Kasus jilbab selesai. Sudah! Tidak perlu ada lagi segunung caci maki serta cerca-mencerca yang berbau agama. Apalagi menggaungkan pernyataan yang memancing hujat.
Sebagai seorang insan yang beragama, sudah sepantasnya diri ini berusaha untuk semakin matang secara spiritual. Cara sederhananya? Ialah dengan menerima keadaan yang tidak bisa diubah, serta mengelola keadaan lain yang sekiranya butuh penyesuaian.
Indonesia punya ragam agama, kita terima dan fakta itu tidak bisa diubah. Sedangkan atribut serta seragam agama-agama tertentu? Adalah hak pilih atas individu.
"Hak untuk memakai atribut keagamaan adanya di individu. Individu itu adalah guru, murid, dan tentunya orang tua, bukan keputusan sekolah negeri tersebut," Begitu terang Mas Mendikbud saat perilisan SKB 3 Menteri tentang penggunaan seragam dan atribut sekolah.
Atas SKB yang dihadirkan oleh Kemendikbud, Kemendagri, dan Kemenag pada Rabu (3/2/2021) kemarin. Saya secara pribadi setuju.
Pun dengan teman-teman sekalian yang membaca naskah SKB secara seksama, rasanya kalian juga setuju dan mampu menangkap arah kebijakan Kemendikbud secara positif.
Kata kuncinya adalah, "sekolah negeri tidak boleh mewajibkan atribut agama tertentu, tapi juga tidak melarang."
Bersandar dari sana, maka hak tiap-tiap siswa, guru, serta tenaga kependidikan baik yang beragama minoritas maupun mayoritas dalam beragama secara langsung tetap terlindungi.
Nah, rasanya gagasan tersebut bisa sedikit menyanggah pernyataan Waketum MUI terkait SKB 3 Menteri:
"Itu membuat anak-anak didik kita supaya menjadi orang yang beriman dan bertakwa. Siswa-siswi kita yang beragama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu semestinya sesuai dengan konstitusi harus kita wajibkan untuk berpakaian sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaannya itu," terang Pak Anwar.
Melirik tuturan di atas, secara terang Pak Anwar Abbas sebenarnya ingin meminta sekolah agar mewajibkan segenap pelajar untuk menggunakan seragam/atribut sesuai dengan agama mereka masing-masing.
Harapan Pak Anwar sejatinya sungguh mulia, yaitu tentang iman dan takwa, tapi...
Secara tidak langsung pernyataan tersebut malah menimbulkan kesan negatif terhadap agama tertentu sekaligus menimbulkan segenap hujatan baru.
Bagaimana tidak, secara sekilas, akan muncul orang-orang yang berpikir bahwa, "Masa iya kesalihan beragama ditentukan dari jilbab, seragam, serta atribut lainnya?"
Akhirnya? Ya rusuh lagi di berbagai media. Agama-agama tertentu malah kena hujat. Hemm
Di sisi lain, ketika kewajiban berseragam menurut agama tertentu dicabut, bukan berarti sekolah bakal membolehkan para siswi untuk menggunakan rok mini ketika masuk kelas. Rasanya asumsi seperti itu terlalu naif bagi kita, apalagi bagi para pejabat.
Padahal sejatinya guru-guru agama di sekolah (pasti) menganjurkan, mengajarkan, serta menggaungkan teladan yang baik tentang atribut beragama. Kecuali kalau gurunya memang tak peduli, itu sudah masuk ke bab lain lagi.
Soal kewajiban? Beban tersebut sejatinya sudah ditanggung oleh orangtua. Orangtua wajib membekali anak-anaknya dengan ilmu sesuai dengan agama yang dianutnya. Sedangkan guru agama di sekolah menghadirkan contoh yang baik, lalu sekolah menyediakan layanan terbaik.
Dengan begitu, kan aman sekolah kita. Agama kita pula demikian. Biarpun berbeda keyakinan, masing-masing pelajar berhak mendapat layanan pendidikan yang prima.
Mari Kita Mengakui dan Mensyukuri Keragaman
Tidak sekadar jilbab maupun segenap atribut keagamaan lainnya, masing-masing diri juga harus melek keragaman serta menggaungkan pengakuan dan syukur terhadap setiap perbedaan yang ada.
Mulai dari siswa-siswi terhadap sesamanya, guru dan kepala sekolah terhadap sesama rekan kerja serta kepada anak didik mereka, hingga pemerintah perlu lebih "melek spiritual".
Bagi pemerintah serta pejabat lainnya, sungguh tidak bijaksana jikalau mereka berpikir sempit tentang agama, apalagi sampai menabur terlalu banyak prasangka. Yang ada, nantinya hati semakin sempit dan semakin gelisah ketika melihat perbedaan.
Sekali lagi, kita semua perlu bahkan wajib mengakui dan mensyukuri keragaman. Quran Surah Al-Hujurat ayat 13 telah menegaskan pengakuan tersebut, bahwa Allah telah menciptakan laki-laki dan perempuan, syahdan Allah jadikan mereka bersuku-suku, berbangsa-bangsa.
Tujuannya? Tidak lain hanyalah agar masing-masing hamba bisa saling mengenal.
O ya, ada yang hebat dari kalam tersebut. Pada ayat sebelumnya (QS Al-Hujurat ayat 12) ditegaskan bahwa Allah melarang manusia untuk tidak menabur prasangka. Alhasil, kalau kita rekatkan dengan kasus jilbab yang sempat menggaung, bukankah ada kecocokan?
Nah, maka dari itulah, sejatinya kematangan spiritual kita sedang diuji oleh Tuhan. Kalaulah kita hanya melihat keberagaman dari sisi rasional semata, bisa-bisa kacau dunia.
Padahal adanya perbedaan adalah untuk melengkapi, juga saling mengisi, tentunya dengan batas-batas keyakinan yang sudah diatur oleh masing-masing agama. Makanya ketika sudah mengakui, kita juga perlu mensyukuri. Agar lapang hati ini.
"Tidak ada paksaan dalam agama, tapi nanti Tuhanlah yang bakal memilih. Soal terpilih atau tidaknya, itu urusan masing-masing diri. Apakah mau berusaha memantaskan, atau malah berdalih bahwa diri ini sudah pantas? Sudah pasti pilihan pertama lebih baik."
Salam.
Ditulis oleh Ozy V. Alandika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H