Mohon tunggu...
Padepokan Rumahkayu
Padepokan Rumahkayu Mohon Tunggu... -

Padepokan rumahkayu adalah nama blog yang dikelola oleh dua blogger yang suka bereksperimen dalam menulis, yakni Suka Ngeblog dan Daun Ilalang. 'Darah di Wilwatikta' ditulis bergantian oleh keduanya dengan hanya mengandalkan 'feeling' karena masing- masing hanya tahu garis besar cerita sementara detilnya dibuat sendiri-sendiri. \r\nTulisan- tulisan lain hasil kolaborasi kedua blogger ini juga dapat ditemukan di kompasiana.com/rumahkayu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Darah di Wilwatikta Eps 11: Bidadari Malam Menunggang Kegelapan

19 November 2011   08:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:28 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PEREMPUAN itu menengadah, merasakan aroma hangat yang memasuki indra penciuman.

Ah, aroma Kotaraja. Aroma Trowulan.

Dia selalu merasa takjub ketika menginjakkan kaki ke Trowulan. Sebuah kota yang menjadi lambang kemajuan. Sebuah kota di mana seseorang bisa mendapatkan apa saja. Ya apa saja.

Di sore seperti ini, pasar Trowulan riuh rendah. Dipenuhi manusia dari berbagai bangsa. Dengan berbagai tipe. Mulai dari pendekar, pendeta, resi, bangsawan, pedagang, petani, pengembara, penjilat, pemabuk, hingga budak. Mereka menjadi satu dalam pusaran kebutuhan. Kecuali, tentu saja, para budak yang hanya berdiri diam menanti dengan cemas siapa calon majikan.

Perempuan itu berjalan santai. Menikmati langkah demi langkah. Melihat dari kejauhan beberapa sosok yang dikenalnya, namun tidak melihatnya. Dilihatnya Pendekar Mata Naga dengan pedang berkaratnya. Sang pendekar sedang mengamati kayu cendana. Ada juga Pendekar Codet yang sama-sama berasal dari Swarnabhumi. Sampai sekarang, dia tidak mengerti kenapa pendekar yang berasal dari Ceumpa (Aceh) itu menyebut dirinya Codet padahal wajahnya sama sekali tidak menampakkan bekas luka.

Sekilas, dia juga sempat melihat Pendekar Harimau Hitam, yang mudah dikenali karena mengenakan pakaian khas dari kulit harimau.

Banyak pendekar hebat berkumpul di Trowulan. Apakah hanya kebetulan?

Teriakan penjual buah membuat perempuan itu kaget. Dia menoleh. Penjual buah, seorang lelaki yang bertelanjang dada memamerkan buah-buahan yang dijajakan: Bermacam-macam pisang, kelapa, tebu, delima, manggis, langsat, semangka…

Denggan sopan perempuan itu menggelengkan kepala. Tidak. Dia datang ke Trowulan bukan untuk membeli buah-buahan. Matanya kemudian melirik ke sebuah toko sederhana yang menjual kain. Ada kain sutera dari Negeri Atap Langit (China), ada kain bercorak dari India…

Dan nalurinya mengatakan kalau dia sedang diawasi.

Bukan, bukan prajurit Majapahit yang sejak dia memasuki gerbang Trowulan sudah membayanginya. Sebagai perempuan yang masih terhitung kerabat dekat Sang Baginda, dia tahu kalau ada sepasukan prajurit yang membayanginya. Melindunginya.

Namun yang mengawasinya bukan para prajurit. Siapa?

Perempuan itu melangkah ke toko pakaian. Pura-pura tertarik. Jemarinya yang lentik membelai kain yang halus. Dia kemudian mengambil cermin kecil, dan mematut diri. Sebagai perempuan, cermin yang didatangkan dari Negeri Atap Langit merupakan mujizat. Kalau biasanya hanya melihat penampilan melalui bayangan air, kini dia bisa melihat langsung.

Dia memiringkan cerminnya. Melihat ke belakang. Dan dia melihat. Sekilas.

Yang mengawasinya adalah seorang lelaki muda yang nampak lemah lembut. Dada perempuan itu berdesir. Dia tahu, lelaki yang nampak lemah lembut itu bukan orang sembarangan. Dia bernama Sancaka, orang keenam dari Bhayangkara Biru!!

Kenapa anggota Bhayangkara Biru mengawasinya?

Dia kembali melangkah. Mencoba bersikap biasa. Namun kini lebih waspada. Dia melewati kios yang menjajakan berbagai jenis burung. Ada burung Nuri berwarna merah dan hijau, Kakatua yang terkantuk-kantuk, Merak yang memamerkan bulu, serta Beo yang tak henti-hentinya berkicau, berceloteh dalam bahasa Sansekerta.

Tiba-tiba sesuatu melayang mendekatinya. Dan hinggap ke tangannya. Seekor burung. Burung Merpati berwarna putih yang sangat jinak.

Merpati itu mengeluarkan suara lembut sambil mengeluskan kepalanya ke telapak tangan. Perempuan itu terkejut. Dia mengenali gerakan ini. Dan tiba-tiba tersadar. Ini bukan merpati biasa. Ini merpati milik Pendekar Padi Emas!!

Kenapa merpati milik Padi Emas bisa berada di Trowulan? Apakah sepupunya ini mau memberitahu sesuatu? Mereka belum lama berpisah. Pertemuan terakhir terjadi di kediaman Padi Emas ketika perempuan itu menitipkan kudanya, hampir empat bulan lalu.

Perempuan itu mengangkat tangannya dan memeriksa kaki si merpati. Ternyata benar. Di kaki kanan terlihat segulungan kain berwarna hitam yang diikat dengan benang emas.

Dia mengambil gulungan kain itu. Hanya secarik kain. Di sudut kanan ada gambar padi berwarna emas.Tulisan pada kain juga ditulis dengan tinta emas, huruf Pallawa dalam bahasa Melayu. Tak bisa diragukan, ini memang pesan dari Pendekar Padi Emas!!

Perempuan itu membaca. Dan tiba-tiba wajahnya berubah pucat.

Dia kembali membaca.

Surat dari Padi Emas sangat singkat, namun langsung membuat nafasnya tertahan.

“Dia berada di pondok.


Sang Surya sudah terbit dan menanyakan hujan”
Ah…

Sang Surya sudah terbit dan menanyakan hujan!!

Dia melipat kain itu, mencabut tusuk kode, menusukkan ke kain tiga kali dan mengikatkan kain itu ke kaki Merpati.

“Pergilah. Katakan kepada majikanmu bahwa aku mengerti….” Dia melemparkan merpati itu. Si merpati berputar di angkasa tiga kali dan kemudian terbang menembus mega.

Dia menoleh ke tiga gadis yang sejak tadi sedang mengamati bebauan dan serbuk penghalus wajah.

“Dara Merah, Dara Biru, Dara Hijau, kita pergi….”

“Pergi? Kemana?” Gadis yang mengenakan pakaian berwarna merah bertanya heran.

“Kita kembali ke pondok. Sekarang!!!”

“Sekarang? Ini sudah senja. Sebentar lagi malam hari…”

“Kalau begitu kita harus bergegas. Ayo!!!”

Tanpa menanti jawaban, perempuan itu, Puteri Harum Hutan, melangkah cepat ke pintu gerbang. Begitu meninggalkan Trowulan, dia memberi isyarat. Dan dalam sekejap keempat perempuan itu melayang. Bagai bidadari malam yang menunggang kegelapan.

Di dalam pasar Trowulan, Pendekar Mata Naga meletakkan kayu cendana yang sejak tadi dipegang. Sejak awal dia memang tak bermaksud membeli kayu cendana. Matanya menatap pintu gerbang, mengawasi senja yang mulai berganti malam.

Sepuluh tombak di sampingnya, Pendekar Codet mengelus rambutnya. Dia juga menatap pintu gerbang, mengawasi senja yang berganti malam.

Di dekat pintu gerbang, Pendekar Harimau Hitam berdiri diam. Dia juga mengawasi senja yang berganti malam.

Di atas pohon Beringin tepat di dekat pintu gerbang, Sancaka, orang keenam dari Bhayangkara Biru menutup mulutnya dengan kedua tangan. Dari mulutnya terdengar suara aneh.

“Kuurrr… Kurrrr… Kurrrr”

Sekitar seratus tombak dari Sancaka, seorang lelaki mencelupkan anak panah ke obor yang menyala. Dia menarik panahnya. Anak panah berapi meluncur ke angkasa.

Dia kemudian meniup obor dan melemparkannya.

Obor itu jatuh di dekat bangkai seekor burung.

Burung berwarna putih.

Burung merpati milik Pendekar Padi Emas…. (bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun