Selain itu, Tupperware juga berusaha meningkatkan kehadirannya di dunia digital. Dengan semakin meningkatnya penggunaan e-commerce, perusahaan menyadari pentingnya beralih dari model penjualan tradisional ke platform online. Ini mencakup pengembangan situs web dan aplikasi yang memudahkan konsumen untuk melakukan pembelian secara langsung, serta memanfaatkan media sosial untuk menjangkau audiens yang lebih luas (Putri et al, 2023).
Krisis operasional yang dihadapi PT. Tupperware Indonesia mencerminkan tantangan yang lebih besar dalam menghadapi perubahan pasar dan perilaku konsumen. Dengan strategi yang tepat, Tupperware berharap dapat pulih dari krisis ini dan menemukan kembali jalur untuk pertumbuhan yang berkelanjutan. Transformasi ini menjadi kunci untuk memastikan bahwa Tupperware tetap relevan dalam pasar yang terus berubah dan dapat memenuhi kebutuhan konsumen yang semakin beragam.
Krisis Finansial
Krisis finansial yang dialami PT. Tupperware Indonesia mencerminkan tantangan yang lebih luas yang dihadapi oleh perusahaan induknya di Amerika Serikat. Dalam beberapa tahun terakhir, Tupperware telah berusaha mempertahankan posisinya di pasar yang semakin kompetitif, dan situasi ini semakin rumit oleh berbagai faktor eksternal dan internal.
Pada tahun 2022, Tupperware mengalami penurunan penjualan yang signifikan, dengan laporan menunjukkan penurunan sebesar 18%, mencapai sekitar USD 1,3 miliar. Kerugian operasional yang dialami perusahaan mencapai USD 28,4 juta, mengindikasikan bahwa perusahaan tidak hanya menghadapi masalah dalam penjualan, tetapi juga dalam biaya pengelolaan dan efisiensi operasional (Indonesia, 2024). Penurunan ini sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya persaingan dari produk-produk baru.
Kondisi ini semakin diperburuk dengan pengumuman awal tahun 2023, di mana Tupperware menyatakan adanya "keraguan substansial" mengenai kemampuan perusahaan untuk melanjutkan operasionalnya. Saham perusahaan turun hampir 50% dalam satu tahun, dan kapitalisasi pasar Tupperware menyusut hingga 93% dalam lima tahun terakhir (Putri et al, 2023). Ini menunjukkan bahwa investor kehilangan kepercayaan terhadap prospek masa depan perusahaan.
Di tengah krisis ini, Tupperware Indonesia berusaha mempertahankan operasionalnya di dalam negeri. Meskipun perusahaan induk menghadapi kesulitan, Tupperware Indonesia mengklaim bahwa bisnisnya masih dalam kondisi yang baik. Namun tantangannya tetap ada, terutama dalam menjaga hubungan dengan jaringan penjual yang menjadi tulang punggung distribusi produk mereka. Banyak penjual yang merasa tertekan akibat penurunan penjualan dan berkurangnya minat konsumen terhadap produk Tupperware, yang dikenal melalui metode pemasaran langsung (Redaksi, 2023).
Untuk mengatasi krisis finansial ini, Tupperware telah mengambil beberapa langkah strategis. Perusahaan mulai mengeksplorasi opsi untuk menjual aset dan melakukan rekonstruksi utang. Pada bulan September 2024, Tupperware mengajukan perlindungan kebangkrutan di bawah Bab 11 di Amerika Serikat, yang memungkinkan mereka untuk merestrukturisasi utang dan mengatur ulang operasionalnya (Indonesia, 2024). Langkah ini diharapkan memberikan ruang bagi perusahaan untuk beradaptasi dengan perubahan pasar dan mengembangkan strategi baru yang lebih berkelanjutan.
Tupperware juga berusaha untuk memperkuat kehadirannya di pasar digital. Dengan semakin meningkatnya penggunaan e-commerce, perusahaan menyadari pentingnya beralih dari model penjualan tradisional ke platform online. Meliputi pengembangan situs web dan aplikasi yang memudahkan konsumen untuk membeli produk secara langsung, serta memanfaatkan media sosial untuk menjangkau audiens yang lebih luas (Putri et al, 2023).
Krisis finansial yang dihadapi PT. Tupperware Indonesia mencerminkan tantangan lebih besar yang dihadapi perusahaan dalam menanggapi perubahan pasar dan perilaku konsumen. Dengan strategi yang tepat, Tupperware berharap dapat pulih dari krisis ini dan menemukan kembali jalur menuju pertumbuhan yang berkelanjutan.
Krisis Sosial
Krisis sosial yang dihadapi oleh PT. Tupperware Indonesia adalah tantangan yang rumit dan berlapis, yang muncul akibat perubahan perilaku konsumen dan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap isu-isu lingkungan. Dalam beberapa tahun terakhir, konsumen menjadi semakin kritis terhadap produk yang mereka pilih, terutama terkait dengan dampak lingkungan. Tupperware, sebagai produsen wadah penyimpanan makanan berbahan plastik, merasakan tekanan untuk cepat beradaptasi agar tetap relevan dalam pasar yang semakin kompetitif.
Perubahan sikap konsumen ini tidak dapat diabaikan. Sari dan Hidayat (2021) menyatakan bahwa konsumen sekarang lebih cenderung memilih produk yang tidak hanya berkualitas tinggi, tetapi juga ramah lingkungan. Hal ini mendorong Tupperware untuk berinovasi dalam pengembangan produk dan proses produksinya. Contohnya, perusahaan mulai menciptakan produk yang menggunakan bahan yang lebih berkelanjutan dan mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Namun, transformasi ini tidak hanya terbatas pada produk, tetapi juga mencakup cara perusahaan berkomunikasi dan berinteraksi dengan pelanggan.