"Nok, Kirkenes itu jauh, ya?"
"Enggak, Abang. Dekat, kok. Sedekat aku padamu."
"Ehem..."
Kamu sepertinya sibuk sekali, Nok. Bahkan centang biru di aplikasi Whatsapp-ku sudah tak terlihat lagi. Aku hanya bisa menatapmu sesekali lewat cermin. Mauku, cermin itu selalu menampakkan wajahmu.
Aku tahu, kamu pasti sengaja menon-aktifkan dering Whatsapp, supaya hatiku tak runtuh ketika percakapanku kamu read aja.
Padahal sebenarnya aku ingin bercerita lebih jauh denganmu, walaupun ceritaku juga dari jauh. Juga, kita tak sepandangan. Aku memandang entah, sedangkan kamu memandang ke setiap sisi selain dari wajahku.
Kota Kirkenes, itulah pemandangan yang singgah di alam khayalku. Aku membayangkan bagaimana serunya kita bermain ski bersama di tengah salju. Juga duduk berdua di kursi kayu sembari menatap sejumput aurora.
Ah, suasana itu pasti indah, Nok! Kita berkeliling menaiki mobil salju, lalu memasak kerang untuk pesta makan malam. Kamu pasti suka, Nok. Kamu pasti tidak sabar untuk suap-suapan.
Tidak seperti di sini.
Detik demi detik yang terlihat oleh kita hanyalah keriuhan dunia. Diiringi dengan nada-nada bising yang memusingkan, serta kerlap-kerlip cahaya yang terkadang menyakiti mataku.
Tidak seperti saat ini.
Dinginnya udara keterlaluan. Aku menggigil. Tapi aku tetap kuat kok, Nok. Biarlah aku gigil, sedangkan kamu hangat. Diammu menyejukkanku. Nada bicaramu menghangatkanku. Aku padamu, Nok.
"Nok, sebenarnya arti Sinok itu apa, sih?"
"Sinok itu panggilan terhadap perempuan sepertiku, Abang. Aku suka dipanggil begitu."
"Artinya, apa, Nok?"
"Mungkin, sama seperti panggilan sayang, Bang. Hehehe. Oh iya, Mengapa kok dirimu suka dipanggil Abang, Bang?"
"Tidak apa-apa, Nok. Panggilan tersebut terdengar merdu di telingaku."
"Artinya, Bang?"
"Tidak jauh beda, Nok. Artinya sayang."
"Ah, Abang bisa saja."
Nah, kan. Apa aku bilang, Nok. Kebisingan di sekitar kita tidak membuatmu kedinginan. Aku tahu, Nok. Mungkin dulu dirimu sudah lama menyimpan sakit hati. Diary-mu juga sudah penuh.
Ingin sebenarnya kubuang diary itu. Aku lempar sejauh-jauhnya hingga dirimu lupa dengan kegundahan atas masa lalu.
"Ayo, Abang beli tiketnya, gih! Kita pergi ke Kirkenes."
"Aduh, uang Abang baru cukup untuk menemui orangtuamu lebih dekat, Nok."
"Kalau bulan depan, Bang?"
"Belum cukup juga, Nok."
"Kalau beli dua cincin, Bang?"
"Cukup, Nok."
"Bonus aurora, ya, Bang."
"Siap, Sayang. Eh, Nok."
Maaf ya, Nok. Ketika bersama denganmu aku sering keceplosan. Tidak penting lagi bagiku pengaturan pesan Whatsapp bercentang biru maupun tidak. Yang jelas, aku padamu, Nok.
Kita sudah sejauh ini. Sedangkan dirimu tetap bertahan bersamaku di tengah rintik gerimis. Lagi-lagi aku membayangkan bahwa mendung hari ini akan berganti aurora, Nok. Ah, mungkin pori-pori kulitku terlalu bahagia setelah dekat denganmu, Nok.
***
"Setooop, Bang. Kita sudah sampai. Mampir ke sebelah sana saja, ya."
Akhirnya kita berteduh, ya, Nok. Segera kita beli dua cincin. Aku cincin perak saja ya, Nok. Tapi kalau bisa yang ada batunya, juga yang pas di jari manis atau jari kelingking kananku.
Sedangkan kamu, Nok. Silakan kamu pilih sesukamu. Mau yang ada mutiaranya, atau yang ada auroranya, terserah padamu, Nok. Lalu tiket Kirkenes akan menyusul di hari kemudian.
*****
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H