Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Artikel Utama

Begini Cara Sederhana Saya dalam Meminimalkan Learning Loss di Sekolah

18 Februari 2021   11:41 Diperbarui: 18 Februari 2021   16:49 1105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Learning Loss. Gambar oleh AxxLC dari Pixabay 

Pandemi di Indonesia sebentar lagi hampir "ulang tahun", sedangkan kabar pendidikan kita sebenarnya masih belum baik-baik saja.

Ketika pemerintah sedang sibuk menggaungkan vaksinasi dan pemulihan ekonomi, pemulihan sektor pendidikan jadi kurang fokus untuk digencarkan. Lihat saja sekarang, pemangku kebijakan seakan lebih sibuk mengurusi SKB 3 Menteri tentang atribut yang belum kunjung usai.

Padahal potensi learning loss di tiap-tiap sekolah sudah menganga, bahkan sebagian darinya sudah mengalami anjloknya capaian belajar siswa.

Barangkali di sekolah-sekolah maju fenomena kehilangan kesempatan belajar alias menambah ilmu tidak begitu tampak. Hal tersebut ditengarai oleh pelaksanaan PJJ yang cenderung terfasilitasi. Tapi di sekolah pelosok?

Learning loss sudah menerpa sekolah pelosok bahkan dari sejak awal pandemi hadir di Indonesia.

Beberapa tandanya antara lain, siswa "melupakan" tugas sekolah, target kurikulum tidak tercapai walau standar kompetensi sudah diturunkan, hingga adanya fenomena nilai tugas siswa yang nyaris sempurna di setiap pertemuan gara-gara dikerjakan oleh orangtuanya.

Tanda-tanda itu nyata dan banyak sekolah yang mengalaminya, termasuk di sekolah tempat saya mengajar. Rasa-rasanya, saya dan segenap guru kelas di SD mulai mengajar lagi dari "nol" karena hampir seluruh siswa semakin menurun kualitas belajarnya.

Bagaimana tidak menurun, selain capaian kompetensi yang telah dikurangi, manajemen belajar siswa di rumah juga pasti berubah. Bagus pula jikalau orangtuanya di rumah mau menyajikan desain pembelajaran dan bimbingan, tapi jika orangtua kurang teredukasi?

Itulah sebenarnya masalah rumit yang melanda sekolah pelosok. Jadi, wajar bila Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan, Retno Listyarti menyebut Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dapat menerbitkan potensi pelajar tinggal kelas.

Demi mencegah potensi learning loss yang lebih mencekam, setidaknya guru perlu mengubah desain dan gaya mengajarnya. Bukan sekadar pola pikir semata, melainkan langsung take action.

Cara Sederhana Saya dalam Meminimalkan Learning Loss

Secara pribadi, saya bersyukur karena pemda setempat telah melambungkan izin kepada segenap sekolah di daerah untuk menggelar pembelajaran tatap muka walaupun masih terbatas dengan sistem kelas shift serta jam belajar yang dikurangi.

Terang saja, secara teori, pembukaan sekolah secara tatap muka adalah langkah yang paling jitu dalam memerangi learning loss. Ada sistem yang bakal kembali berjalan di kalangan siswa. Mereka bakal kembali bangun pagi, menyiapkan buku ajar, syahdan pergi ke sekolah.

Meski begitu, semakin jam belajar sekolah dikurangi, sebenarnya semakin berkurang pula efektivitas pembelajaran. Maka darinya, saya menempuh beberapa cara sederhana berikut ini:

Pertama, Tidak terlalu memedulikan Target Kurikulum

Selamat tinggal target kurikulum! Saya sudah tidak terlalu peduli lagi dengan target kurikulum nasional (Kurtilas). Kalau saya mengajar dengan bersandar pada tuntutan kurikulum yang sangat padat itu, barangkali anak-anak bakal mual dan kepusingan.

Bahkan, jangankan anak-anak, bisa jadi saya pula kepusingan karena harus mengejar materi-materi tertentu dalam waktu seminimalis mungkin. Ah, siapa yang mau berpusing-pusing ria.

Mendingan saya pilih materi ajar yang sesuai dengan kebutuhan siswa tanpa mengurangi esensinya.

Kedua, Mendesain Materi Ajar yang Sambung-Menyambung

Materi ajar yang sangat padat sejatinya sangat menyusahkan siswa dan guru. Ketika siswa dituntut untuk melahap materi ajar yang banyak, guru pula diharuskan menghabiskan materi dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Ujungnya? Malah sangat sedikit materi yang diingat siswa.

Rugi, kan? Sudah capek kejar-kejaran dengan waktu, siswanya tidak paham pula.

Seperti contoh, di dalam buku siswa biasanya tersedia 5-6 bab materi ajar yang harus dilahap siswa serta disampaikan guru secara "ngos-ngosan" dalam waktu 1 semester dalam kondisi normal. Sedangkan sekarang?

Rasanya mengejar 6 bab materi ajar di era pandemi hampir mustahil, kecuali materi ajar tersebut bisa didesain semenarik mungkin.

Pernyataannya, bagaimana cara mendesain materi ajar yang padat menjadi ringkas? Salah satu jalan yang saya tempuh ialah dengan menautkan beberapa bab materi ajar menjadi satu kesatuan.

Karena saya mengajar mapel agama, maka saya mencoba menyatukan materi akhlak, fiqh, serta iman dalam satu kesempatan. Dengan cara ini, 3 bab materi ajar bisa diringkas menjadi 1 bab saja tanpa harus mengurangi esensi.

Sederhananya, mendesain materi ajar yang sambung-menyambung mirip seperti mata kuliah prasyarat di dunia kampus. Untuk menyelami materi minggu depan, anak-anak biasanya perlu menimba materi minggu lalu. Jadi, secara tidak langsung mereka telah mengulang pelajaran.

Rasanya cara ini lebih baik daripada bersandar pada materi buku ajar yang senantiasa melompat-lompat.

Ketiga, Sesekali Menghadirkan Kurikulum Kafetaria

Rasanya kurikulum kafetaria sudah tidak asing lagi bagi para guru. Secara, kurikulum ala kafe alias restoran ini dihadirkan untuk memfasilitasi pendidikan nonformal demi merengkuh efektivitas.

Seperti halnya sebuah restoran, kurikulum kafetaria didesain semanis mungkin agar siswa dapat memilih apa-apa saja sajian yang ingin mereka makan. Bisa jadi ada hidangan pembuka, hidangan utama hingga hidangan penutup.

Dalam pembelajaran formal, kurikulum ini sudah saya coba terapkan.

Karena pembelajaran di era pandemi kadang-kadang begitu membosankan (mungkin siswa banyak mendapat tugas dari guru mapel lain), maka tidak ada salahnya jika sesekali guru mempersilakan siswa untuk memilih sendiri konten/materi apa yang ingin mereka dapatkan.

Dengan desain pembelajaran ala kafe, kita bisa tahu apa keinginan siswa, karena tidak mungkin kan siswa hanya diberikan 1 pilihan kegiatan layaknya 1 hidangan ala restoran?

Ragam pilihan hidangan ala restoran. Gambar oleh Karrie Zhu dari Pixabay
Ragam pilihan hidangan ala restoran. Gambar oleh Karrie Zhu dari Pixabay

Di restoran/kafe tersedia beragam menu makanan. Ketika para pengunjungnya hanya diberikan 1 hidangan, otomatis mereka bakal pindah ke restoran lain. Di ruang kelas juga demikian.

Jika guru A-Y hanya datang dan menyajikan materi sesuai tuntutan kurikulum atau malah ingin kembali menghadirkan tugas, maka siswa di kelas bakal sangat berharap agar guru Z yang datang kemudian dapat menyajikan hidangan yang siswa inginkan.

Alhasil, sesekali kita perlu menjadi sosok guru Z, kan? Sekarang gantian siswa yang memetik ilmu yang ia butuhkan dari guru, sedangkan guru hanya tinggal menghidangkan materi yang siswa inginkan.

***

Demikianlah 3 cara sederhana ala saya dalam meminimalkan learning loss. Barangkali di luar sana masih banyak cara lain yang lebih efektif.

Tapi, ya, derajat efektivitas pembelajaran biasanya juga bergantung kepada situasi dan kondisi sekolah. Soalnya tantangan tiap-tiap sekolah pasti berbeda-beda. Guru di sekolah tersebutlah yang lebih mengerti, paham, dan lebih tahu solusinya.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun