Tidak terasa puasa Ramadan yang kita jalani sudah mendekati dua per tiga babak bulan. Yang berarti bahwa, sekitar sepuluh hari lagi kita bakal meraih kemenangan yang bertajuk hari raya Idulfitri.
Namun, sebelum terlalu jauh pedekate dengan hari raya, kurang afdal rasanya jika kita tidak melirik beberapa tradisi unik masyarakat di sepanjang bulan Ramadan.
Masing-masing daerah tentu punya keunikan tersendiri, dan yang paling sering kita temui ialah kegiatan masyarakat membangunkan orang sahur menggunakan kentongan maupun media musik lainnya.
Begitu pula dengan masyarakat Bengkulu. Di sini, ada beberapa tradisi khas di bulan Ramadan yang nyaris tak pernah ketinggalan dalam setiap tahunnya. Apa saja? Oke, kita lirik sama-sama:
Pertama, Begeghak
Begeghak adalah tradisi membangunkan orang sahur yang dinukil dari bahasa Serawai.
O ya, bahasa Serawai sendiri terkonsentrasi di Bengkulu Selatan. Meski demikian, sekarang orang-orang Serawai sudah tersebar di beberapa kabupaten di provinsi Bengkulu, termasuklah di SD tempatku mengajar di kabupaten Kepahiang.
Sejak zaman dulu, kegiatan begeghak sudah dilaksanakan dan banyak ditemui di daerah Seluma. Hebatnya, tradisi ini sudah disetel sedemikian rupa sehingga tampak bersistem.
Ya, tradisi begeghak bakal digelar sejak pukul 02.00 dini hari demi membangunkan para Emak di setiap rumah seraya meminta mereka untuk segera menyiapkan makanan untuk sahur.
Memang, sih, terdengar terlalu dini hari untuk bangun. Tapi, ya. Kita tahu sendiri, kan? Masyarakat zaman dulu jarang yang sering begadang, apalagi lembur kerja seperti kebanyakan kita hari ini. Kalaupun tidak kerja, paling-paling lemburnya itu nonton drakor atau main game FF. Ehem.
Tidak cukup sampai di sana, dalam tradisi bageghak telah ditentukan siapa-siapa saja tim harian. Proses pembentukan tim sudah ditentukan oleh kepala desa, bahkan para petugas begeghak yang menjalankan misi bakal diberi upah.
Adapun segenap alat yang diperlukan untuk melakukan begeghak ini seperti gegetuak (kentongan), panci, galon air, dan sebagainya yang disertai dengan teriakan yang bertempo nan berirama.
O ya, setelah tadi malam sempat berdialog dengan rekan kuliah, aku juga diberitahu bahwa tradisi begeghak masih dilakukan hingga saat ini tepatnya di dekat desa tempatku mengajar di Kepahiang. Soalnya, di desa tersebut memang mayoritas penduduknya adalah Suku Serawai.
Kedua, Menyembelih Ayam Kampung/Ayam Pramuka untuk Lauk Sahur Perdana
Benar. Di keluarga kami khususnya masyarakat Suku Rejang, kegiatan sembelih ayam kampung seakan-akan menjadi "ritual" wajib untuk menyambut sahur perdana di bulan Ramadan. Pun demikian dengan masyarakat Suku Lembak yang ada di provinsi Bengkulu.
Jikalau tidak ada ayam kampung, bisa digunakan ayam pramuka yang biasanya sudah ada di tiap-tiap rumah pada siang atau sore hari jelang sidang isbat Ramadan.
Khusus di desaku, masyarakat Rejang biasanya sudah membeli ayam pramuka sejak pagi hari. Terang saja, di sini mulai pukul 05.30 sudah ramai dilewati para penjual ayam pramuka yang mengendarai motor sembari berklakson ria.
Sedangkan jelang ashar nanti, masyarakat yang bertani bakal pulang lebih awal untuk membantu keluarganya menyembelih ayam dan mengolahnya. Bisa diolah menjadi gulai, rendang, atau cukup disambal.
Uniknya, masyarakat di sini bakal lebih memilih membeli ayam hidup lalu menyembelihnya daripada harus membeli ayam potong di pasar. Ya, namanya juga tradisi. Ada nilai dan semangat tersendiri bagi masyarakat dalam menyambut bulan Ramadan.
Ketiga, Opoi Sambang
Jelang akhir bulan Ramadan, ada tradisi unik lain yang hanya ada di provinsi Bengkulu. Kegiatan ini bakal dilakukan sejak malam 27 dan 30 Ramadan. Namanya Opoi Sambang. Â
Kegiatan rutin yang merupakan tradisi khas Suku Rejang ini dilakukan dengan cara membuat opoi (api) dari tempurung/batok kelapa. Namun, sebelum itu segenap tempurung kelapa akan disusun secara vertikal menggunakan pancang kayu setinggi kira-kira 1,5 meter.
Diterangkan oleh rekan guruku yang berdomisili di Bengkulu Utara, kegiatan Opoi Sambang biasanya digelar di depan rumah warga dengan menumpuk beberapa pancang susunan tempurung.
Syahdan, menurut para tetua Suku Rejang, Opoi Sambang dilaksanakan pada malam 27 Ramadan karena malam itu para arwah nenek moyang sedang tersesat serta kesulitan untuk mencari jalan pulang. Maka dari itulah dihadirkan api sebagai penerang.
Dalam proses pembakaran, tempurung akan terlebih dahulu disirami minyak tanah, dan ketika api sudah hidup nantinya ada beberapa orang yang bertugas membuang bara api demi menjaga agar api tetap menyala.
Sejatinya tradisi ini adalah momentum bagi Masyarakat Bengkulu untuk berkumpul bersama keluarga dan tetangga. Di daerah Bengkulu Selatan, tradisi ini juga dikenal dengan sebutan "Api Jagau" alias menjaga api.
Ritualnya tetap sama, namun disertai juga dengan kegiatan warga yang membawa makanan khas seperti lemang bambu dan tapai ketan hitam.
Bagi anak-anak desa setempat, tradisi Opoi Sambang sudah seperti hiburan bagi mereka. Namun bagi para muda-mudi dan para orang tua, kegiatan ini adalah momentum mereka untuk berkumpul bersama, begadang bersama, bahkan hingga sahur tiba.
Lebih dari itu, uniknya tradisi Opoi Sambang ini juga memiliki beberapa istilah lain. Misalnya ada tradisi Nujuhlikur (Malam ke-27) di Bengkulu Selatan, ada Opoi Malem Likoa, juga hingga Malem Jelikua. Meski berbeda istilah, namun ritualnya tetap sama.
O ya, jikalau dulunya beberapa tradisi di atas masih kental dengan kepercayaan tentang arwah nenek moyang, tidak halnya dengan hari ini. Â Sekarang unsur syiriknya sudah dibuang dan masyarakat Suku Rejang tetap mempertahankannya sebagai tradisi yang juga menjadi kekayaan budaya bagi provinsi Bengkulu.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H