Mohon tunggu...
Padepokan Rumahkayu
Padepokan Rumahkayu Mohon Tunggu... -

Padepokan rumahkayu adalah nama blog yang dikelola oleh dua blogger yang suka bereksperimen dalam menulis, yakni Suka Ngeblog dan Daun Ilalang. 'Darah di Wilwatikta' ditulis bergantian oleh keduanya dengan hanya mengandalkan 'feeling' karena masing- masing hanya tahu garis besar cerita sementara detilnya dibuat sendiri-sendiri. \r\nTulisan- tulisan lain hasil kolaborasi kedua blogger ini juga dapat ditemukan di kompasiana.com/rumahkayu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Darah di Wilwatikta Eps 16: Selendang Pelangi Para Bidadari

26 November 2011   18:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:09 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

CAHAYA bulan menerobos di sela pepohonan.

Kiran bergerak maju dan meraih kait pintu. Didorongnya pintu itu hingga terbuka dan dia melangkah maju.

Tujuh orang lelaki yang berada di halaman sekitar Pondok Harum terpana sejenak. Sesaat lalu mereka masih berunding memikirkan cara untuk menyerbu masuk ke dalam pondok. Sama sekali di luar dugaan bahwa pintu pondok itu akan sengaja dibuka dari dalam seperti itu.

Seorang gadis berdiri di depan pintu. Rambutnya terikat menjadi satu di belakang kepalanya. Beberapa kuntum melati terselip di sekitar ikatan itu.

Dia berdiri di sana tanpa bicara. Diam menanti.

Angin berdesir halus di sekitar, membuat selendang sutra halus di pinggangnya bergerak perlahan. Cahaya bulan menyentuh selendang itu. Selendang itu berpendar mengeluarkan cahaya berwarna pelangi…

***

Di dalam rumah, dua langkah di belakang pintu, Dhanapati juga menanti.

Betapapun inginnya dia menyerbu maju, akal sehat menahan langkahnya. Tujuh orang yang berdiri di luar sama sekali tak dikenalnya. Dia tak tahu siapa mereka, dan apa urusan mereka datang ke sini sebenarnya.

Apakah mereka utusan Bhagawan Buriswara yang ditugaskan untuk menangkapnya? Tapi mengapa harus orang lain yang dikirim untuk menangkap aku, pikir Dhanapati heran. Mengapa mereka tak datang sendiri?

Atau barangkali saat ini ada penjahat besar yang harus diburu, sehingga mereka semua bergerak ke sana, dan mewakilkan tugas untuk menangkapnya pada orang lain?

Selendang di pinggang Kiran bergerak- gerak melambai.

Rasa khawatir menyelinap di dada Dhanapati.

Tidak. Dia bukan khawatir mengenai dirinya sendiri. Dia tahu bahwa sekali Bhayangkara Biru berniat menangkapnya, maka mereka akan mengejarnya kemana pun. Telah diperhitungkannya hal tersebut. Sejak apa yang terjadi di Dukuh Weru beberapa waktu yang lalu, Dhanapati tahu bahwa Bhayangkara Biru tak akan begitu saja berhenti.

Bukan itu yang dicemaskannya.

Dia mencemaskan Kiran.

Sebagai seorang tabib, Kiran hebat luar biasa. Dia sabar, telaten dan tak mengijinkan kesalahan sekecil apapun terjadi. Dhanapati telah melihat bagaimana dia begitu teliti mengobati setiap luka dan pantang berhenti di tengah jalan.

Beberapa kali sudah Dhanapati menyaksikan bagaimana wajah dan sekujur tubuh gadis tersebut basah bersimbah peluh ketika berusaha mengeluarkan racun yang masuk sangat dalam ke dalam tubuhnya. Racun yang amat sulit dikeluarkan sebab ajian sakti pada pendekar Bhayangkara Biru membuat racun itu menancap kuat di tubuh.

Tapi, Dhanapati sungguh tak tahu seberapa kemampuan Kiran untuk beradu jurus dengan ketujuh tamu tak diundang ini. Satu dibanding tujuh, bukan hal yang dapat dianggap enteng.

Dhanapati menghela nafas. Kakinya mulai terasa kaku, seakan ada ribuan semut menjalar mulai dari ujung kaki hingga lututnya. Demi para Dewata, pikirnya, bahkan belum bertempur pun kakiku sudah tak dapat digerakkan dengan baik begini. Bagaimana pula aku akan dapat membantu Kiran, pikirnya.

Terlintas dalam pikiran Dhanapati tentang kepolosan Kiran yang ditunjukkan sebelumnya saat dia bahkan tak dapat memperhitungkan bahwa yang datang bukan Bhayangkara Biru.

Gadis ini terlalu lugu, pikir Dhanapati cemas.

Sementara itu rasa kaku dan kebas di kakinya makin terasa. Selama berada dalam perawatan Kiran dia memang belum pernah harus berdiri dalam sikap siaga bersiap untuk bertempur selama itu…

***

Di halaman, tujuh lelaki memasang kuda- kuda.

Kiran tetap berdiri tak bergerak.

Dhanapati mengamati dengan heran. Walau menganggap mereka ceroboh sebab tak dapat menghindari timbulnya suara dari daun kering yang terinjak saat menuju pondok, tapi cepatnya perubahan sikap ketujuh lelaki ini dari belum siap dan terkejut ketika Kiran membuka pintu hingga kini siap berlaga seperti itu memberikan kesan bahwa ketujuh laki- laki tak dikenal itu sedikit banyak tahu mengenai kepiawaian tabib muda yang selama ini mengobatinya itu dalam ilmu silat.

Apakah ketujuh tamu tersebut mengenal Kiran? Tapi mengapa Kiran sendiri tak mengenali mereka?

Dhanapati terus bertanya-tanya dalam hati.

Rasa kebas di kakinya bertambah kuat. Dia hampir tak dapat merasakan telapak kakinya yang menjejak lantai.

Rasa khawatirnya bertambah melihat bagaimana Kiran tak mengubah posisinya. Dia tetap berdiri diam seakan menanti, sementara menurut perhitungan Dhanapati, ketujuh laki- laki yang berada di halaman segera akan menyerang.

Andai saja dia tak sedang terluka parah seperti ini, Dhanapati sudah akan menghadapi mereka sedari tadi. Tapi kini tak ada yang dapat dilakukannya selain mencoba berdiri tegak dengan kaki yang terasa tak menapak…

***

Salah seorang dari ketujuh lelaki itu, masih dalam posisi memasang kuda- kuda menatap Kiran dan berkata, "Jadi di sini rupanya kau bersembunyi, gadisku…"

Deg.

Dada Dhanapati berdegup.

Dia tahu taktik itu. Itu adalah pancingan untuk melengahkan Kiran.

Walau hanya berada di belakangnya, Dhanapati dapat membayangkan bahwa seorang gadis semacam Kiran dengan beberapa kuntum melati tersemat di rambut yang terikat menjadi satu di atas tengkuk serta selendang sutra halus berpendaran warna pelangi di bawah cahaya bulan purnama adalah sesuatu yang akan sangat memikat hati.

Tapi panggilan ‘gadisku’ tadi jelas tidak diucapkan dengan nada kagum. Nada pengucapannya melecehkan. Itu pancingan agar Kiran marah. Dan mengingat bagaimana jengah Kiran sebelumnya ketika jemarinya berada dalam genggaman Dhanapati…

Dhanapati berusaha mengatasi rasa kebas di kakinya. Bersiap membantu Kiran jika gadis itu melakukan sesuatu yang tak terkendali.

Tapi dengan takjub didapatinya Kiran tak bergeming.

Gadis itu tetap berdiri di tempatnya tadi. Kini suaranya terdengar. Singkat, jelas dan sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda kepolosan atau kekanakan yang kadangkala ditemukan Dhanapati selama ini.

"Siapa kalian?" Kiran bertanya, dingin dan datar.

Lelaki yang tadi berkata-kata terbahak.

"Kau tak mengenal kami, gadisku?" Suaranya serak dan kasar.

Kiran tak menjawab.

Lelaki itu terus terbahak.

"Siapa kalian?" tanya Kiran untuk kedua kalinya. Suaranya masih tetap dingin dan tajam.

Dhanapati mencatat dalam hati. Gadis ini rupanya memang bukan seseorang yang bisa dipermainkan. Ilmu pengobatan yang dimilikinya sangat tinggi. Dan dia seringkali tampak begitu polos dan lugu. Tapi suara dingin dan menusuk yang baru didengarnya barusan…

Dhanapati menanti. Dia mulai berpikir bahwa mungkin kekuatirannya tadi terlalu berlebihan. Sikap yang baru ditunjukkan Kiran adalah sikap seseorang yang sangat siap turun ke tengah gelanggang pertempuran jika dibutuhkan. Dia sangat percaya diri, dan artinya, pikir Dhanapati, walau tak tampak, pastilah sebetulnya dia sudah mengamati lawan dan memperhitungkan langkahnya jika para lawan menyerang!

Baru saja Dhanapati berpikir begitu, dalam sejentikan jari, lelaki yang tadi memanggil Kiran dengan sebutan ‘gadisku’ maju ke depan. Dia melompat dan berusaha menjangkau Kiran. "Menyerah sajalah, gadisku. Menyerah saja pada kami, Iblis Sapta Kupatwa."

Dhanapati menahan napas ketika dalam kecepatan yang amat sangat, hampir tak tampak memasang kuda- kuda, Kiran tiba-tiba melompat tinggi, lalu berputar dan melayang ke atas kepala penyerangnya yang rupanya berasal dari kelompok bernama Iblis Sapta Kupatwa itu. Lalu dengan sangat halus Kiran kembali melayang turun, menjejak tanah tanpa suara.

Kini dia berada di belakang ketujuh lelaki tak dikenal itu. Enam orang berjajar sekitar tiga tombak di depannya, membentuk setengah lingkaran. Sementara laki- laki yang tadi menyerangnya berada jauh di sana, tak berapa jauh dari tempat Kiran sebelumnya berdiri. Lelaki itu kalap. Malu bukan main karena ketika hendak menangkap Kiran dia hanya menjangkau angin. Gadis yang hendak dijangkaunya ternyata melompat menjauh..

Lelaki tersebut kini berdiri menghadapi pintu yang terbuka. Sementara itu dua langkah di belakang pintu Dhanapati berusaha agar tetap dapat berdiri tegak.

Kaki Dhanapati terasa digayuti jutaan semut dan dia sama sekali tak merasakan apa- apa. Dipegangnya kuat- kuat pedang yang sejak tadi digenggamnya.. Hanya Pedang Api ini saja yang akan dapat diandalkan jika lelaki di depan pintu yang mungkin suruhan Bhegawan Buriswara itu menyerbu masuk.

Sementara itu, dalam jarak lima belas tombak di belakang lelaki tak dikenal yang kini berhadapan dengan Dhanapati, Kiran bersiaga lagi. Dia menyadari bahwa dengan meninggalkan tempatnya berdiri tadi, Dhanapati kini sama sekali tak terlindung. Kalau lelaki itu menyerbu masuk, Dhanapati yang masih dalam keadaan lemah itu tak akan dapat melawan.

Jika orang- orang yang datang itu adalah utusan Bhayangkara Biru untuk menjemput Dhanapati, mereka akan dengan mudah membawanya pergi.

Tak akan dibiarkannya itu terjadi.

Kiran melompat sekali lagi. Kali ini ke arah muka. Dikebaskannya selendang sutra di pinggang. Digunakannya ajian Sebya Indradhanu Paramastri (Selendang Pelangi Para Bidadari ).

Selendang tersebut berkibar dengan halus tapi geraknya mengarah pada satu tujuan pasti. Pendar warna pelangi berhamburan saat selendang bergerak cepat dan dalam sekejapan mata melilit tubuh lelaki tak dikenal di depan pintu itu.

Gebyar cahaya pelangi mengelebat kemana- mana. Sungguh pemandangan yang sangat indah.

Dhanapati sungguh takjub. Gadis ini bukan orang sembarangan, ternyata. Apa yang baru ditunjukkannya adalah jurus Indradhanu Maharup Kaaya (Pelangi Memeluk Raga) . Ilmu tingkat tinggi yang hanya dimiliki oleh garis keturunan tertentu.

Tahulah kini Dhanapati, siapa Kiran sebenarnya.

Kesadaran itu membuat bulu kuduknya meremang...

Mereka, tujuh lelaki itu bukan datang untuknya.

Iblis Sapta Kupatwa datang untuk menangkap Kiran!!!

( bersambung)

** gambar diambil dari: www.alibaba.com **

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun