Banyak, sih. Terlebih lagi hari ini. Rasanya cukup ramai sarjana pendidikan yang "nyebrang" dari profesi yang terukir di ijazah mereka.Â
Dunia sudah tidak begitu aneh, karena semakin bertambah hari mencari pekerjaan mulai bertambah susah.
Lihat saja pergerakan statistik pengangguran di Indonesia yang terus bertambah. Bersandar pada data Badan Pusat Statistik pada Agustus 2020 dengan revisi per 18 Februari 2021 diterangkan bahwa Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Agustus 2020 meningkat menjadi 7,07 %, bertambah 1,84 % dibandingkan dengan Agustus 2019. Belum ditambah krisis pandemi, kan?
Syahdan, secara khusus, data penduduk bekerja dari lulusan universitas juga menurun dari angka 9,69% pada Agustus 2019 menjadi 9,63% pada Agustus 2020.
Hal tersebut sejatinya cukup bertolak belakang dengan fakta bahwa saban tahunnya setiap kampus mewisudakan banyak sarjana. Malahan, ada yang 2 kali wisuda per tahun. Jadi, bagaimana nasib sarjana?
Mau bagaimana lagi, sebuah proses bernama "nganggur" harus dilalui oleh para sarjana, termasuklah di dalamnya sarjana lulusan pendidikan.
Bagi mereka yang sedari awal sudah kuliah sambil kerja, maka tiada kegalauan yang berarti. Begitu pula dengan sarjana fresh graduate lain yang punya usaha rumahan, melanjutkan bisnis keluarga. Mereka juga relatif tidak terlalu terbebani dengan fenomena pengangguran.
Berbeda halnya dengan para sarjana pendidikan yang kemarin baru lulus lalu kemudian masih meraba-raba cari kerja.Â
Tiga bulan pertama, barangkali kekhawatiran akan posisi nganggur belum bertamu.
Begitu pula dengan emak di rumah. Emak bisa saja ngeles dengan bercerita bahwa anaknya yang baru saja lulus sarjana sedang menunggu penerbitan ijazah. Dan barangkali, sang sarjananya juga demikian. Mereka masih menikmati euforia wisuda dan foto-foto skripsi yang terpajang rapi di perpustakaan.
Tapi ketika ijazah sudah didapat, legalisir tranksrip nilai rangkap 10 sudah dipegang, petualangan pun dimulai dan masing-masing diri pula terpaksa harus betah dengan posisi pengangguran.
Nyatanya takdir tiap sarjana pendidikan beda-beda. Ada sarjana yang baru menganggur 1 bulan tapi esoknya langsung diterima kerja, ada yang berbulan-bulan, bahkan tidak jarang pula yang banting setir seraya serong kanan mencoba usaha berjualan.
Aku pula demikian. Aku lulus dan mendapat ijazah sarjana pendidikan pada September 2016, sedangkan pekerjaan pertama kudapatkan pada Januari 2017. Di Curup, di kotaku tak ada satu pun lowongan waktu itu hingga akhirnya aku memilih untuk merantau ke Perawang (Riau).
Jalan tersebut aku pilih karena aku punya misi melanjutkan pendidikan magister ke UIN Suska, Pekanbaru. Tapi kenyataannya?Â
Selama dua bulan aku hanya berteman dengan kata nganggur. Entah berapa lamaranku tertolak, sedangkan panggilan mengajar di SMP malah aku tolak.
Bukan apa-apa. Waktu itu aku belum punya kendaraan, sedangkan jarak tempat tinggalku ke sekolah nyaris 15 KM. Tawaran gaji? Rp 500.000. Lumayan besar lah bagi guru honorer, tapi aku sengaja menolak dan menunggu panggilan kerja sebagai kontraktor di pabrik pulp and paper.
Lho, kok sengaja pilih kontraktor, apa kata Emak?
Sarjana Pendidikan tapi Kerja sebagai Kontraktor di Pabrik, Apa Kata Emak?
Iya, aku yang sarjana pendidikan ini sengaja pilih kerjaan sebagai karyawan kontrak di pabrik karena hitung-hitungan gajinya aku rasa dapat membuka peluang yang lebar untuk melanjutkan kuliah. Selain itu, ijazah sebagai berkas persyaratan yang diperlukan cukup ijazah SMA. Sontak saja, ijazah S-1 aku sembunyikan.
Alhamdulillah, memasuki Februari 2017 aku benar-benar diterima sebagai kontraktor di pabrik. Pencapaian tersebut tidak lain karena doa Emak yang mulai resah melihat keadaanku yang sedang nganggur.
Aku pula cukup beruntung karena waktu pertama kali masuk ruang kerja aku salah masuk. Aku ditempatkan di bagian cutting paper, tapi aku malah ikut teman kerja ke ruangan stationary.
Di stationary, kerjaku juga cukup berat. Aku harus mengangkut berdus-dus buku, sortir buku, juga shrinking buku dengan sistem kerja 3 shift. Delapan jam harus terus berdiri, dan diawasi cctv.
Bulan demi bulan berlalu, akhirnya kedokku terbongkar. Segenap rekan kerja bahkan manajer akhirnya tahu bahwa aku sudah sarjana. Ya sudah, aku ceritakan saja apa motifku, serta apa harapanku.
Dari cerita tersebut, banyak yang mendukung, tapi pula banyak yang mencibir. Ya, tahu sendirilah. Masa iya sarjana kerja serabutan seperti itu.Â
Aku sendiri sebenarnya tambah kesal. Aku menyadari bahwa profesi ini tidak sesuai dengan diriku. Tapi mau bagaimana lagi. Keadaan yang memaksa.
Meski begitu, aku tetap menikmati pekerjaan tersebut. Aku tidak pernah bolos, walau sakit sekali pun.
Lebih beratnya lagi, aku pula bekerja penuh bahkan mengambil jatah lembur di bulan Ramadan. Kerja normal itu 8 jam. Kalau lembur? 16 jam, Bro. Dan belum selesai sampai di sana, gegara lebaran masih di tanah rantau, aku pula mengambil lembur setelah sholat Id. Ya, daripada aku tidur-tiduran, kan.
Tapi, walau dinikmati setulus apa pun, yang namanya kerja salah profesi hanya sebatas batu loncatan saja. Anggapanku dahulu begitu.Â
Aku membayangkan bahwa kerja sebagai kontraktor tidak ada jenjangnya, kecuali kalau sedari awal aku mendaftarkan diri sebagai karyawan tetap.
Maka darinya, di kala aku mulai bosan, aku pula memutuskan untuk mencari pekerjaan lain. Aku mulai melamar di beberapa sekolah terkemuka di Pekanbaru. Tapi sayang, gais! Aku ditolak.Â
Beruntung di kala galauku menyeruak, ada panggilan kerja dari Curup, tepatnya di salah satu SMP favorit di sana. Tiada berpikir panjang, aku langsung kabarkan Emak dan kukatakan bahwa aku bakal pulang dan resign sebagai kontraktor.
Emak mengiyakan, dan beliau tidak sedikit pun bertanya tentang tujuan awal mengapa aku merantau. Aku terlupa hari itu, soalnya diri ini sudah tidak semangat lagi.Â
Ada 1 hal tentang resign yang selalu aku ingat hingga hari ini, yaitu aku mengantarkan surat pengunduran diri tepat di tanggal ulang tahunku. Hahaha.
Sesampainya di tanah kelahiran, bahkan hingga sekarang, aku semakin menyadari bahwa pekerjaan "salah profesi" tidak selamanya buruk, tapi juga tidak selamanya baik.
Kukatakan tidak selamanya buruk karena berbagai profesi apa pun di luar bidang yang dikuasai dapat kita jadikan sebagai batu loncatan menuju profesi yang kita inginkan, sedangkan profesi batu loncatan tidak selamanya baik karena belum tentu menawarkan prospek yang terang.
Meski begitu, apa pun profesinya, aku tidak bisa memungkiri kata Emak.
Kata Emakku, beliau bangga dengan pekerjaan yang didapat secara halal, mampu memberikanku ruang gerak yang lebih luwes untuk menebar kebaikan, tidak pakai sogok-sogok, juga tidak lewat jalur "orang dalam".
Jadi, tidak ada yang salah dengan profesiku di tahun-tahun sebelumnya, walaupun profesi tersebut bertentangan dengan ijazahku yang bertuliskan sarjana pendidikan. Kata Emak, boleh kok!
Salam.
Ditulis oleh Ozy V. Alandika
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H