Hujan rintik-rintik menyambutku saat aku tiba di stasiun tua itu. Di bawah lampu redup peron, aku melihat Silvi berdiri dengan koper kecil di sampingnya. Wajahnya tampak lelah, tapi matanya masih menyiratkan tekad.
"Jadi, ini benar-benar terjadi," kataku saat mendekatinya.
Silvi menoleh dan tersenyum samar. "Iya, Doni. Ini benar-benar terjadi."
Aku menghela napas panjang, mencoba menguasai perasaan yang berkecamuk di dadaku. "Kenapa kamu nggak bilang dari awal kalau kamu mau pergi?" tanyaku, nada suaraku terdengar lebih tajam dari yang aku maksudkan.
"Aku nggak tahu bagaimana harus bilang," jawabnya pelan. "Aku takut kamu akan mencoba menghentikanku."
"Tentu saja aku akan mencoba menghentikanmu," kataku tanpa berpikir. "Kamu adalah bagian penting dari hidupku, Silvi. Apa kamu nggak sadar itu?"
Dia terdiam, menatap lantai peron yang basah oleh air hujan. "Justru karena aku sadar, Doni. Aku nggak bisa terus bergantung sama kamu. Aku harus menemukan jalanku sendiri."
Aku menatapnya lama, mencari tanda-tanda keraguan di wajahnya. Tapi aku hanya menemukan keyakinan.
"Apa kamu yakin ini yang terbaik?" tanyaku akhirnya, suaraku melembut.
Silvi mengangguk. "Aku yakin. Tapi itu nggak berarti aku nggak akan merindukanmu."