Juga, jilbab alias khimar bukanlah budaya Arab atau kearifan lokal sebagaimana yang ditegaskan oleh mantan Wali Kota Padang. O, ya, juga bagi "mereka" para provokator yang sering memecah belah umat dengan menerbitkan diksi "Arab" sebagai tajuk populer di Twitter.
Logikanya begini, kalaulah jilbab selaku ketentuan syariat Islam bagi perempuan diatur menurut budaya Arab, mengapa tidak Allah hadirkan kalam dengan memakai ayat "sebagaimana orang-orang sebelumnya" seperti dalil puasa wajib.
Alhasil, Allah hadirkan kewajiban berupa perintah jiblab bukan untuk Islam di Arab, melainkan Islam di seluruh penjuru dunia.
Masih tentang dalil yang sama, pada QS An-Nuur ayat sebelumnya (30) sejatinya telah ditegaskan bahwa laki-laki beriman terlebih dahulu yang dikenakan perintah menjaga kemaluan dan menjaga pandangan.
Syahdan, pada QS An-Nuur ayat 31 gantian para wanita yang diperintahkan untung menjaga pandangan sekaligus menutup "perhiasan" agar tidak terjadi sesuatu yang membahayakan dirinya. Soalnya, nafsu tiap laki-laki kan tidak sama. Ada lelaki tertentu yang gejolaknya tinggi.
Dalam Tafsir Al-Misbah, Quraish Shihab mengutarakan bahwa yang disebut perhiasan ialah keindahan tubuh perempuan, yaitu berupa bagian tubuh perempuan yang bisa merangsang lelaki. (Hiasan pokok perempuan adalah dadanya).
Masih seirama, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di dalam tafsir al-Karim ar-Rahman fi tafsir Malam al-Manan juga menegaskan bahwa perhiasan yang dimaksud ialah seluruh tubuh perempuan yang termasuk perhiasan.
Lebih lanjut, beliau juga menambahkan bahwa ada kaidah Sadd al-Wasa'il alias keharusan untuk menutup akses kejelekan terutama bagi perempuan.
Maka dari itulah, mereka yang non-muslim jangan heran bila pernah melihat seorang perempuan berenang pakai jilbab sebagai penutup perhiasan. Kurang bijaksana jikalau ada seseorang yang mengudar gagas bahwa perempuan tersebut seharusnya pakai baju renang.
Terlepas dari hadirnya gejolak syahwat pria atau tidak, perempuan tadi sudah berusaha menutup akses kejelekan bagi dirinya sekaligus bagi orang-orang di sekitarnya. Bahkan, lebih aman lagi jikalau perempuan tadi tidak berenang di kolam umum.
Begitulah semestinya toleransi beragama. Toleransi beragama berlaku untuk tiap-tiap agama, bukan hanya agama minoritas di tengah mayoritas, atau malah sama-sama agama minoritas. Pancasila tak pernah membeda-bedakan mana agama minoritas maupun mayoritas. Semua bersatu padu dalam kalimat "Ketuhanan yang Maha Esa".