Terdengar suara gemuruh tertahan dari para hadirin.
"Anda yakin pasukan telik sandi tidak salah hitung?" Kebo Branjang bertanya, sekalipun menyadari itu pertanyaan yang bodoh.
Gagak Nglukar tersenyum. "Pasukan telik sandi kita terlatih, senopati. Sangat terlatih. Mereka tak hanya mengamati dan menghitung jumlah pasukan Sunda Galuh. Mereka juga mengamati kekuatan lawan, seperti apa senjata yang dibawa, seberapa banyak perbekalan dan hal lainnya. Mereka juga bisa menghitung berapa lembar pakaian yang dibawa Putri Dyah Pitaloka Citraresmi. Jadi, informasi bahwa jumlah pasukan Sunda Galuh yang jumlahnya 135 itu akurat. Sangat akurat..."
"Tapi, jika jumlah pasukan Sunda Galuh berjumlah 135 orang, kenapa jumlah jasad hanya...' Kebo Branjang tidak melanjutkan kalimatnya. Dia menatap Sang Mahapatih.
Sang mahapatih terlihat memejamkan mata. Wajah perkasa itu terlihat mengeras.
"Berarti ada satu prajurit Sunda Galuh lolos," suara Mahapatih terdengar mendesis. Para Senopati merinding. Mereka tahu, jika mahapatih mendesis, itu artinya dia sedang murka. Sangat murka.
"Sekalipun ada prajurit yang lolos dari lapangan Bubat, dia tak akan bisa meninggalkan Trowulan. Semua gerbang dijaga ketat," kata Senopati Trisuryo, yang berwewenang menangani penjagaan di pintu gerbang.
"Dan sejauh ini, tak ada tanda-tanda yang mencurigakan? Tak ada yang menerobos tanpa penjagaan?" Mahapath kembali bertanya.
"Sejauh ini tak ada tanda-tanda bahwa prajurit Sunda Galuh yang lolos itu berupaya keluar dari pintu gerbang, Yang Mulia. Secara umum tak ada kejadian berarti, kecuali insiden kecil yang melibatkan tiga pendekar. Tapi sejauh ini aman-aman saja paduka," jawab Senopati Trisuryo.
"Maaf, Senopati Trisuryo, Anda mengatakan ada insiden yang melibatkan tiga pendekar? Siapa mereka?" Bhegawan Buriswara yang sejak tadi berdiam diri angkat bicara.
"Para prajurit mengenali tiga pendekar yang bertarung yakni  Wolu Likur, Gegurit Wungu dan  Pendekar Padi Emas. Keliatannya mereka mabuk. Perkelahian juga hanya berlangsung sebentar..."