Bahkan tidak tanggung-tanggung, tangan saya sudah diserbu siswa padahal posisinya saya sedang memarkirkan motor.
Serunya, kejadian seperti ini terus berulang di setiap harinya hinggalah hampir setengah tahun saya mengajar. Sekarang? Memang tidak seantusias bulan-bulan pertama, tapi kejadian serupa juga terulang setiap awal semester baru.
Saya rasa, pengalaman ini tidak akan banyak ditemui di sekolah lain. Saya sudah seperti kedatangan presiden saja, ya. Lebih-lebih dari presiden malahan!
Tapi lucunya, kegiatan serbu-menyerbu tamu baru ini tidak berlaku jikalau orang yang datang adalah pihak Puskesmas atau instansi sejenis yang terbiasa menggunakan baju kantor dominan putih.
Ya, ketika tamu yang disangka pihak Puskesmas datang, para siswa biasanya heboh sembari menebar prasangka bahwa mereka bakal disuntik. Bahkan, jauh lebih heboh daripada emak-emak yang pagi-pagi berkumpul menghampiri tukang sayur. Ya, namanya juga anak SD.
2. Disangka Guru Semua Mata Pelajaran
Sebenarnya saya adalah seorang guru mata pelajaran, tepatnya mapel pendidikan agama. Tapi, semenjak mengajar SD banyak orang menduga bahwa saya adalah guru kelas. Jarang ada orang yang menebak saya guru mapel karena sejatinya jumlah guru kelas di SD lebih banyak.
Ya, mapel yang tidak dibebankan kepada guru kelas di SD hanyalah mapel Penjasorkes, Pendidikan Agama, dan beberapa mapel muatan lokal. Alhasil, wajar saja bila kemudian tantangan dan tuntutan guru SD lebih kompleks dari kelihatannya.
Meski begitu, lain halnya dengan pandangan anak-anak SD. Semenjak saya mengajar di sana, semenjak itu pulalah para siswa kesusahan menebak bidang ajar saya.
Ketika saya masuk kelas menggunakan Bahasa Inggris, mereka kira saya guru mapel Bahasa Inggris. Ketika saya membuka kelas dengan menggunakan Bahasa Arab, mereka kira saya guru Bahasa Arab. Dan ketika saya mengajarkan lagu Nasional, mereka kira saya guru Seni.
Bayangkan bila esok hari saya mengajar tentang jenis-jenis ikan di sungai, barangkali saya akan dicap sebagai guru pancing. Hahaha
Ya, sudah pasti bakal terbayang di benak kalian tentang suasana mengajar di sekolah yang para siswanya belum disemprot dengan racun teknologi bernama Smartphone.