Bagi yang paham aksara Bugis, tentu masih ingat bahwa aksara Bugis memiliki keunikan. Beberapa keunikan aksara Bugis adalah tidak adanya huruf mati (final velar nasals), glottal stop, dan konsonan rangkap (geminated consonants). Satu silabel (suku kata) jika dibaca bisa menjadi enam jenis silabel. Contohnya, huruf untuk silabel ‘pa’ bisa saja dibaca ‘pa’, ‘ppa’, ‘pang’, ‘ppang’, ‘pa’’, atau ‘ppa’’. Keunikan aksara Bugis inilah yang dieksplorasi oleh permainan Basa to Bakke’ dalam elong maliung bettuanna .
Dalam satu elong yang disebutkan tadi, langkah pertama untuk menyingkap maknanya telah dilakukan. Langkah pertama itu adalah mengidentifikasi pernyataan. Ada dua frase dalam puisi itu yang harus diperhatikan, buaja bulue’ede dan lompu’ walennae. Buaja bulu’ede berarti ‘buaya gunung’ dan lompu’ walennae berarti ‘lumpur sungai’.
Setelah mengidentifikasi pernyataan, langkah kedua adalah menemukan apa rujukan dari pernyataan (frase) yang telah ditemukan. Buaja bulu’ede (buaya gunung) dalam puisi itu merujuk kepada macang (macan) dan lompu’ walannae (lumpur sungai) merujuk kepada kessi’ (pasir).
Jika hanya sampai di sini, puisi itu berarti ‘yang mana yang lebih kau suka, macan atau pasir?’ Tetapi bukanlah itu yang sesungguhnya ingin disampaikan puisi tersebut. Lalu bagaimana caranya agar tiba pada makna sesungguhnya? Kita masih membutuhkan satu langkah lagi.
Dalam tulisan aksara Bugis, kata macang (macan) sama dengan macca’ (cerdas) dan kessi’ (pasir) sama dengan kessing (elok atau cantik). Masing-masing ditulis ‘ma-ca’ dan ‘ke-si’.
Akhirnya makna puisi itu menjadi ‘mana yang lebih kau suka, perempuan cerdas atau perempuan cantik?’ Luar biasa, kan?
Perhatikan beberapa contoh lagi berikut ini:
Gellang riwata’ majjekko,
Anre-anrena to Menre’e,
atena unnyie.
[Tembaga melengkung di ujung,
makanan orang Mandar,
hati kunyit.]
Puisi ini sesungguhnya berarti ‘aku mencintaimu’. Bagaimana bisa demikian? Gellang riwata’ majjekko merujuk kepada meng (kail), anre-anrena to Menre’e merujuk kepada loka (pisang) — konon Orang Bugis dulu menganggap makanan pokok orang Mandar adalah pisang, dan atena unnyie merujuk kepada ridi (kuning). Jika tiga kata itu dituliskan dalam aksara Bugis akan menjadi ‘me-lo-ka-ri-di’. Rangkaian huruf ini bisa juga dibaca melo’ ka ridi (aku mencintaimu).
Tiga lapis menyingkap makna itu bisa diuraikan lebih rinci seperti berikut; lapis pertama, mengenali frase yang menyimpan kiasan (bunyi). Dalam puisi di atas, setiap barisnya menyimpan masing-masing satu frase untuk mengenali kiasan itu; gellang riwata majjekko, anre-anrena to Menre’e, dan atena unnyie. Kiasan dari frase itu, secara berurutan masing-masing; meng (kail), loka (pisang), dan ridi (kuning). Lapis kedua adalah bunyi meng, loka, dan ridi. Bunyi tiga kata itu membawa kita ke lapis selanjutnya, untuk menemukan makna, bunyi meng dalam aksara Bugis ditulis ‘me’, bunyi loka ditulis ‘lo-ka’, dan bunyi ridi ditulis ‘ri-di’.
Untuk menemukan makna elong semua bunyi itu dirangkai menjadi ‘me-lo-ka-ri-di’. Rangkaian bunyi itu jika dibaca menjadi melo’ka ridi yang maknanya ‘aku mencintaimu’.
Jika disederhanakan rumus tiga lapis menyingkap makna sebuah elong maliung bettuanna adalah:
(1) frase ->(2) bunyi -> (3) makna.