“Kita kembali ke pondok. Sekarang!!!”
“Sekarang? Ini sudah senja. Sebentar lagi malam hari…”
“Kalau begitu kita harus bergegas. Ayo!!!”
Tanpa menanti jawaban, perempuan itu, Puteri Harum Hutan, melangkah cepat ke pintu gerbang. Begitu meninggalkan Trowulan, dia memberi isyarat. Dan dalam sekejap keempat perempuan itu melayang. Bagai bidadari malam yang menunggang kegelapan.
Di dalam pasar Trowulan, Pendekar Mata Naga meletakkan kayu cendana yang sejak tadi dipegang. Sejak awal dia memang tak bermaksud membeli kayu cendana. Matanya menatap pintu gerbang, mengawasi senja yang mulai berganti malam.
Sepuluh tombak di sampingnya, Pendekar Codet mengelus rambutnya. Dia juga menatap pintu gerbang, mengawasi senja yang berganti malam.
Di dekat pintu gerbang, Pendekar Harimau Hitam berdiri diam. Dia juga mengawasi senja yang berganti malam.
Di atas pohon Beringin tepat di dekat pintu gerbang, Sancaka, orang keenam dari Bhayangkara Biru menutup mulutnya dengan kedua tangan. Dari mulutnya terdengar suara aneh.
“Kuurrr… Kurrrr… Kurrrr”
Sekitar seratus tombak dari Sancaka, seorang lelaki mencelupkan anak panah ke obor yang menyala. Dia menarik panahnya. Anak panah berapi meluncur ke angkasa.
Dia kemudian meniup obor dan melemparkannya.