Aku pula cukup beruntung karena waktu pertama kali masuk ruang kerja aku salah masuk. Aku ditempatkan di bagian cutting paper, tapi aku malah ikut teman kerja ke ruangan stationary.
Di stationary, kerjaku juga cukup berat. Aku harus mengangkut berdus-dus buku, sortir buku, juga shrinking buku dengan sistem kerja 3 shift. Delapan jam harus terus berdiri, dan diawasi cctv.
Bulan demi bulan berlalu, akhirnya kedokku terbongkar. Segenap rekan kerja bahkan manajer akhirnya tahu bahwa aku sudah sarjana. Ya sudah, aku ceritakan saja apa motifku, serta apa harapanku.
Dari cerita tersebut, banyak yang mendukung, tapi pula banyak yang mencibir. Ya, tahu sendirilah. Masa iya sarjana kerja serabutan seperti itu.Â
Aku sendiri sebenarnya tambah kesal. Aku menyadari bahwa profesi ini tidak sesuai dengan diriku. Tapi mau bagaimana lagi. Keadaan yang memaksa.
Meski begitu, aku tetap menikmati pekerjaan tersebut. Aku tidak pernah bolos, walau sakit sekali pun.
Lebih beratnya lagi, aku pula bekerja penuh bahkan mengambil jatah lembur di bulan Ramadan. Kerja normal itu 8 jam. Kalau lembur? 16 jam, Bro. Dan belum selesai sampai di sana, gegara lebaran masih di tanah rantau, aku pula mengambil lembur setelah sholat Id. Ya, daripada aku tidur-tiduran, kan.
Tapi, walau dinikmati setulus apa pun, yang namanya kerja salah profesi hanya sebatas batu loncatan saja. Anggapanku dahulu begitu.Â
Aku membayangkan bahwa kerja sebagai kontraktor tidak ada jenjangnya, kecuali kalau sedari awal aku mendaftarkan diri sebagai karyawan tetap.
Maka darinya, di kala aku mulai bosan, aku pula memutuskan untuk mencari pekerjaan lain. Aku mulai melamar di beberapa sekolah terkemuka di Pekanbaru. Tapi sayang, gais! Aku ditolak.Â
Beruntung di kala galauku menyeruak, ada panggilan kerja dari Curup, tepatnya di salah satu SMP favorit di sana. Tiada berpikir panjang, aku langsung kabarkan Emak dan kukatakan bahwa aku bakal pulang dan resign sebagai kontraktor.