Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Secarik Kisah Tentang PAS dan Mindset Ujian yang Mulai Berubah

2 Desember 2020   18:11 Diperbarui: 2 Desember 2020   18:19 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kegiatan Penilaian Akhir Semester. Foto oleh Janoon028 by Freepik. 

Hari ini (02/12/2020) adalah pelaksanaan kegiatan Penilaian Akhir Semester (PAS) yang terakhir di SD kami. Kegiatannya sendiri sudah dimulai dari 30 November kemarin, dan digelar secara tatap muka dengan protokol kesehatan yang ketat.

Sekolah kami sengaja menggelar PAS secara tatap muka karena memang tidak ada opsi lain yang bisa dipilih. Di desa, posisi SD kami agak sedikit masuk gang dengan dataran yang lebih rendah daripada jalan raya dan berbatasan langsung dengan jurang.

Menurut para guru senior, posisi inilah yang menyebabkan lingkungan sekolah tidak terjamah oleh sinyal internet, bahkan dengan provider apapun.

Sedangkan kalau kami sejenak mencoba untuk menanti sinyal di jalan raya, kadang-kadang sinyal internet akan rela bertamu, walaupun hanya sebatas angin lewat. Ya, cukuplah untuk sekadar membalas pesan Whatsapp yang penting, asalkan tidak berbentuk foto maupun dokumen.

Kebetulan pula jumlah siswa di SD kami keseluruhannya cukup banyak. Lebih kurang, ada 50 siswa dari kelas I sampai kelas VI. Eh, sedikit, ya. Hehehe

Karena jumlah yang sedikit inilah, akhirnya opsi PAS tatap muka bisa kami gelar. Ada sih, opsi lain, yaitu meminta orangtua untuk menjemput soal ujian kemudian meminta siswa supaya mengerjakannya di rumah. Tapi....

Ah, sudah ada pengalaman bahwa beberapa orangtualah yang mengerjakan tugas anak-anaknya. Alhasil, kami para guru khawatir bila nanti nilai PAS siswa dapat 100 semua.

Sebenarnya nilai sempurna bukanlah perihal mustahil, sih. Tapi kalau siswa se-SD yang dapat 100, kan hebat sekali guru-gurunya. Aamiin.

Di era Merdeka Belajar seperti saat sekarang ini sebenarnya orientasi nilai sudah berubah. Barangkali kita semua sudah mulai sadar akan hal tersebut. Jadi, salah satu hal yang kami inginkan ketika menggelar PAS secara tatap muka adalah meningkatkan derajat kejujuran siswa.

Tapi ternyata, ketika PAS dilaksanakan dengan aturan protokol kesehatan yang ketat, kami para guru malah mendapatkan sesuatu yang lebih. Ibaratkan membeli mangga sekilo, sang penjual mangga malah memberi bonus 2-3 biji mangga, di luar yang pembeli harapkan.

Dalam kurun waktu 3 hari ini, siswa di SD kami seakan mendapatkan bonus PAS. Mereka malah bahagia dan bertanya-tanya kepada guru tentang kapan PAS dilaksanakan lagi.

"Pak, kebilo ulangan tema? Kebilo ulangan samo Pak Sudir?" (Kebilo=Kapan;bahasa Serawai)

Kira-kira seperti itulah percakapan yang berulang-ulang dilantunkan oleh siswa. kedengarannya aneh, kan?

Ilustrasi soal PAS SD. Dok. Ozy V. Alandika
Ilustrasi soal PAS SD. Dok. Ozy V. Alandika

Kalau saya pribadi, sih, aneh. Pada era baheula, PAS, ulangan harian, bahkan pre-test yang digelar sebelum pembelajaran dimulai adalah sesuatu yang cukup menakutkan bagi siswa. Alasannya mirip seperti UN, bahwa kegiatan belajar selama 1 semester ditentukan oleh PAS selama 6 hari.

Kalau dihitung-hitung, sebenarnya tinggi/rendahnya nilai PAS tidak selalu mendongkrak nilai akhir di rapor. Ada sekolah yang menetapkan nilai PAS sebesar 20% saja karena para guru lebih menghargai nilai proses serta keistiqomahan siswa dalam melahap materi pelajaran.

Meski demikian, hitung-hitungan seperti itu masih merupakan perkara yang tabu bagi siswa. Sederhananya, mana mau guru membocorkan perhitungan nilai rapor secara gamblang kepada siswa. Nanti siswa malah meremehkan PAS, atau bahkan enggan hadir pada pelaksanaannya.

Ketika ada rasa takut alias deg-degan terhadap pelaksanaan PAS, atau bahkan seperti apa bayangan soal yang bakal keluar nanti, setidaknya siswa akan menyempatkan diri untuk membaca buku hingga mengulang kembali materi ajar.

Tahu sendiri, kan. Hari ini masih dalam suasana pandemi, kalau tidak ada tuntutan kebutuhan, kapan lagi siswa mau buka buku pelajaran. Apalagi di daerah yang masih terkendala sinyal. Yang ada, siswa malah main ke kebun tetangga, atau bahkan mancing di sungai sepanjang hari.

Tapi, saat ini saya kira ada kabar baik untuk pendidikan Indonesia. Dengan dihapusnya UN, diterapkannya PJJ, serta terus digaungkannya pelaksanaan Asesmen Nasional (2021), perlahan ada mindset yang mulai berubah.

Adapun mindset yang dimaksud, yaitu perubahan cara pandang kita dan siswa terhadap nilai.

Kalau kita mau sejenak mundur ke tahun 2000-an, di masa itu Kurikulum 1994 dan CBSA bisa dibilang sedang populer. Apalagi ketika PAS sudah tiba, mulailah siswa dan orangtua dihantui perasaan was-was.

Jangan-jangan anak mereka dapat nilai merah lebih dari 3, lalu terancam tak naik kelas. Jelang terima rapor, suasana itu selalu terjadi, bahkan hingga Kurikulum 2013 diberlakukan.

Dalam balutan Kurikulum 2013, di rapor sudah tak tertulis lagi berapa peringkat siswa di kelas. Tapi, masih ada saja orangtua yang membandingkan nilai anaknya dengan anak lain. Bahkan tak segan-segan mencari tahu sebenarnya si anak mendapat peringkat berapa.

Dari situ, bisa dibayangkan betapa susah dan lamanya sistem pendidikan kita mengubah mindset sekaligus paradigma terhadap nilai, kan? Padahal setiap anak berbeda, tidak semua dari mereka bisa hebat di semua mata pelajaran.

Tapi sekarang, semenjak jargon Merdeka Belajar terus digencarkan ke seluruh penjuri Bumi Pertiwi, mindset tentang nilai tersebut sudah berubah, bahkan sudah sampai ke SD kecil tempat saya mengajar. Ini kabar baik, juga positif.

Syahdan, mindset tentang ujian yang juga berubah adalah, ujian tidak semengerikan dulu, seperti halnya ketakutan siswa tentang nilai rapor yang ditulis dengan pena tinta merah. Sekarang, malahan muncul sikap "merasa butuh" dengan ujian kompetensi seperti PAS dari siswa itu sendiri.

Barangkali sikap siswa yang "merasa butuh" dengan ujian juga ditebengi oleh kerinduan mereka untuk kembali bersekolah secara tatap muka kali ya?

Kalaupun iya, sebenarnya hal tersebut tetap merupakan kabar baik karena ada makna di sebalik kerinduan siswa. Yaitu, mindset belajar akan berubah ke arah yang positif ketika mereka bahagia.

Jadi, kegiatan pembelajaran ke depannya hanya perlu kita arahkan kepada pembelajaran yang membahagiakan siswa, kan? Malahan, kesimpulan dari tulisan ini jadi sangat sederhana sekali.

"Guru akan bisa melihat sendiri seperti apa kemerdekaan belajar ketika para siswanya berbahagia."

Salam.
Terima kasih telah membaca secarik tulisan sederhana ini :-)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun