Tujuannya sih bagus, yaitu menjadi lembaga pengawas yang secara voluntary diikuti oleh negara produsen agar praktek keberlangsungan industri ini tak menimbulkan kerugian. Inisiatornya adalah korporasi yang berpusat di Eropa yang menggunakan sawit sebagai bahan baku untuk industri mereka. Bersama mereka, bergabung di dalamnya LSM lingkungan internasional, yang suka atau tidak, menjadi perpanjangan tangan bagi kepentingan korporat tersebut untuk menekan sawit Indonesia, tetap tunduk dengan keinginan industri tersebut, lewat senjata isu-isu lingkungan serta social.
Atas dasar tersebut, kemudian berdirilah  Roundtable on Sustainable Palm Oil  atau RSPO pada tahun 2004.  Sebuah asosiasi yang terdiri dari berbagai organisasi dari berbagai sektor industri kelapa sawit dan berkantor pusat di Kuala Lumpur, Malaysia. Tujuan berdirinya lembaga sekaligus berfungsi jadi label dan sertifikasi tersebut adalah,  mengembangkan dan mengimplementasikan standar global untuk produksi minyak sawit berkelanjutan.
Keanggotaan mereka terdiri dari berbagai organisasi dari berbagai sektor industri kelapa sawit (perkebunan, pemrosesan, distributor, industri manufaktur, investor, akademisi, dan LSM bidang lingkungan) yang bertujuan mengembangkan dan mengimplementasikan standar global untuk produksi minyak sawit berkelanjutan.
Tak seperti ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) yang dibentuk  pemerintah Indonesia tahun 2009, yang bertujuan mengawasi  praktek sawit berkelanjutan bagi perusahaan atau pelaku bisnis yang beroperasi di seluruh tanah air. Maka, RSPO adalah sebuah lembaga non pemerintah yang dibentuk oleh sejumlah lembaga swasta  lintas kepentingan di sejumlah negara, namun memiliki "suara" untuk menentukan layak tidaknya praktek bisnis sawit di sebuah negara.
Suara yang pada gilirannya akan menentukan bisa tidaknya produk sawit negara tersebut boleh masuk dan diperdagangkan di manca negara, khususnya di negara maju, seperti Eropa atau Amerika. Karena dua kawasan tersebut selama ini adalah konsumen terbesar produk berbahan dasar minyak nabati tersebut.
Secara ide, keberadaan RSPO Â dengan label sertifikasinya, memang perlu untuk memastikan keberlangsungan aktifitas bisnis tetap dalam koridor green economy. Ide tersebut menjadi penting dalam aplikasi karena rentang persoalan perkebuna kelapa sawit, khususnya di sejumlah negara terutama Indonesia, mencakup banyak aspek.Â
Namun kondisi terakhir sepertinya tak lagi sesuai harapan awal berdirinya asosiasi tersebut. Itu terlihat dari fakta dimana dalam kurun waktu delapan tahun terakhir, para produsen yang tergabung dalam asossiasi ini melihat ada ketidakpatuhan anggotanya dalam menyerap sawit berlabel RSPO.
Mereka mengeluhkan bahwa pembelian  pembelian minyak sawit bersertifikat dari sektor manufaktur dan consumer terus menurun. Padahal, kesadaran anggota khusunya produsen sawit untuk  mematuhi dan menerapkan standar bisnis tinggi yang ditetapkan asosiasi sudah dilakukan. Akibatnya, penyerapan pun menjadi tidak maksimal.
Padahal, praktik dan tata kelola sawit berkelanjutan seperti yang menjadi dasar keberadaan RSPO, yang digadang-gadang oleh LSM anggotanya harus dipatuhi seluruh anggota  sektor baik hulu, hilir, termasuk dalam hal penyerapan.  Jika penyerapan tidak memadai maka usaha menerapkan prinsip dan kriteria RSPO akan melambat.
Saat ini yang terjadi, komitmen itu justru lebih kuat dari kalangan produsen, sementara LSM yang selama ini berperan sebagai pengawal, justru cuek, alias  tak menunjukkan komitmen kuat memperjuangkan sesuatu yang dulu mereka pelopori.
Lembaga ini mencatat penjualan minyak sawit bersertifikat RSPO turun menjadi 4.340.897 metrik ton pada 2018 daripada tahun sebelumnya 4.511.050 metrik ton melalui mekanisme Identity Preserved (IP), Segregated (SG), dan Mass Balance.