Mohon tunggu...
Anak Tansi
Anak Tansi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang perantau yang datang ke ibu kota karena niat ingin melihat dunia lebih luas dari Jakarta
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Seorang perantau yang datang ke ibu kota karena niat ingin melihat dunia lebih luas dari Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Money

Melongok Label RSPO Sawit yang Mulai Tak Bertaji

13 November 2019   21:53 Diperbarui: 13 November 2019   22:01 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Untuk sebagian pegiat lingkungan luar negeri atau Lembaga Swadaya Masyarakat  (LSM) asing, perkebunan kelapa sawit yang saat ini beroperasi di Indonesia  adalah biang kerok kerusakan lingkungan. Beragam contoh dan bukti dikemukakan untuk memperkuat argumen yang pada gilirannya membuat industri ini terpojok oleh kampanye negative yang secara massif  terus berlangsung hingga saat ini.

Salah satu tujuan utamaya menjadikan Indonesia (juga Malaysia) sebagai dua produsen utama kelapa sawit duniia, harus tunduk dan memenuhi beragam tuntutan yang justru datang dari negara-negara maju yang menjadi konsumen utama produk ini.

Tidak seperti minyak bumi yang harganya ditentukan oleh negara produsen, seperti kartel  minyak OPEC yang menjadi penentu harga minyak dunia, maka dalam kasus kelapa sawit ini menjadi sebuah anomaly.

Mengapa demikian, karena penentu harga minyak kelapa sawit dunia tidak berada di tangan Indonesia atau Malaysia, melainkan oleh Amerika Serikat, yang justru menjadi produsen utama kacang kedelai. Sebuah produk pertanian yang justru menjadi competitor sawit di pasar minyak nabati dunia.

Minyak kedelai, hingga saat ini masih jadi acuan harga pasar dunia bagi kelapa sawit, yang itu mengacu kepada jumlah total produksi pertanian di Amerika Serikat serta Brasil, selaku produsen kedua terbesar kedua kedelai dunia.

Dan kepada dua produk tersebut, plus bunga matahari yang menjadi produk utama sejumlah negara-negara Eropa dalam menghasilkan minyak nabati, CPO Indonesia dan Malaysia harus mengalah.

Tak hanya itu,  selain dimensi penguasaan minoritas produsen terhadap mayoritas produk lain, sejumlah ranjau atau dalam bahasa halusnya, aturan-aturan yang mengikat telah juga dibuat oleh kelompok usaha dan bisnis untuk mengekang produk sawit milik Indonesia bebas menentukan kebijakan.

Pintu masuknya, seperti yang sudah disinggung pada bagian pertama yakni dengan memanfaatkan isu lingkungan. Karena disuka atau tidak, secara factual persoalan lingkungan, pelestarian alam telah lama menjadi bahan kampanye negatif banyak negara terhadap sawit Indonesia.

Mereka masuk lewat beragam tuntutan pelestarian lingkungan dalam negeri, yang sejatinya tak lebih adalah bentuk halus dalam upaya menuntut industri sawit Indonesia tetap di bawah kendali mereka.

Salah satu bentuk tercanggih dan halus dalam membelenggu sawit Indonesia agar tetap inferior di pasar internasional adalah pembentukan lembaga sertifikasi atau label yang disebut RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil).

Tujuannya sih bagus, yaitu menjadi lembaga pengawas yang secara voluntary diikuti oleh negara produsen agar praktek keberlangsungan industri ini tak menimbulkan kerugian. Inisiatornya adalah korporasi yang berpusat di Eropa yang menggunakan sawit sebagai bahan baku untuk industri mereka. Bersama mereka, bergabung di dalamnya LSM lingkungan internasional, yang suka atau tidak, menjadi perpanjangan tangan bagi kepentingan korporat tersebut untuk menekan sawit Indonesia, tetap tunduk dengan keinginan industri tersebut, lewat senjata isu-isu lingkungan serta social.

Atas dasar tersebut, kemudian berdirilah  Roundtable on Sustainable Palm Oil  atau RSPO pada tahun 2004.  Sebuah asosiasi yang terdiri dari berbagai organisasi dari berbagai sektor industri kelapa sawit dan berkantor pusat di Kuala Lumpur, Malaysia. Tujuan berdirinya lembaga sekaligus berfungsi jadi label dan sertifikasi tersebut adalah,   mengembangkan dan mengimplementasikan standar global untuk produksi minyak sawit berkelanjutan.

Keanggotaan mereka terdiri dari berbagai organisasi dari berbagai sektor industri kelapa sawit (perkebunan, pemrosesan, distributor, industri manufaktur, investor, akademisi, dan LSM bidang lingkungan) yang bertujuan mengembangkan dan mengimplementasikan standar global untuk produksi minyak sawit berkelanjutan.

Tak seperti ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) yang dibentuk  pemerintah Indonesia tahun 2009, yang bertujuan mengawasi  praktek sawit berkelanjutan bagi perusahaan atau pelaku bisnis yang beroperasi di seluruh tanah air. Maka, RSPO adalah sebuah lembaga non pemerintah yang dibentuk oleh sejumlah lembaga swasta  lintas kepentingan di sejumlah negara, namun memiliki "suara" untuk menentukan layak tidaknya praktek bisnis sawit di sebuah negara.

Suara yang pada gilirannya akan menentukan bisa tidaknya produk sawit negara tersebut boleh masuk dan diperdagangkan di manca negara, khususnya di negara maju, seperti Eropa atau Amerika. Karena dua kawasan tersebut selama ini adalah konsumen terbesar produk berbahan dasar minyak nabati tersebut.

Secara ide, keberadaan RSPO  dengan label sertifikasinya, memang perlu untuk memastikan keberlangsungan aktifitas bisnis tetap dalam koridor green economy. Ide tersebut menjadi penting dalam aplikasi karena rentang persoalan perkebuna kelapa sawit, khususnya di sejumlah negara terutama Indonesia, mencakup banyak aspek. 

Namun kondisi terakhir sepertinya tak lagi sesuai harapan awal berdirinya asosiasi tersebut. Itu terlihat dari fakta dimana dalam kurun waktu delapan tahun terakhir, para produsen yang tergabung dalam asossiasi ini melihat ada ketidakpatuhan anggotanya dalam menyerap sawit berlabel RSPO.

Mereka mengeluhkan bahwa pembelian  pembelian minyak sawit bersertifikat dari sektor manufaktur dan consumer terus menurun. Padahal, kesadaran anggota khusunya produsen sawit untuk  mematuhi dan menerapkan standar bisnis tinggi yang ditetapkan asosiasi sudah dilakukan. Akibatnya, penyerapan pun menjadi tidak maksimal.

Padahal, praktik dan tata kelola sawit berkelanjutan seperti yang menjadi dasar keberadaan RSPO, yang digadang-gadang oleh LSM anggotanya harus dipatuhi seluruh anggota  sektor baik hulu, hilir, termasuk dalam hal penyerapan.  Jika penyerapan tidak memadai maka usaha menerapkan prinsip dan kriteria RSPO akan melambat.

Saat ini yang terjadi, komitmen itu justru lebih kuat dari kalangan produsen, sementara LSM yang selama ini berperan sebagai pengawal, justru cuek, alias   tak menunjukkan komitmen kuat memperjuangkan sesuatu yang dulu mereka pelopori.

Lembaga ini mencatat penjualan minyak sawit bersertifikat RSPO turun menjadi 4.340.897 metrik ton pada 2018 daripada tahun sebelumnya 4.511.050 metrik ton melalui mekanisme Identity Preserved (IP), Segregated (SG), dan Mass Balance.

Mengacu kepada fenomena diatas, maka yang muncul adalah pertanyaan, sejauh manakah hak dan kelayakan RPSO serta  LSM yang sejatinya tak lebih dari corong sejumlah negara  cawe-cawe dengan persoalan sawit dalam  negeri.?.

Maka, fakta diatas  telah menjawab anggapan bahwa Indonesia tak patuh pada kesepakatan bisnis sawit yang menjamin keberadaan hutan dan lingkungan tetap terjaga karena tak ikut RSPO sejatinya sudah gugur. Karena mereka cuma peduli urusan kulit, namun ketika  anggota sendiri mengalami kesulitan, mereka diam tak berkomentar apa-apa ?.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun