinda?"

"Terserah katamu! Bila aku sudah mendapat seratus nyawa, aku bisa mendirikan kerjaanku sendiri."

"Apakah mereka memang ditumbalkan? Atau mereka menyerahkan dengan suka rela?"

"Itu bukan urusanmu, Kanda, sekarang pulanglah."

"Kamu sudah memasuki dunia manusia dengan kemauanmu sendiri, Dinda! Itu tidak bisa dimaafkan, dosamu begitu besar. Tahukah kamu resikonya?"

"Aku tidak peduli, Kanda!"

"Sebelum kamu dimusnahkan, sebaiknya kamu segera bertobat, Dinda. Tebuslah dosamu dengan bertapa di puncak Gunung Bromo bersamaku."

"Tidak!"

Tiba-tiba selarik cahaya merah keluar dari tubuhku, dan membungkus tubuh Surti. Tak kuasa, tubuh Surti berguling-guling memporak-porandakan isi kamar. Setelah itu aku tak ingat lagi apa yang terjadi selanjutnya.

Ketika aku sadar, banyak orang di sekelilingku. Tini ada di antara mereka. Mengetahui aku tersadar, Tini lekas membantuku.

"Apa yang terjadi, Di?"

"Entahlah..., seperti mimpi, Tin. Surti gimana?"

"Pingsan juga, masih belum sadar."

"Masih hidup? Syukurlah...."

Ketika aku teringat cicin yang kupakai tadi, tanpa sadar aku melihat jari tenggah tangan kananku. Cincin itu sudah tidak ada. Kemudian aku mencoba merogoh kantong celanaku, berharap kotaknya masih ada, tapi lenyap juga.

Semenjak itu, tidak pernah terjadi keanehan lagi di kamar 313. Bahkan belakangan aku dengar, kamar itu menjadi kamar favorit pengunjung.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun