Tujuan tertinggi pendidikan perempuan adalah ketaatan. Okelah dia cerdas, pintar, tapi harus taat. Semua ini semata untuk melahirkan generasi ridha ilahi.
Mungkin kata orang-orang, perempuan taatnya nanti saja setelah menikah. Tinggal cari suami yang saleh dan akan membenahi dirinya. Lah, kalau ternyata dapatnya bukan lelaki saleh bagaimana?
Memang benar jika suami bisa menuntun isteri dan anak-anaknya ke surga. Isteri juga harus patuh dengan suami, tentu saja selama suami mengajak kepada kebenaran.
Tapi, jika suami ingkar sedangkan isterinya taat?
Isteri tetap mulia di sana, dan keingkaran suami tidak semata menjadi tanggungan isteri. Lihatlah kisah Asiyah binti Muzahim, perempuan mulia yang dijamin masuk surga. Beliau adalah isterinya raja Fir'aun.
Artinya, selama perempuan itu bisa memuliakan dirinya maka surgalah jaminannya.
Maka dari itu, orientasi karier haruslah menuju kepada ketaatan agar tidak ada sakit yang mendalam jika suatu saat harus memulainya dari nol lagi.
Jujur saja, merelakan karier dan memulai dari nol itu sangat berat bagi perempuan. Apalagi jika hal ini dihadapkan berbarengan dengan persoalan jodoh. Misalnya, ada laki-laki yang mengajak nikah.
Syarat utamanya adalah meninggalkan karier dan ikut suami. Kalau kariernya sekadar bantu-bantu orangtua, mungkin rela ditinggalkan. Demi cinta, kan? Tapi, kalau kariernya sudah menjulang, apakah harus segera rela?
Mestinya rela, walaupun sakit. Toh, itu pengorbanan cinta bukan?
Memulai dari nol tidak selalu buruk, terlebih lagi jika orientasi kariernya yang tinggi itu adalah semata untuk menggapai ketaatan dan kehebatan dalam membina anaknya nanti.