"Seharusnya pemberitaan tentang jilbab yang sedang heboh di jagat maya dapat dijadikan sandaran untuk lebih dekat kepada syariat. Tapi ini malah sebaliknya, berasa ada oknum tertentu yang asbun sembari memanfaatkan situasi. Entah ingin mencari popularitas, cari cuan, atau...entahlah."
Kisah miris di SMK Negeri Padang yang bergaung kencang di berbagai media beberapa hari lalu telah mengajak kita untuk memetik kesimpulan bahwa Indonesia kembali mengalami "Intoleransi Beragama".
Benar bahwa intoleransi yang dimaksud adalah cerita lama, karena bertahun-tahun ke belakang peristiwa serupa sudah pernah terjadi.
Meski begitu, saya tidak akan menilik lebih jauh serta mengumbar masa lalu. Secara, permasalahan aturan jilbab sekarang saja sudah banyak melencengnya.
Lihat saja komentar para netizen di berbagai media sosial yang terus menghujam layaknya air bah yang menggusur daratan rumput-rumput kedamaian. Di luar dari konteks toleransi beragama, ada pula pihak tertentu yang seakan asyik memanfaatkan situasi sembari menyudutkan Islam.
Dimulai dari Pernyataan Pembelaan yang Kurang "Elegan" Terkait Aturan Jilbab
Tercatat ada dua pernyataan pembelaan yang paling kencang bergaung di beranda medsos netizen. Pertama, gaungan Mantan Wali Kota Padang, Sumatera Barat, Fauzi Bahar yang menegaskan bahwa jilbab sebagai aturan seragam di Padang dianggap sebagai kearifan lokal.
Kedua, ada pernyataan Kepala Dinas Pendidikan Kota Padang, Habibul Fuadi yang mengutarakan bahwa pihaknya akan tetap mempertahankan aturan jilbab (khusus siswi muslim). Beliau juga menambahkan bahwa salah satu manfaat jilbab adalah agar tidak digigit nyamuk.
Saya tak ingin tenggelam dalam rasa suudzon yang terlalu dalam karena kedua pernyataan di atas merupakan dalih pembelaan. Secara pribadi saya juga merasakan bahwa niat pihak pembela sejatinya adalah mulia, yaitu meningkatkan derajat kesadaran muslimah akan kewajiban jilbab.
Tapi, sayangnya konteks "aturan" tersebut malah bersemi di sekolah negeri yang memegang erat landasan berupa sila pertama Pancasila, UUD 1945 pasal 29, hingga Permendikbud nomor 45 tahun 2014.
Alhasil, kedua dalih tersebut malah kelihatan kurang elegan ketika dibaca publik, bahkan terkesan "asbun" alias asal bunyi. Apalagi sampai menyandingkan jilbab dengan kearifan lokal. Kacau!
Padahal sebenarnya pihak disdik Padang tadi ingin menegaskan kewajiban jilbab bagi perempuan muslim. Tapi sayang...
Makin ramai ciutan lidah-lidah berbisa yang berkoar bahwa jilbab adalah budaya Arab yang dibawa ke Indonesia. Ah, itu pernyataan, gagasan, dan anggapan yang meresahkan umat muslim.
Bahkan, mudah saja bagi pihak-pihak tertentu untuk menjadikannya dalil agar kewajiban berjilbab bagi perempuan muslim dapat ditolak. Padahal, kalaulah mereka mau membaca dan menelaah nash, maka kisah tentang ajakan untuk berjilbab bisa disampaikan secara lebih elegan.
Untuk mengenal lebih jauh terkait dalil jilbab, mari kita bersandar pada Quran Surah An-Nuur ayat 31:
"Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya..."
Dari potongan ayat di atas, adakah kata "wajib" pakai jilbab? Tidak ada. Yang ada cuma kata "Qul" yang artinya (perintah) katakanlah, ada hendaklah, dan ada pula kata "Laa" yang berarti (larangan) janganlah.
Dalam hukum Islam, jika ada kata-kata perintah maupun larangan yang berasal dari "pihak Tertinggi" (Allah) dan ditujukan kepada "pihak rendah" (Nabi Muhammad, kemudian kepada perempuan beriman), maka berlaku kaidah Amr dan Nahi yang menegaskan perintah kewajiban dan larangan.
Alhasil, bersandar dari sini saja maka sudah teranglah kewajiban jilbab untuk perempuan muslim (yang merasa punya iman).
Tapi, kewajiban ini tidak bisa kita dapatkan dari Quran terjemahan karena terjemah ayat belum mengandung hukum fiqh.
Sebagai komparasi, di Al-Quran bisa kita temukan kata "Insan", "Naas", hingga "insi". Kalau kita lihat terjemah Al-Quran, maka arti dari ketiga kata tersebut adalah manusia, kan? Padahal kalau ditilik lebih dalam, pasti ada makna mengapa Allah hadirkan diksi kalam yang berbeda.
Itulah salah satu cara yang penting bin krusial bagi kita jikalau ingin mengutip dalil. Hal ini juga berlaku bagi pihak non-muslim jikalau suatu hari mereka ingin mengudar gagasan sembari mencomot dalil Quran.
Syahdan, apakah benar bahwa Jilbab itu adalah kearifan lokal alias budaya Arab? Selebum lebih dalam tebar opini, kita perlu menyimak asbabun nuzul alias sebab turunnya Quran Surah An-Nuur ayat 31 tadi.
"Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, bahwa ada seorang wanita yang mengenakan gelang-gelang perak. Ketika lewat para lelaki, ia menghentakkan kakinya sehingga gelang-gelang bersuara gemerincing. Syahdan, turunlah ayat tadi."
"Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Muqatil, bahwa Asma'binti Martsad melihat beberapa wanita masuk ke kebun kurmanya dengan terlihat gelang di kakinya, juga dada dan rambutnya. Lalu Asma' berkata: Betapa buruknya ini! Lalu turunlah ayat tadi."
Berdasarkan dua riwayat di atas, apakah wanita yang dikisahkan sudah pakai jilbab? Karena ada keterangan "terlihat gelang di kakinya", "juga dada dan rambutnya", berarti bisa ditebak bahwa wanita tersebut tidak pakai jilbab.
Alhasil, turunlah perintah pakai jilbab melalui QS Surah An-Nuur ayat 31 tadi. Dalam ayat tersebut, jilbab dikatakan sebagai khimar (kerudung) dengan ketentuan minimal mampu menutup rambut, leher, hingga dada. Sekali lagi, ini ketentuan minimal, ya.
Jadi, kalau kita bersandar dari sini saja, maka jelaslah bahwa jilbab itu wajib bagi perempuan muslim.
Juga, jilbab alias khimar bukanlah budaya Arab atau kearifan lokal sebagaimana yang ditegaskan oleh mantan Wali Kota Padang. O, ya, juga bagi "mereka" para provokator yang sering memecah belah umat dengan menerbitkan diksi "Arab" sebagai tajuk populer di Twitter.
Logikanya begini, kalaulah jilbab selaku ketentuan syariat Islam bagi perempuan diatur menurut budaya Arab, mengapa tidak Allah hadirkan kalam dengan memakai ayat "sebagaimana orang-orang sebelumnya" seperti dalil puasa wajib.
Alhasil, Allah hadirkan kewajiban berupa perintah jiblab bukan untuk Islam di Arab, melainkan Islam di seluruh penjuru dunia.
Masih tentang dalil yang sama, pada QS An-Nuur ayat sebelumnya (30) sejatinya telah ditegaskan bahwa laki-laki beriman terlebih dahulu yang dikenakan perintah menjaga kemaluan dan menjaga pandangan.
Syahdan, pada QS An-Nuur ayat 31 gantian para wanita yang diperintahkan untung menjaga pandangan sekaligus menutup "perhiasan" agar tidak terjadi sesuatu yang membahayakan dirinya. Soalnya, nafsu tiap laki-laki kan tidak sama. Ada lelaki tertentu yang gejolaknya tinggi.
Dalam Tafsir Al-Misbah, Quraish Shihab mengutarakan bahwa yang disebut perhiasan ialah keindahan tubuh perempuan, yaitu berupa bagian tubuh perempuan yang bisa merangsang lelaki. (Hiasan pokok perempuan adalah dadanya).
Masih seirama, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di dalam tafsir al-Karim ar-Rahman fi tafsir Malam al-Manan juga menegaskan bahwa perhiasan yang dimaksud ialah seluruh tubuh perempuan yang termasuk perhiasan.
Lebih lanjut, beliau juga menambahkan bahwa ada kaidah Sadd al-Wasa'il alias keharusan untuk menutup akses kejelekan terutama bagi perempuan.
Maka dari itulah, mereka yang non-muslim jangan heran bila pernah melihat seorang perempuan berenang pakai jilbab sebagai penutup perhiasan. Kurang bijaksana jikalau ada seseorang yang mengudar gagas bahwa perempuan tersebut seharusnya pakai baju renang.
Terlepas dari hadirnya gejolak syahwat pria atau tidak, perempuan tadi sudah berusaha menutup akses kejelekan bagi dirinya sekaligus bagi orang-orang di sekitarnya. Bahkan, lebih aman lagi jikalau perempuan tadi tidak berenang di kolam umum.
Begitulah semestinya toleransi beragama. Toleransi beragama berlaku untuk tiap-tiap agama, bukan hanya agama minoritas di tengah mayoritas, atau malah sama-sama agama minoritas. Pancasila tak pernah membeda-bedakan mana agama minoritas maupun mayoritas. Semua bersatu padu dalam kalimat "Ketuhanan yang Maha Esa".
Alhasil pemerintah dalam menggaungkan toleransi beragama juga harus adil. Islam memang mayoritas, tapi di daerah-daerah tentu juga jadi minoritas. Kasus pelarangan jilbab bagi siswi muslim di SD Inpres 22 Wosi Distrik Manokwari pada akhir tahun 2019 lalu.
Kala itu, Pemkab Manokwari melalui Dinas Pendidikan berujar bahwa pihaknya tidak tahu kalau ada aturan larangan berjilbab bagi siswi muslim. Artinya, kasus di Manokwari ini adalah kebalikan dari kasus SMKN Padang, kan?
Begitu pula dengan kasus pelarangan jilbab yang merambat sebagian besar sekolah di kabupaten dan kota Bali pada tahun 2014 lalu.Â
Nah, kembali lagi dengan manfaat jilbab sebagaimana yang diutarakan pihak disdik Padang tadi. Secara tidak langsung, hal yang beliau utarakan juga merupakan manfaat jilbab.
Tapi sayang, konteksnya tidak tepat dan juga tidak semestinya ikut-ikutan mengatur agama lain.
Walaupun sebenarnya manfaat jilbab adalah untuk melindungi seorang perempuan muslim, tapi kalau disampaikan pada konteks yang tidak tepat, sama saja dengan "asbun" alias asal bunyi sekaligus mempersempit makna terdalam dari jilbab itu sendiri.
Bersambung ke Bagian 2:Â BACA di SINI
Taman Baca:
Al-Quran dilengkapi dengan Azbabun Nuzul
Abdurahman bin Nashi as-Sa'di, Tafsir al-karim ar-rahman fi tafsir kalam al-manan, Dar Ibn al-Jauzi, KSA, 1426 H (Cet, II). Diterjemahkan oleh Muhammad Iqbal et al, Jakarta: Darul Haq, 2016 (Cet VI)
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002, Vol. 8
KOMPAS 1
KOMPAS 2
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H