Karena saya mengajar mapel agama, maka saya mencoba menyatukan materi akhlak, fiqh, serta iman dalam satu kesempatan. Dengan cara ini, 3 bab materi ajar bisa diringkas menjadi 1 bab saja tanpa harus mengurangi esensi.
Sederhananya, mendesain materi ajar yang sambung-menyambung mirip seperti mata kuliah prasyarat di dunia kampus. Untuk menyelami materi minggu depan, anak-anak biasanya perlu menimba materi minggu lalu. Jadi, secara tidak langsung mereka telah mengulang pelajaran.
Rasanya cara ini lebih baik daripada bersandar pada materi buku ajar yang senantiasa melompat-lompat.
Ketiga, Sesekali Menghadirkan Kurikulum Kafetaria
Rasanya kurikulum kafetaria sudah tidak asing lagi bagi para guru. Secara, kurikulum ala kafe alias restoran ini dihadirkan untuk memfasilitasi pendidikan nonformal demi merengkuh efektivitas.
Seperti halnya sebuah restoran, kurikulum kafetaria didesain semanis mungkin agar siswa dapat memilih apa-apa saja sajian yang ingin mereka makan. Bisa jadi ada hidangan pembuka, hidangan utama hingga hidangan penutup.
Dalam pembelajaran formal, kurikulum ini sudah saya coba terapkan.
Karena pembelajaran di era pandemi kadang-kadang begitu membosankan (mungkin siswa banyak mendapat tugas dari guru mapel lain), maka tidak ada salahnya jika sesekali guru mempersilakan siswa untuk memilih sendiri konten/materi apa yang ingin mereka dapatkan.
Dengan desain pembelajaran ala kafe, kita bisa tahu apa keinginan siswa, karena tidak mungkin kan siswa hanya diberikan 1 pilihan kegiatan layaknya 1 hidangan ala restoran?
Di restoran/kafe tersedia beragam menu makanan. Ketika para pengunjungnya hanya diberikan 1 hidangan, otomatis mereka bakal pindah ke restoran lain. Di ruang kelas juga demikian.
Jika guru A-Y hanya datang dan menyajikan materi sesuai tuntutan kurikulum atau malah ingin kembali menghadirkan tugas, maka siswa di kelas bakal sangat berharap agar guru Z yang datang kemudian dapat menyajikan hidangan yang siswa inginkan.