Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Biasa Rasa Luar Biasa, Inilah 3 Keseruan yang Saya Rasakan Saat Mengajar SD

3 Maret 2021   20:38 Diperbarui: 3 Maret 2021   22:50 1032
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para Siswa di SD N Wonolagi, Desa Ngleri, Kecamatan Playen, Gunungkidul, Sedang Belajar Selasa (16/7/2019) (MARKUS YUWONO via yogyakarta.kompas.com)

Tidak terasa, ya, ternyata sudah dua tahun saya mengajar di Sekolah Dasar. Bila diingat-ingat lagi, mengajar SD merupakan pengalaman baru bagi saya. Terang saja, 3 tahun yang lalu saya sudah betah mengajar di sebuah SMP favorit (SMP Rujukan) di kota Curup.

Tapi, takdir seakan meminta saya untuk memerankan kisah yang lain, yaitu pindah tugas mengabdi ke SD untuk mencerdaskan generasi bangsa yang masih imut-imut.

Setelah sempat melakukan survei lokasi pada tahun 2019, alhasil saya dapatkan fakta-fakta yang berbeda hingga menyentuh angka 360 derajat.

Kemarin saya biasa mengajar siswa hingga 1.000-an orang, sekarang berubah menjadi hanya 50 anak.

Kemarin saya biasa mengajar dengan dukungan sinyal internet kencang hingga ke ruang kelas, tapi sekarang bawa smartphone ke SD hampir tak memiliki manfaat.

Kemarin saya biasanya bisa tiba ke sekolah dalam waktu 10-15 menit saja, sekarang malah butuh waktu 50 menit-1 jam barulah kemudian sampai ke sekolah.

Cukup menantang, bukan? Tentu saja. Tidak hanya cara dan gaya mengajar yang berubah, diri ini pun dituntut beradaptasi demi menghadapi segala keadaan baru yang berbeda dengan sekolah lama.

Meski demikian, proses adaptasinya malah seru kok! Bahkan, saya hampir setiap hari dihampiri berbagai hal unik dan seru ketika berada di sekolah. Adapun keseruan yang nyaris tidak saya dapatkan di sekolah lain meliputi:

Siswa SD Tempatku Mengajar. Dok. Ozy V. Alandika (Foto diambil sebelum pandemi)
Siswa SD Tempatku Mengajar. Dok. Ozy V. Alandika (Foto diambil sebelum pandemi)

1. Diserbu oleh Siswa Pada Bulan-bulan Pertama Mengajar

Salah satu hal seru yang saya rasakan pada bulan-bulan awal mengajar di SD adalah antusias para siswa yang begitu membahana. 

Bagaimana tidak, dulu, sebelum covid-19 singgah ke Indonesia seluruh siswa se-SD selalu berlarian mendatangi saya untuk bersalaman.

Bahkan tidak tanggung-tanggung, tangan saya sudah diserbu siswa padahal posisinya saya sedang memarkirkan motor.

Serunya, kejadian seperti ini terus berulang di setiap harinya hinggalah hampir setengah tahun saya mengajar. Sekarang? Memang tidak seantusias bulan-bulan pertama, tapi kejadian serupa juga terulang setiap awal semester baru.

Saya rasa, pengalaman ini tidak akan banyak ditemui di sekolah lain. Saya sudah seperti kedatangan presiden saja, ya. Lebih-lebih dari presiden malahan!

Tapi lucunya, kegiatan serbu-menyerbu tamu baru ini tidak berlaku jikalau orang yang datang adalah pihak Puskesmas atau instansi sejenis yang terbiasa menggunakan baju kantor dominan putih.

Ya, ketika tamu yang disangka pihak Puskesmas datang, para siswa biasanya heboh sembari menebar prasangka bahwa mereka bakal disuntik. Bahkan, jauh lebih heboh daripada emak-emak yang pagi-pagi berkumpul menghampiri tukang sayur. Ya, namanya juga anak SD.

2. Disangka Guru Semua Mata Pelajaran

Sebenarnya saya adalah seorang guru mata pelajaran, tepatnya mapel pendidikan agama. Tapi, semenjak mengajar SD banyak orang menduga bahwa saya adalah guru kelas. Jarang ada orang yang menebak saya guru mapel karena sejatinya jumlah guru kelas di SD lebih banyak.

Ya, mapel yang tidak dibebankan kepada guru kelas di SD hanyalah mapel Penjasorkes, Pendidikan Agama, dan beberapa mapel muatan lokal. Alhasil, wajar saja bila kemudian tantangan dan tuntutan guru SD lebih kompleks dari kelihatannya.

Meski begitu, lain halnya dengan pandangan anak-anak SD. Semenjak saya mengajar di sana, semenjak itu pulalah para siswa kesusahan menebak bidang ajar saya.

Ketika saya masuk kelas menggunakan Bahasa Inggris, mereka kira saya guru mapel Bahasa Inggris. Ketika saya membuka kelas dengan menggunakan Bahasa Arab, mereka kira saya guru Bahasa Arab. Dan ketika saya mengajarkan lagu Nasional, mereka kira saya guru Seni.

Bayangkan bila esok hari saya mengajar tentang jenis-jenis ikan di sungai, barangkali saya akan dicap sebagai guru pancing. Hahaha

Ya, sudah pasti bakal terbayang di benak kalian tentang suasana mengajar di sekolah yang para siswanya belum disemprot dengan racun teknologi bernama Smartphone.

Kisah mereka tidak bakal jauh-jauh dari aktivitas sawah, memetik kopi, cari ikan, hingga mandi di sungai. Belum ada cerita push rank, apalagi tokoh-tokoh seperti Kadita, Zilong, Sun, bahkan Lancelot.

3. Sering Menghampiri Siswa Demi Belajar Bahasa Daerah

Sekolah baru, tantangan baru. Mengajar di daerah baru, maka paling tidak seorang guru perlu menyesuaikan dirinya dengan kebiasaan di daerah tersebut. Termasuklah soal penggunaan bahasa daerah.

Saya sendiri, pada awal-awal masa mengajar di SD waktu itu sempat hampir yakin 100% bahwa murid-murid di sana bakal menguasai bahasa Indonesia, atau setidaknya menguasai bahasa Curup atau Bengkulu sebagaimana percakapan warga sehari-hati. Tapi ternyata...

Kenyataan malah berkisah sebaliknya, siswa/i kelas I dan sebagian siswa/i kelas II malah masih terkendala soal penggunaan bahasa. Mereka malah lebih fasih bercakap-cakap menggunakan bahasa Serawai, yaitu bahasa utama warga di sekitaran SD.

Sedangkan saya, malah kesusahan berbicara bahasa Serawai.

Pantas saja waktu itu ketika pertama kali masuk ke kelas, anggutan siswa sembari senyum-senyum menerangkan bahwa mereka sesungguhnya tidak mengerti tentang apa yang saya jelaskan. Padahal saya sudah kepedean, eh taunya mereka enggak ngerti. Hihihi

Ya sudah, akhirnya jalan long life education saya tempuh dengan semangat.

Pada waktu senggang, saya sesekali mendatangi siswa untuk mendengar mereka bercerita. Sesekali pula saya siapkan kertas hvs dan pena untuk mencatat diksi yang baru pertama kali saya dengar. Misalnya:

Keting= Kaki
Busiak= Ngerusuh
Nido= Tidak
Kelau= Nanti
Jemo= Orang
Nggup= Tidak Mau
Pitis= Duit, dan masih banyak lagi

Meskipun bahasa Serawai adalah bahasa asli Bengkulu, tepatnya di Bengkulu Selatan, namun penyebarannya di daerah tempat saya tinggal sangat minim, bahkan jarang orang Bengkulu Selatan yang nyasar atau malah menetap di Curup. Sontak saja bahasa Serawai terdengar asing.

Meski demikian, tak mengapalah, mempelajari bahasa baru sama saja dengan menyelami ilmu baru. Apa lagi belajarnya dari anak-anak, malah jadi sangat seru.

Atau kamu mau coba belajar bahasa Serawai? Cuzz, mari ke sini, datang ke SD kami. Jangan lupa bawa buah tangan tapi ya, yang banyak! Hahaha

***

O ya, selain daripada keseruan pengalaman mengajar di SD seperti yang tertuang di atas, sejatinya masih ada sebukit keseruan lain yang saya rasakan.

Contohnya seperti kejadian baru-baru ini, saya malah disangka bersaudara dengan rekan kerja gara-gara dinilai memiliki gaya mengajar yang sama. Padahal, aslinya jauh berbeda lho! Mirip aja enggak kok! Tapi entahlah, namanya juga siswa. Toh, mereka juga jujur, kan.

Begitulah secarik kisah keseruan mengajar. Rasanya terdengar biasa namun sesungguhnya luar biasa. Rasanya lagi, tiap-tiap ruang kerja memiliki keseruannya masing-masing dan dari segenap keseruan itulah rasa syukur bakal hadir serta terus bertumbuh.

Ya, walaupun keadaan dan kondisinya belum lantas berubah gara-gara syukur, tapi setidaknya hati ini bakal lebih tenang, lebih optimis, sehingga semakin bergairah untuk menerjang tantangan yang terus berdatangan di sebalik pengabdian.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun