Ketika kita tuangkan seberkas pertanyaan sekaligus pilihan mana yang terbaik antara menggapai pendamping hidup atau karier cemerlang, agaknya semua perempuan hari ini begitu kebingungan.
Terang saja, perempuan hari ini ceritanya tidak melulu tentang sumur, kasur dan dapur. Perempuan milenial, maka ceritanya juga harus milenial. Pun demikian dengan generasi Z, atau generasi Alpha di masa depan.
Apalagi hari ini kita sudah menuju ke pertengahan tahun 2021, bukankah bulan Ramadan sudah di depan mata? Bukankah musim "nikahan" Syawal segera menjelang?
Masa iya kesempatan tersebut tidak menggoda? Ya, walaupun pendamping hidup datangnya kita tidak tahu tetap saja maunya disegerakan.
Bagi Perempuan Karier Cemerlang Itu Penting
Sejatinya, perempuan itu sifatnya menunggu. Ibaratkan sebuah durian yang ranum, wanita hanya tinggal menunggu kapan ia dipetik. Entah itu dipetik mentah ataupun matang, tergantung dari sosok pendamping yang memetiknya.
Namun, durian matang terlebih lagi yang jatuh dari pohon biasanya cukup mahal. Meskipun di bawah pohon durian ada banyak persaingan, namun yang bisa merebutnya adalah seseorang yang telah memiliki bekal cukup.
Kemapanan, finansial, fisik dan batin, hingga sesuatu yang dinamakan cinta.
Karena durian matang belum tentu ada orang yang segera memetiknya, maka perempuan sering bertamu kebosanan.
Sudah berharap-harap mendalam, ternyata belum kunjung akad. Sudah menjalin hubungan dan kedekatan, belum juga ada kata lamaran.
Bahkan, sudah ada kode keras, eh si dia pendamping hidup malah menghilang, hanyut di Samudera Hindia. Hmmm
Daripada selalu minum thai tea bersama teman yang bernama kebosanan, maka tidak sedikit perempuan yang memilih untuk meniti karier.
Pelan-pelan, mereka juga ingin membanggakan orangtuanya.
Terlebih lagi jika sang perempuan adalah anak sulung, maka motivasi untuk menjadi penunjuk arah untuk adik-adiknya begitu besar.
Karier tinggi, diikuti dengan gelar akademik dan pekerjaan yang menghasilkan merupakan kesenangan tersendiri bagi perempuan.
Toh, mereka juga sama berdarah-darahnya mencari kerja dengan laki-laki, sama kerasnya memeras keringat lelah, tidak beda dengan laki-laki. Mereka juga ingin senang, ingin bahagia menikmati jerih payahnya sendiri.
Karier Cemerlang Seorang Perempuan Hanya Untuk...
Sebenarnya, untuk apa para perempuan sekolah tinggi-tinggi, bekerja sendiri dan mandiri. Apa ingin menyaingi karier suami? Atau, ingin mendapat calon suami yang setara? Atau, ingin meningkatkan derajat keluarga?
Apa pun itu, boleh-boleh saja, sih!
Tapi jika perempuan sudah menikah maka mereka harus ikut suami, bukan? Ini jelas, bahkan tidak terbantahkan.
Calon suami di negeri A, sedangkan perempuan di negeri Z. Jika mereka menikah maka sepasang hamba ini tentu akan tinggal di negeri A.
Sudah banyak ditemui para perempuan yang akad di kampungnya, pesta dikampungnya dan beberapa bulan kemudian ikut suaminya merantau. Mau tidak mau, bukan?
Meninggalkan karier walau demi suami itu kadangkala menyakitkan, apalagi jika karier sudah tinggi dan berbunga. Maka dari itu, tidaklah menyakitkan kiranya jika sang perempuan meluruskan orientasi kariernya. Apa itu?
"Generasi yang Taat Berasal dari Rahim yang Taat. Perempuan adalah Sekolah Pertama Bagi Anaknya."
Tujuan tertinggi pendidikan perempuan adalah ketaatan. Okelah dia cerdas, pintar, tapi harus taat. Semua ini semata untuk melahirkan generasi ridha ilahi.
Mungkin kata orang-orang, perempuan taatnya nanti saja setelah menikah. Tinggal cari suami yang saleh dan akan membenahi dirinya. Lah, kalau ternyata dapatnya bukan lelaki saleh bagaimana?
Memang benar jika suami bisa menuntun isteri dan anak-anaknya ke surga. Isteri juga harus patuh dengan suami, tentu saja selama suami mengajak kepada kebenaran.
Tapi, jika suami ingkar sedangkan isterinya taat?
Isteri tetap mulia di sana, dan keingkaran suami tidak semata menjadi tanggungan isteri. Lihatlah kisah Asiyah binti Muzahim, perempuan mulia yang dijamin masuk surga. Beliau adalah isterinya raja Fir'aun.
Artinya, selama perempuan itu bisa memuliakan dirinya maka surgalah jaminannya.
Maka dari itu, orientasi karier haruslah menuju kepada ketaatan agar tidak ada sakit yang mendalam jika suatu saat harus memulainya dari nol lagi.
Jujur saja, merelakan karier dan memulai dari nol itu sangat berat bagi perempuan. Apalagi jika hal ini dihadapkan berbarengan dengan persoalan jodoh. Misalnya, ada laki-laki yang mengajak nikah.
Syarat utamanya adalah meninggalkan karier dan ikut suami. Kalau kariernya sekadar bantu-bantu orangtua, mungkin rela ditinggalkan. Demi cinta, kan? Tapi, kalau kariernya sudah menjulang, apakah harus segera rela?
Mestinya rela, walaupun sakit. Toh, itu pengorbanan cinta bukan?
Memulai dari nol tidak selalu buruk, terlebih lagi jika orientasi kariernya yang tinggi itu adalah semata untuk menggapai ketaatan dan kehebatan dalam membina anaknya nanti.
Walaupun demikian, sebelum mengorbankan karier agaknya perempuan melihat dulu seperti apa calon jodohnya, jalan percintaannya, serta pertimbangan-pertimbangan lain yang kira-kira menjadi biang penghambatnya.
Terang saja, untuk apa mengorbankan karier yang sudah susah payah dikejar hanya untuk sesuatu yang belum jelas, bahkan susah.
Perihal jarak misalnya.
Jarak perempuan dengan sang calon jodohnya cukup jauh. Selama ini komunikasi hanya berjalan via maya dan LDR-an. Walaupun kata orang jodoh itu tak kenal jarak tapi jika jodoh pasti mendekat, bukan?
Tentu saja.
Jujur ya, jika diukur dari segi finansial, jarak adalah masalah yang cukup pelik. Bayangkan saja jika jarak perempuan dan calon suami sudah terpisah oleh pulau.
Mau lamaran, harus berkunjung antar pulau. Mau diskusi tanggal pernikahan, harus antar pulau. Menikah, juga harus berkunjung antar pulau. Tidak terbayangkan berapa moneter yang terkuras, belum lagi salah satunya harus mengorbankan karier.
Merenungkannya saja sudah berat, apalagi nanti menjalankannya. Apakah bisa kuat?
Ya, kalau memang benar-benar cinta, dan ikhlas menikah lillahi Ta'ala pasti akan kuat. Tapi, kalau sejak awal memutuskan nikah dan mengorbankan karier sudah berasa setengah hati, agak diragukan juga.
Entah akan sejalan sampai tua, entah tidak. Padahal, kalau bisa menikah itu cukup sekali saja.
Ini baru soal jarak, tapi rasanya sudah serumit itu. Padahal, menikah itu mudah. Hanya, pertimbangan-pertimbangan duniawi yang membuatnya susah.
Kalaupun memang jodoh itu sudah ditakdirkan dengan orang yang jauh dan berjarak, pasti akan didekatkan. Jalan yang awalnya terjal, pasti diaspal dan dilicinkan oleh Allah. Itu tidak terpungkiri.Â
Biarpun nantinya akan ada pengorbanan karier (tidak terelakkan), tidak semata-mata akan menghancurkan hidup karena sejatinya menikah itu adalah membuka pintu rezeki.
Namun, karena perihal pendamping hidup itu belum jelas (kecuali sudah akad) maka tak perlulah terlalu tinggi menempatkan harapan. Jujur saja, cinta dan harapan kepada manusia itu mudah luka dan mudah terkhianati.
Beda halnya jika cinta dan harapan terhadap pendamping hidup disandarkan kepada Allah. Jika berjodoh, alhamdulillah. Jika tidak, tinggal cari baru.Â
Toh, sudah banyak cerita tentang orang yang menikah zonasi alias tetanggaan. Sudah rumahnya dekat, karena jodoh semakin Allah dekatkan.
Mestinya yang jauh juga demikian. Jika sudah jodoh, tanda-tanda kecerahan pasti Allah tunjukkan.
Mulai dari restu orangtua, perasaan yang semakin kuat, dukungan kerabat dan doa semua orang, hingga komitmen diri yang tidak lagi setengah hati.Â
Bersandarlah kepada Allah untuk Mendapatkan Jalan Terbaik dalam Hidup.Â
Soal karier, lagi-lagi itu urusan nanti.
Yang penting disandarkan dulu semata hanya kepada Allah. Jujur saja, walaupun karier itu baik bagi kita belum tentu baik bagi Allah. Allah lebih mengetahui, dan punya rencana yang lebih baik.
Kadang, kita sudah merencanakan sesuatu dengan matang dan mantap namun sebelum mulai sudah keburu digagalkan oleh Allah. Artinya, Allah punya kisah yang lebih indah untuk kita perankan.
...Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. Â (QS Al-Baqarah ayat 216)
Untuk semakin menguatkan hati, kita lebih baik minta petunjuk kepada Allah. Salah satu jalannya adalah dengan melaksanakan Shalat Istikharah. Kenapa?
Coba sejenak renungkan doa Shalat Istikharah berikut:
"Ya Allah, aku meminta petunjuk kebaikan-Mu dengan ilmu-Mu, aku memohon keputusan-Mu dengan qudrat-Mu dan aku meminta dengan karunia-Mu yang besar, karena sesungguhnya Engkau yang berkuasa sedangkan aku tida berkuasa. Engkau Yang Maha Mengetahui sedangkan aku tidak mengetahui dan Engkau Yang Maha Mengetahui segala yang gaib.
"Ya Allah, sekiranya engkau ketahui bahwa (sebutkan Pilihan yang dihadapi) baik untukku dalam agamaku, kehidupanku, dan akhir dari perkaraku ini, maka takdirkanlah ia untukku, mudahkanlah ia, lalu berkahilah aku padanya."
"Ya Allah, dan sekiranya engkau mengetahui buruk bagiku dalam agamaku, kehidupanku, dan akhir dari perkaraku ini, maka hindarkanlah aku darinya, kemudian takdirkanlah untukku kebaikan bagaimanapun adanya, lalu berilah aku keridhaan dengannya."Â (HR.Ahmad & Bukhari).
Indah, bukan? Insya Allah dengan melakukan Shalat Istikharah secara ikhlas dan tulus hati, Allah akan tunjukkan jalan terbaik untuk kehidupan kita di hari esok.
Dilema, ketakutan, kesedihan memang Allah yang hadirkan sebagai ujian. Tapi, dibalik itu Allah sudah siapkan keindahan, ketenangan, ketentraman, bersama manisnya iman.
Salam.
Ditulis oleh Ozy V. Alandika
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H