"Nok, Kirkenes itu jauh, ya?"
"Enggak, Abang. Dekat, kok. Sedekat aku padamu."
"Ehem..."
Kamu sepertinya sibuk sekali, Nok. Bahkan centang biru di aplikasi Whatsapp-ku sudah tak terlihat lagi. Aku hanya bisa menatapmu sesekali lewat cermin. Mauku, cermin itu selalu menampakkan wajahmu.
Aku tahu, kamu pasti sengaja menon-aktifkan dering Whatsapp, supaya hatiku tak runtuh ketika percakapanku kamu read aja.
Padahal sebenarnya aku ingin bercerita lebih jauh denganmu, walaupun ceritaku juga dari jauh. Juga, kita tak sepandangan. Aku memandang entah, sedangkan kamu memandang ke setiap sisi selain dari wajahku.
Kota Kirkenes, itulah pemandangan yang singgah di alam khayalku. Aku membayangkan bagaimana serunya kita bermain ski bersama di tengah salju. Juga duduk berdua di kursi kayu sembari menatap sejumput aurora.
Ah, suasana itu pasti indah, Nok! Kita berkeliling menaiki mobil salju, lalu memasak kerang untuk pesta makan malam. Kamu pasti suka, Nok. Kamu pasti tidak sabar untuk suap-suapan.
Tidak seperti di sini.
Detik demi detik yang terlihat oleh kita hanyalah keriuhan dunia. Diiringi dengan nada-nada bising yang memusingkan, serta kerlap-kerlip cahaya yang terkadang menyakiti mataku.