Telah disadari oleh para penyair Bugis terdahulu bahwa puisi sangat penting peranannya sehingga harus dibuat sedemikin indahnya. Selain aturan bunyi (fonologi) dan makna (semantik) yang telah dijelaskan di atas, sesungguhnya elong maliung bettuanna juga menarik untuk dilihat dari segi matra (bagan yang digunakan dalam penyusunan baris sajak yang berhubungan dengan jumlah, panjang dan tekanan suku kata), pembentukan kata (morfologi) dan yang tak kalah menarik adalah archaic vocabulary, pemakaian kata-kata Bugis lama yang (mungkin) tak lagi dikenal oleh orang-orang Bugis sekarang ini.
Terbuka banyak pintu untuk masuk dan menikmati elong maliung bettuanna ini. Bagi anda yang ingin menyembunyikan maksud dalam permainan bahasa, tak ada salahnya mengadopsi cara yang digunakan puisi ini. Selain itu, ‘permainan bahasa’ ini mungkin akan membuat Anda mencintai kembali bahasa Bugis. Tapi untuk mencoba mengutak-atik elong, kita dituntut mampu membaca huruf lontara, paham budaya Bugis dan alam pikiran orang Bugis.
Sayang sekali, orang-orang Bugis sekarang tak lagi melihat arti penting sebuah puisi (elong). Berbeda dengan William Shakespeare yang karena puisi signifikan baginya, ia memujinya dalam sebuah soneta yang ia tutup dengan dua baris terakhir: so long as men can breathe or eyes can see,/so long lives this, and this gives lives to thee. Sepanjang manusia masih bernafas, atau mata masih mampu memandang, akan selama itu pula puisi tetap lestari dan ia akan memberimu kehidupan yang bermakna.(p!)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H